Monday, February 18, 2013

Jual Beli, Khiyar, dan Riba (makalah)

                                                JUAL BELI, KHIYAR, DAN RIBA



A.    Jual Beli
1.    Pengertian Jual Beli
Perdagangan atau jual beli menurut bahasa berarti al-Bai’,al-Tijarah, dan al-Mubadalah . sebagaimana firman Allah Swt.:
يَرْجُوْنَ تِجَارَةً لَنْ تَبُوْرَ  . سورة الفاطر :٢٩
Artinya: “Mereka mengharapkan tijarah (perdagangan) yang tidak akan rugi”. (QS. Al—Fathir :29)

Jual beli dalam bahasa Arab terdiri dari dua kata yang mengandung makna berlawanan yaitu Al- Bai’ yang artinya jual dan Asy Syira’a yang artinya beli. Dengan demikian , jual beli adalah penukaran harta (dalam pengertian luas) atas dasar saling rela atau tukar menukar suatu benda (barang) yang dilakukan antara dua pihak dengan kesepakatan (akad) tertentu atas dasar suka sama suka.
Adapun beberapa ulama mendefinisikan  jual beli sebagai berikut;
a.    Menurut ulama hanafiyah. Jual beli adalah saling menukarkan harta dangan harta melalui cara tertentu. Atau tukar menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat.
b.    Menurut said sabiq jual beli adalah saling menukar harta dengan harta atas dasar suka sama suka.
c.    Menurut Imam An-Nawawi jual beli adalah saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan kepemilikan.
2.    Landasan hukum Jual Beli
Jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama manusia mempunyai landasan yang amat kuat dalam Islam.
Firman Allah Swt.
وَاَحَلَّ اللهُ اْلبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰوا.  سورة البقرة : ٢٧٥
Artinya: “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…(QS.Al-baqarah:275)

Firman Allah SWT:
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَبْتَغُوْا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ . سورة البقرة : ١٩٨
Artinya: Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu..(QS.Al-baqarah:198)
Firman Allah SWT:
اِلَّا أَنْ تَكُوْنَ تِجٰرَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ... سورة النساء:٢٩
Artinya“…kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu (QS.An-nisa:29) 

 3.    Rukun dan Syarat-syarat Jual Beli
Mengenai rukun dan syarat jual beli, para ulama memiliki perbedaan pendapat.  Menurut mahzab hanafi rukun jual beli hanya ijab dan kabul saja. Menurut mereka, yang menjadi rukun dalam jual beli hanyalah kerelaan antara kedua belah pihak untuk berjual beli.
Menurut jumhur ulama rukun jual beli ada empat:
a.    Orang yang berakad (Penjual dan pembeli)
b.    Sighat (lafal ijab dan kabul)
c.    Benda-benda yang diperjual belikan
d.    Ada nilai tukar pengganti barang.
Menurut mahzab hanafi orang yang berakad, barang yang dibeli dan nilai tukar barang termasuk syarat bukan rukun  .Menurut jumhur ulama, bahwa syarat jual beli sama dengan rukun jual beli yang disebutkan di atas adalah sebagai berikut:
           Syarat orang yang berakad yaitu:
a.    Berakal
b.    Orang yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda. Maksudnya, seseorang tidak dapat bertindak sebagai pembeli dan penjual dalam waktu yang bersamaan.
           Syarat yang terkait dengan ujab kabul yaitu:
a.   orang yang mengucapkannya telah akil baligh dan berakal.
b.   qabul sesuai dengan ijab.
c.   ijab dan kabul dilakukan dalam satu majlis.
           Syarat yang diperjual belikan yaitu:
a.    Barang itu ada, atau tidak ada di tempat, tetapi pihak penjual menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang itu.
b.    Dapat dimanfaatkan atau bermanfaat bagi manusia.
c.    Jelas orang yang memiliki barang tersebut.
d.  Dapat diserahkan pada saat akad berlangsung, atau pada waktu yang telah disepakati bersama ketika akad berlangsung.
            Syarat nilai tukar (harga barang)
a.    Harga yang disepakati oleh kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.
b.    Dapat diserahkan pada saat waktu akad (transaksi).
c.    Bila jual beli dilakukan dengan cara barter, maka barang yang dijadikan nilai tukar, bukan barang yang diharamkan syara’.

4.     Macam-macam jual beli :
Jual beli ditinjau dari segi hukumnya dibagi menjadi dua macam yaitu :
a.    Jual beli yang sahih
Apabila jual-beli itu disyariatkan, memenuhi rukun atau syarat yang di tentukan, barang itu bukan milik orang lain, dan tidak terkait dengan khiyar lagi, maka jual beli itu sahih dan mengikat kedua belah pihak. Umpamanya, seseorang membeli suatu barang. Seluruh rukun dan syarat jual-beli telah terpenuhi. Barangitu juga telah di periksa oleh pembeli dan tidak ada cacat, da tidak ada rusak. Uang yang sudah diserahkan dan barangpun sudah diterima dan tidak ada lagi khiyar.
b.    Jual beli yang tidak sahih (batil)
Apabila pada jual-beli itu salah satu atau seluruh rukunnya tidak terpenuhi, atau jual beli itu pada dasarnya dan sifatnya tidak di syariatkan, maka jual beli itu batil. umpamanya, jual beli yang dilakukan oleh orang gila, atau barang-barang yang di jual itu barang-barang yang di haramkan syara (bangkai, darah, babi dan khamar).
1)    Jual beli sesuatu yang tidak ada
2)      Menjual barang yang tidak dapat di serahkan
3)      Jual beli yang mengandung unsur tipuan
4)      Jual beli benda najis
5)      Jual beli al-‘urbun (Jual beli yang bentuknya dilakukan melalui perjanjian)
6)     Memperjualkan air sungai, air danau, air laut dan air yang tidak dimiliki oleh seseorang
                   Menurut mazhab hanafi jual beli fasid antar lain
a.    Jual beli al-majhl yaitu benda atau barang secara gelobal tidak di ketahui.
b.    Jual beli yang dikaitkan dengan suatu syarat, seperti ucapan penjual kepada pembeli:” saya jual mobil saya ini kepadda anda bulan depan setelah mendapat gaji
c.    Menjual barang yang gaib yang tidak di ketahui pada saat jual beli berlangsung, sehingga tidak dapat dilihat oleh pembeli
d.    Jual beli yang dilakukan orang buta
e.    Barter barang dengan barang yang diharamkan
f.    Jual beli al-ajl. Contoh: seseorang menjual barangnya senilai Rp100.000 dengan pembayarannya di tunda selama sebulan, setelah penyerahan barang kepada pembeli, pemilik barang pertama membeli kembali barang tersebut dengan harga yang lebih rendah misalnya Rp 75.000 sehingga pembeli pertama tetap berhutang sebesar Rp 25.000.
g.    Jual beli anggur untuk tujuan membuat khamr
h.    Jual beli yang bergantung pada syarat. Contoh: seperti ungakapan pedagamg:”jika kontan harganya 1.200.000 dan jika berhutang harganya 1.250.000
i.     Jual beli sebagian barang yang tidak dapat di pisahkan dari satuannya. Contoh: menjual daging kambing yang diambil dari daging kambing yang masih hidup.
j.    Jual beli buah-buahan atau padi-padian yang belum sempurna matangnya untuk di panen
Dari segi objek jual beli dan segi pelaku jual beli
Ditinjau dari segi benda yang yang dijadikan obyek jual beli dapat dikemukakan pendapat imam Taqiyuddin bahwa jual beli dibagai menjadi tujuh bentuk :
1.    jual beli benda yang kelihatan. Maksudnya adalah pada waktu melakukan akad jual beli benda atau barang yang diperjualbelikan ada didepan penjual dan pembeli, seperti membeli beras dipasar  dan boleh dilakukan.
2.    Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam janji
Sama dengan jual beli salam (pesanan), ataupun yang dilakukan secara tidak tunai (kontan). Maksudnya ialah perjanjian sesuatu yang penyarahan barang-barangnya ditangguhkan hingga masa tertentu.


Dalam salam berlaku semua syarat jual beli dan syarat-syarat tambahannya ialah :
1.    Ketika melakukan akad salam disebutkan sifat-sifatnya yang mungkin dijangkau oleh pembeli, baik berupa barang yang dapat ditakar, ditimbang maupun diukur.
2.    Dalam akad harus disebutkan segala sesuatu yang bias mempertinggi dan memperendah harga barang itu.
3.    Barang yang akan diserahkan hendaknya barang-barang yang biasa didapat dipasar. Harga hendakya dipegang ditempat akad berlangsung.
Jual Beli yang dilarang dan batal hukumnya adalah :
1.    Barang yang dihukumkan najis oleh agama seperti anjing, babi, berhala, bangkai dan khamar.
2.    Jual beli sperma (mani) hewan, seperti mengawinkan seekor domba jantan dengan betina
3.    Jual beli anak binatang yang masih berada dalam perut induknya.
4.    Jual beli dengan mukhadharah yaitu menjual buah-buahan yang belum pantas untuk dipanen.
5.    Jual beli dengan munabadzah yaitu jual beli secara lempar-melempar.
6.    Jual beli gharar yaitu jual beli yang samar sehingga kemungkinan adanya penipuan, contoh : penjualan ikan yang masih dikolam.
7.    Larangan menjual makanan sehingga dua kali ditakar, hal ini menunjukkan kurang saling mempercayainya antara penjual dan pembeli.

5.    Hikmah dan anjuran jual beli
Adapun hikmah dibolehkannya jual-beli itu adalah menghindarkan manusia dari kesulitan dalam bermuamalah dengan hartanya. Seseorang memiliki harta di tangannya, namun dia tidak memerlukannya. Sebaliknya dia memerlukan suatu bentuk harta, namun harta yang diperlukannya itu ada ditangan orang lain. Kalau seandainya orang lain yang memiliki harta yang diingininya itu juga memerlukan harta yang ada di tangannya yang tidak diperlukannya itu, maka dapat berlaku usaha tukar menukar yang dalam istilah bahasa Arab disebut jual beli.
B. Khiyar
1.  Definisi Khiyar
Khiyar secara Etimologi berarti : memilih,hak untuk memilih.Sedangkan khiyar secara etimologi adalah :“suatu keadaan yang menyebabkan aqid (orang yang bertransaksi) memiliki hak untuk memutuskan akadnya,yakni meneruskan atau membatalkannya.(Syafei2000:102)

2.    Macam-macam Khiyar
Terdapat beberapa pendapat ulama mengenai macam-macam kkhiyar itu sendiri sesuai dengan perspektif masing-masing dalam mengklasifikasikan jenis-jenis khiyar,di antara pendapat tersebut sebagi berikut :
Ulama Malikiyah  membagi khiyar kepada :
a.    khiyar al-taammul(melihat,meneliti) :Khiyar mutlak
b.    Khiyar naqish (kurang) :apabila terjadi kekuranggan atau aib pada barang yang di jual
            Ulama syafi’iyah membagi khiyar kepada :
a.    Khiyar at-tasyahi : khiyar yang menyebabkan pembeli memperlama transaksi sesuai seleranya terhapad barang, baik dalam majlis maupun syarat.
b.    Khiyar naqisah : khiyar yang disebabkan adanya perbedaan dalam lafadz atau adanya kesalahan dalam perbuatan atau adanya pengantian.
Adapun khiyar yag didasarkan kepada hukum syara’ menurut ulama syafi’iyah ada 16( enam belas) dan menurut ulama hanafiyah ada 8(delapan),namun yang dibahas disini adalah khiyar yang yang paling masyhur (yang paling dikenal ),di antaranya sebagai berikut :

a.    Khiyar majelis
Secara bahasa majelis berarti tempat duduk, bila dikaitkan dengan khiyar maka memilki arti  hak untuk meneruskan atau membatalkan jual beli selama penjual dan pembeli belum berpisah atau keduanya masih bersama-sama ditempat tersebut.
 Rosulullah tidak menentukan atau menetapkan makna perpisahan yang menjadi batasan selesainya transaksi,apakah ketika mereka berpindah dari majelis ataukah saling berpisah badan atau hanya pada adanya kesepakatan berakhirnya akad. Mengenai masalah ini As-suyuthi berkata,” ulama ahli fiqh menyatakan :setiap hal yang disebutkan secara mutlak dan tidak disebutkan batasannya dalams yariat dan tidak juga dalam syariat maka pembatasanya dikembalikan kepada ‘urf”..
Dalam transaksi jual beli tidak bisa serta merta pelaku transaksi membatalkan jual beli,atau mengunakan hak khiyanya dengan sekehendak hati,sehingga merugikan atau menyakiti salah satu pihak,agar tidak terjadi kedzaliman dalam pengunaan khiyar maka islam pun juga mengatur bagaimana cara mengugurkan khiyar mejelis dengan baik yaitu seperti yang disebutkan dalam hadist ibnu umar r.a :“Dan bila salah satu dari keduanya menawarkan pilihan,kemudian mereka berjual beli dengan asas pilihan yang ditawarkan tersebut maka selesaikanlah akad jula beli tersebut.”
Berdasarkan potongan hadist diatas masing-masing dari keduanya diperbolehkan menawarkan kepada kawannya agar hak ini digugurkan sehingga penjualan tersebut telah selesai,walaupun masih bersama-sama dalam satu tempat. Dan juga berdasarkan hadist yang telah tertera pada bahasan yang telah lalu,walaupun batasan berlakunya hak khiyar adalah berpisah namun tidak dibenarkan bagi keduanya untuk dengan sengaja terburu-buru memisahkan dirinya dari lawan transaksinya dengan tujuan mengugurkan hak ini. Akan tetapai berlaku sewajarnya (sesuai dengan kaidah-kaidah norma kesopanan). Menurut para ulama hal pilih khiyar ini tidak hanya berlaku pada jual beli, melainkan berlaku pada transaksi lain yang serupa yaitu sewa-menyewa,valas,akad salam,karena semua merupakan akad yang bersifat mengikat.Sedangkan pada akad yang tidak bersifat berlaku ketentuan lain seperti akad mudharabah,perwakilan,serikat dagang dan lain-lain.
Cara mengugurkan Khiyar tersebut ada tiga :
1.    Penguguran Jelas (Sharih)
Penguguran sharih ialah penguguran oleh orang yang berkhiyar, seperti menyatakan,”Saya batalkan khiyar dan saya rida.”Dengan demikian,akad menjadi lazim (sahih).Sebaliknya akad gugur dengan pernyataan,”Saya batalkan atau saya gugurkan akad.”
2.    Pengguguran Dengan Dilalah
Pengguguran dengan Dilalah adalah adanya tasharuf (beraktifitas dengan barang tersebut ) dari perilaku khiyar yang menunjukkan bahwa jual-beli jadi dilakukan,seperti pembeli menghibahkan barang tersebut kepada orang lain,atau sebaliknnya, pembeli mengembalikan kepemilikan kepada penjual.
3.    Pengguran Khiyar Dengan dengan Kemadharatan
Pengguran Khiyar dengan kemdharatan ini disebabkan oleh beberapa hal,antara lain sebagai berikut :




a.    Habis Waktu
Khiyar menjadi gugur setelah habis waktu yang tealah ditetapkan walaupun tidak ada pembatalan dari yangberkhiyar.Dengan demikian akad menjadi lazim.  Hal ini sesuai dengtan pendapat ulama Syafi’iyah dan Hanbaliyah.
Menurut ulama Malikiyah,akad tidak lazim dengan berakirnya waktu,tetapi harus ada ketetapan dari yang berkhiyar sebab khiyar bukan kewajiban.Oleh karene itu,akad tidak gugur karna berkirnya waktu,contohnya,janji seorang tuan terhadap budak untuk dimerdekakan pada waktu tertentu.Budak tersebut tidak merdeaka karena berkhirnya waktu.

b.    Kematian Orang yang Memberikan Syarat
Jika orang yang memberikan syarat meninggal dunia, maka khiyar menjadi gugur, baik yang meninggal itu sebagai pembeli maupun penjual, lalu akad pun menjadi lazim,sebab tidak mungkin menbatalkannya.Namun tetang kewarisan syarat para ulama berbeda pendapat, antara lain :
1)    Menurut ulama Hanafiyah, khiyar syarat tidak dapat diwariskan, tetapi gugur dengan meninggalnya orang yang memberikan syarat.
2)    Ulama hanbaliyah berpendapat bahwa bahwa khiyar menjadi batal dengan meninggalnya orang yang memberikan syarat,kecuali jika ia mengamanatkan untuk membatalkannya,dalam hal ini,khiyar menjadi kewajiban ahli waris.
3)    Ulama syafi’iyah dan malikiyah berpendapat bahwa khiyar menjadi haknya ahli waris,dengan demikian,tidak gugur dengan meninggalnya orang yang memberikan syarat.

c.    Adanya hal-hal yang semakna dengan mati
Khiyar gugur dengan adanya hal-hal yang serupa dengan mati, seperti gila, mabuk, dan lain-lain. Dengan demikian,jika akal seseorang hilang karena gila, mabuk, tidur, akadnya menjadi lazim.

d.    .Barang rusak  ketika masa khiyar
Tentang rusaknya barang ketika khiyar terdapat beberapa masalah,apakah rusaknya setelah diserahkan kepada pembeli atau masih dipegang penjual dan lain-lian,sebagaimana akan dijelaskan di bawah ini :
1)    Jika barang masih ditangan pembeli batallah jual-beli dan khiyar pun gugur.
2)    Jika barang sudah pada tangan pembeli,jual beli batalnjika khiyar berasal dari penjual,tetapi pembeli harus menggantinya.
3)    Jika barang suadah ada ditangan pembeli dan khiyar dati pembeli,jual-beli menjadi lazim dan khiyar pun gugur.
4)    Ulama Syafi’iyah dan ulama hanbaliyah berpendapat bahwa jika barang rusak dengan sendirinya, khiyar gugur dan jual-beli batal.

e.    Adanya cacat pada barang
Dalam masalah ini terdapat beberapa penjelasan :
1)    Jika khiyar berasal dari penjual, dan cacat terjadi dengan sendirinya, khiyar gugur dan jual-beli batal. Akan tetapi, jika cacat karena perbuatan pembeli atau orang lain, khiyar tidak gugur dan pembeli berhak khiyar dan bertanggung jawab atas kerusakannya.Begitu juga dengan orang lain.
2)    Jika khiyar berasal dari pembeli dan ada cacat, khiyar gugur, tetapi jual-beli tidak gugur, sebab barang menjadi tanggung jawab pembeli.

3.    Hikmah ditetapkannya khiyar majelis
Disyariatkannya hak pilih macam (khiyar majelis) ini guna menutup atau memperkecil pintu-pintu penyesalan pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi jual-beli.Sebab sering kali seseorang terlalu tertarik atau juga terpengaruh terhadap suatu hal sehingga ia terburu-buru dalam memutuskan untuk membeli atau menjual sesuatu tanpa mepertimbangkan manfaat atau kerugiannya,sehingga setelah transaksi terjadi ada pihak yang merasa kurang diutungkan,dan kemudian menimbulkan rasa kebencian terhadap saudaranya atau hal yang serupa. Sehingga tercapailah salah satu syarat jual beli yaitu adanya rasa suka sama suka dapat terwujud dengan sempurna.

2.    Khiyar Syarat
Pengertian khiyar syarat menurut ulama fiqih adalah :“suatu keadaan yang membolehkan salah seorang yang melakukan akad atau masing-masing akid atau selain kedua pihak yang akad memiliki hak pembatalan atau penetapan akad selama waktu yang ditentukan.”
Misalnya seorang pembeli berkata,” Saya beli dari kamu barang ini ,dengan catatan saya ber-khiyar (mempertimbangkan) selama sehari atau tigahari.”

Di syariatkannya khiyar syarat ini berdasarkan hadist nabi yang telah tersebut di atas yaitu :“Dan bila salah satu dari keduanya menawarkan pilihan.kemudian mereka berjual beli dengan asas pilihan yang ditawarkan tersebut maka selesailah akad jual beli tersebut.”
Sebagian ulama menafsirkan hadis tini : Bahwa bila salah satu dari keduanya memberikan tawaran berupa pilhan kepada lawan transaksinya untuk memperpanjang masa berlakunya hak pilihi ni,kemudian mereka menyetujuinya,maka akad jual beli selesai,sesuai dengan tawaran tersebut dan penafsiran ini selaras dengan prinsip suka sama suka,sebab prinsip ini dikembalikan seutuhnya kepada kedua belah pihak yang bertransaksi.
Jumhurul ulama sepakat (ijma’) bahwa boleh bagi orang yang berjual-beli melakukan transaksi semacam ini.
Dalam menentukan batas maksimal khiyar syarat para ulama berselisih pendapat sesuai dengan metode ijtihad masing-masing yaitu :
a.    Madzhab hambali : masing-masing penjual dan pembeli berhak menetapkan persyaratan sesuka mereka, tanpa ada batas waktu.mereka beralasan bahwa hak mengadakan persyaratan adalah hak mereka berdua,sehingga bila keduanya rela mengadakan syarat hak untuk membatalkan dalam waktu lama, maka itu terserah kepada mereka berdua karena tidak ada dalil yang membatasinya.
b.    Madzhab Hanafi dan Asy-Syafi’i : Lama hak yang dipersyaratkan tidak boleh lebih dari tiga hari,mereka mengambil dalil dari perkataan umar bin khattab berikut : Umar bin Khattab berkata,”Aku tidak mendapatkan dalil yang menetapkan adanya persyaratan yang lebih lama disbanding yang ditetapkan oleh Rosulullah SAW untuk Habbban bin Munqiz,beliau menetapkan untuknya hak pilih selama tiga hari,bila ia suka ia meneruskan pembeliannya,dan bila tidak suka,maka ia membatalkannya,” (HR.Ad-Daruquthni dan Ath-Thabrani,dan dilemahkan oleh Hafidz ibnu Hajar)
c.    Madzhab Maliki yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam ibnu Taimiyah : Lama hak pilih yang di syaratkan boleh lebih dari tiga hari sesuai dengan kebutuhan dan barang yang diperjual belikan, mereka beralasan bahwa hak semacam ini demi kemaslahatan masing-masing pihak yakni kemslahatan yang berkaitan dengan barang yang mereka perjual-belikan,sehingga harus disesuaikan dengan keadaan barang tersebut.
Dari sekian pendapat yang ada yang terkuat adalah yang ketiga, sebab beragamnya barang yang diperjual-belikan,ada barang yang tahan lama dan ada pula yang bersifat sementara.



3.    Khiyar Aib/Cacat
Khiyar aib adalah khiyar yang disyariatkan karena tidak terwujudnya kriteria yang diinginkan pada barang baik diinginkan menurut kebiasaan masyarakat atau karena ada persyaratan atau karena ada praktek pengelabuhan… . Dan yang dimaksud dengan kriteria yang diinginkan menurut kebiasaan masyarakat ialah tidak adanya cacat pada barang tersebut.”
Dasar hukumnya adalah :“Dari Abdul Majid bin Wahab ia mengisahkan, Al-Addaa’ bin Kholid bin Hauzah berkata kepadaku : sudikah engkau aku bacakan kepadamu surat yang dituliskan Rasululloh untukku?, aku pun menjawab : tentu, kemudian ia mengeluarkan secarik surat, dan ternyata isinya : “ inilah pembelian Al-Adaa’ bin Kholid bin Hauzah dari Muhammad Rasululloh, Al-Adaa’ membelinya dari nabi seorang budak laki=laki atau budak perempuan yang tidak ada penyakitnya, perangai  yang buruk, tidak ada pengelabuhan, sebagaimana penjualan orang muslim kepada orang muslim lainnya.”(HR. At-Turmudzi, Ibnu Majah, Ath-Thabrani, Al-baihaqy, dan dihasankan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Ashqolani dan Al-Albani)
Dan juga hadits Rasululloh yang berbunyi :“Dari Aisyah R.A. : Bahwa ada seorang lelaki yang membeli seorang budak, kemudian ia memperkerjakannya, lalu ia mendapatkan pada budak tersebut suatu cacat, sehingga ia mengembalikannya (kepadda penjual). Maka penjual mengadu kepada Rasululloh dan berkata : Wahai Rasululloh, sesungguhnya ia telah memperkerjakan buidakku? Maka beliu bersabda : “Keuntungan itu addalah tanggungjawab atas jaminan,”(HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Al-Hakim, Al-Baihaqy dan dihasankan oleh Al-Albani)
Sebagian ulama mengungkapkan definisi aib atau cacat yang dimaksud adalah: “ Setiap hal yang menyebabkan berkurangnya harga suatu barang.
Dari definisi dan juga penjelasan sebelumnya dapat dipahami  bahwa cacatt yang dapat menjadi alasa untuk membatalkan penjualan adalah cacat yang terjadi pada barang sebelum terjadinya akad penjualan, atau disaat sedang akad penjualan berlangsung atau  sebelum barang diserah-terimakan kepada pembeli.

Dari pembahasan tentang macam-macam khiyar diatas dapat dipahami dengan jelas, bahwa orang yang telah mengadakan akad jual beli dan ia masih memiliki hak khiyar, maka ia berhak untuk  membatalkan akad jual belinya walau tanpa seizing dan tanpa kerelaan lawan transaksinya, dan juga tanpa sepengetahuan lawan transaksinya,
Menurut ulama Hanafiyah cara pembatalan cukup dengan lisan dengan syarat diketahui oleh pemilik barang,    baik pemilik barang rido ataupun tidak. Sebaliknya, jika pembatalan tidak diketahui oleh penjual, baik khiyarnya berasal dari penjual ataupun pembeli, pembatalan ditangguhkan sampai diketahui penjual. apabila habis waktu khiyar dan penjual tidak mengetahuinya, akad menjadi lazim. Ulama Malikiyah, Hanbaliyah, Syafi’iyah berpendapat bahwa apabila khiyar bersal dari pembeli,pembatalan dipandang sah walaupun tidak diketahui penjual.hal ini karena adanya khiyar menunjukkan bahwa penjual rela apabila pembeli membatalkan kapan saja pembeli membatalkannya.
Hukum akad pada masa khiyar, yaitu:
a)    Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa tidak terjadi akad pada jual-beli yang mengandung khiyar, tetapi ditunggu sampai gugurnya khiyar.
b)    Ulama Malikiyah dalam riwayat Ahmad, Barang yang ada pada masa khiyar masih milik penjual, sampai gugurnya khiyar,sedangkan pembeli belum memiliki hak sempurna terhadap barang.
c)    Ulama Syafi’iyah berpendapat,jika khiyar syarat berasal dari pembeli,barang menjadi milik pembeli.Sebaliknya jika khiyar syarat menjadi milik penjual,barang menjadi milik penjual.Jika khiyar berasal dari keduanya,ditunggu sampai jelas (gugurnya khiyar).
d)    Ulama Hanbaliyah,dari siapapun khiyar berasal,barang tersebut menjadi milik pembeli.Jual-beli dengan khiyar,sama seperti jual beli lainnya,yakni menjadikan pembeli sebagai pemilik barang yang tadinya milik penjual. Mereka mendasarkannya pada hadist Nabi SAW.dari ibnu Umar ;
’’Barang siapa yang menjual hamba yang memilki harta maka harta tersebut milik penjual,kecuali bila pembeli mensyaratkannya.”
Dari hadist tersebut,Rosulullah SAW.menetapkan bahwa harta menjadi milik pembeli dengan adanya syarat.

B.    Riba
1.    Sejarah Riba
Pada mulanya riba merupakan suatu tradisi bangsa Arab pada jual beli maupun pinjaman dimana pembeli atau penjual, yang meminjam atau yang memberi pinjaman suatu barang atau jasa dipungut atau memungut nilai yang jauh lebih dari semula, yakni tambahan (persenan) yang dirasakan memberatkan. Namun setelah Islam datang, maka tradisi atau praktek seperti ini tidak lagi diperbolehkan, dimana oleh Allah SWT menegaskan dengan mengharamkannya dalam Al-Qur’an (baca ; ayat dan hadist yang melarang riba), bahkan oleh Allah dan RasulNya akan memusuhi dan memeranginya apabila tetap melanggarnya, yang demikian itu dimaksudkan untuk kemaslahatan dan juga kebaikan umat manusia.

2.    Pengertian Riba
Asal makna riba menurut bahasa Arab (raba-yarbu) atau dalam bahasa Inggrisnya usury/interest ialah lebih atau bertambah (ziyadah/addition) pada suatu zat, seperti tambahan pembayaran atas uang pokok pinjaman . Misalnya si A memberi pinjaman kepada si B, dengan Syarat si B harus mengembalikan uang pokok pinjaman beserta sekian persen tambahannya. Riba dapat diartikan juga dengan segala jual beli yang haram. Adapun yang dimaksud disini menurut istilah syara’ adalah akad yang terjadi dengan penukaran tertentu, tidak diketahui sama atau tidaknya menurut syara’, atau terlambat menerimanya.

3. Beberapa Macam Riba.
a. Riba Nasi’ah
Riba nasi’ah (riba yang jelas, diharamkan karena keadaanya sendiri) diambil dari kata an-nasu’, yang berarti menunda, jadi riba ini terjadi karena adanya penundaan pembayaran hutang. Penjelasannya sebagai berikut. Tambahan yang disyaratkan, yang diambil oleh orang yang memberi hutang dari orang yang berhutang. . Misalnya, si A meminjam satu juta rupiah kepada si B dengan janji waktu setahun pengembalian hutangnya. Setelah jatuh temponya, si A belum bisa mengembalikan hutangnya kepada si B, maka si A menyanggupi untuk memberi tambahan dalam pembayaran hutangnya.jika si B mau menambah/menunda jangka waktunya. atau si B menawarkan kepada si A, “apakah engkau akan membayarnya atau menundanya kembali dengan menanggung bunga?” Jika si B membayarnya, maka ia tidak dikenakan tambahan. Sedangkan jika tidak dapat membayarnya, maka ia menambahkan tangguh pembayaran dengan syarat bahwa ia nantinya harus membayarnya dengan tambahan. Sehingga, akhirnya harta yang menjadi tanggungan hutang orang tersebut pun menjadi terlipat ganda. Hal ini merupakan praktek/kebiasaan Jahiliyah, Oleh karena itu, Allah mengharamkan hal itu, dengan firmannya:
“ Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan.” (al-Baqarah: 280)
Maka dari itu jika waktu hutang tersebut sudah jatuh tempo, semantara orang yang berhutang itu kesulitan membayarnya, maka ia tidak boleh membalikan hutang tersebut kepadanya, tapi harus siberikan tempo lagi. Sedangkan jika orang yang berhutang itu berpunya, dan tidak sedang kesulitan, maka ia harus membayar hutangnya, dan tidak perlu menambah nilai tanggungan hutangnya itu, baik orang yang berhutang itu sedang mempunyai uang atau sedang sulit.
         b. Riba Fadhl
Riba fadhl (riba yang samar, diharamkan karena sebab lain) berasal dari kata al-fadhl, yang berarti tambahan dalam salah satu barang yang dipertukarkan. Riba ini terjadi karena adanya tambahan pada jual beli benda/barang yang sejenis.
Jadi syariat telah menetapkan keharamannya dalam enam hal, yakni diantaranya adalah emas, perak, gandum, kurma, garam. Dan jika salah satu barang-barang ini diperjual belikan dengan jenis yang sama, maka hal itu diharamkan jika disertai dengan adanya tambahan antara keduanya. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Sayid Sabiq bahwa riba fadhl ialah jual beli emas/perak atau jual beli bahan makanan dengan bahan makanan (yang sejenis) dengan ada tambahan.
Hal ini berdasarkan dari hadist Nabi yang disampaikan Abu Said al-Khudri (yang juga hampir senada dengan hadist yang disampaikan oleh ‘Ubadah bin al-Shamit )3 :
“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandunm, kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus sama dan tunai. Maka barang siapa yang meminta tambahan maka sesungguhnya ia memungut riba. Orang yang mengambil dan memberikan riba itu sama dosanya.” (H.R. Ahmad, Muslim dan Nasa’i)
Riba ini diharamkan karena untuk mencegah timbulnya riba nasi’ah, sehingga ia bersifat prefentif. Sebagian Ulama ada yang membedakan antara riba nasi’ah dengan riba fadhl seperti membedakan antara berbuat zina dengan memandang atau memegang wanita yang bukan mahramnya dengan nafsu syahwat. Memandang atau memegang wanita seperti itu diharamkan karena untuk menghindari perbuatan zina. .
Sebagian Ulama ada yang menambahkan selain kedua jenis riba tersebut diatas, yakni riba yad, yaitu riba yang dilakukan karena berpisah dari tempat akad sebelum serah terima terjadi. Kemudian Riba qardi yaitu hutang dengan syarat ada keuntungan bagi yang memberi hutang4. Namun secara umum keduanya termasuk kedalam jenis riba nasi’ah dan riba fadhl.
Pada dasarnya semua agama samawi di dunia (revealed religion) melarang praktek riba, karena dapat menimbulkan dampak bagi masyarakat pada umumnya dan bagi mereka yang terlibat riba pada khususnya.
Adapun dampak akibat praktek dari riba itu sendiri diantaranya adalah sebagai berikut5:
1.    Menyebabkan eksploatasi (pemerasan) oleh si kaya terhadap si miskin, sehingga menjadiakan si kaya semakin berjaya dan si miskin tambah sengsara
2.    Dapat menyebabkan kebangkrutan usaha bila tidak disalurkan pada kegiatan-kegiatan yang produktif, karena kebanyakan modal yang dikuasai oleh the haves (pengelola) justru disalurkan dalam perkreditan berbunga yang belum produktif.
3.    Menyebabkan kesenjangan ekonomi, yang pada gilirannya bisa mengakibatkan kekacauan sosial.
Firman Allah SWT :
          •    
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.(QS. Ali Imran: 130
D. Bunga Bank
Bunga bank sendiri dapat diartikan berupa ketetapan nilai mata uang oleh bank yang memiliki tempo/tenggang waktu, untuk kemudian pihak bank memberikan kepada pemiliknya atau menarik dari si peminjam sejumlah bunga (tambahan) tetap sebesar beberapa persen, seperti lima atau sepuluh persen.
Dengan kata lain bunga bank adalah sebuah system yang diterapkan oleh bank-bank konvensional (non Islam) sebagai suatu lembaga keuangan yangmana fungsi utamanya menghimpun dana untuk kemudian disalurkan kepada yang memerlukan dana (pendanaan), baik perorangan maupun badan usaha, yang berguna untuk investasi produktif dan lain-lain.
Bunga bank ini termasuk riba , sehingga bunga bank juga diharamkan dalam ajaran Islam. Bedanya riba dengan bunga/rente (bank) yakni riba adalah untuk pinjaman yang bersifat konsumtif, sedangkan bunga/rente (bank) adalah untuk pinjaman yang bersifat produktif8. Namun demikian, pada hakikatnya baik riba, bunga/rente atau semacamnya sama saja prakteknya, dan juga memberatkan bagi peminjam.
Maka dari itu solusinya adalah dengan mendirikan bank Islam. Yaitu sebuah lembaga keuangan yang dalam menjalankan operasionalnya menurut atau berdasarkan syari’at dan hukum Islam. Sudah barang tentu bank Islam tidak memakai system bunga, sebagaimana yang digunakan bank konvensional. Sebab system atau cara seperti itu dilarang oleh Islam.
Sebagai pengganti system bunga tersebut, maka bank Islam menggunakan berbagai macam cara yang tentunya bersih dan terhindar dari hal-hal yang mengandung unsur riba. Diantaranya adalah sebagai berikut 
1.    Wadiah (titipan uang, barang, dan surat berharga atau deposito). Bisa diterapkan oleh bank Islam dalam operasionalnya menghimpun dana dari masyarakat, dengan cara menerima deposito berupa uang, barang dan surat-surat berharga sebagai amanah yang wajib dijaga keselamatannya oleh bank Islam. Bank berhak menggunakan dana yang didepositokan itu tanpa harus membayar imbalannya tetapi bank harus menjamin bisa mengembalikan dana itu kepada waktu pemiliknya membutuhkan
2.    Mudharabah (kerja sama antara pemilik modal dengan pelaksana atas dasar perjanjian profit and loss sharing).dengan cara ini, bank Islam dapat memberikan tambahan modal kepada pengusaha untuk perusahaannya baik besar maupun kecil dengan perjanjian bagi hasil dan rugi yang perbandingannya sama sesuai dengan perjanjian, misalnya fifty-fifty. Dalam mudharabah ini, bank tidak mencapuri manajeman perusahaan.
3.    Musyarakah/ syirkah (persekutuhan). Di bawah kerja sama cara ini, pihak bank dan pihak perngusaha mempunyai peranan (saham) pada usaha patungan (joint venture.) karena itu, kedua belah pihak berpartisipasi mengelola usaha patungan ini dan menanggung untung ruginya bersama atas dasar perjanjian tersebut.
4.    Murabahah (jual beli barang dengan tambahan harga atau cost plus atas dasar harga pembelian yang pertama secara jujur). Dengan cara ini, orang pada hakikatnya ingin merubah bentuk bisnisnya dari kegiatan pinjam meminjam menjadi transaksi jual beli (lending activity menjadi sale and purchase transaction). Dengan system ini, bank bias membelikan/menyediakan barang-barang yang diperlukan oleh pengusaha untuk dijual lagi, dan bank minta tambahan harga (cost plus) atas harga pembelinya. Syarat bisnis dengan murabahah ini ialah si pemilik barang dalam hal ini bank harus memberi informasi yang sebenarnya kepada pembeli tentang harga pembeliannya dan keuntungan bersihnya (profit margin) daripada cost plus-nya itu.
5.    Qargh Hasan (pinjaman yang baik atau bernevolent loan). Bank Islam dapat memberikan pinjaman tanpa bunga (benevolent loan) kepada para nasabah yang baik, terutama nasabah yang punya deposito di bank Islam itu sebagai salah satu service dan penghargaan bank kepada para deposan, karena deposan tidak menerima bunga atas depositonya dari bank Islam.
6.    Bank Islam juga dapat menggunakan modalnya dan dana yang terkumpul untuk investasi langsung dalam berbagai bidang usaha yang profitable. Dalam hal ini, bank sendiri yang melakukan manajemennya secara langsung, berbeda dengan investasi patungan, maka manajemennya dilakukan oleh bank bersama partner usahanya dengan perjanjian profit and loss sharing.
7.    Bank Islam boleh pula mengelola zakat di Negara yang pemerintahnya tidak mengelola zakat secara langsung. Dan bank juga dapat menggunakan sebagian zakat yang terkumpul untuk proyek-proyek yang produktif, yang hasilnya untuk kepentingan agama dan umum.
8.    Bank Islam juga boleh memungut dan menerima pembayaran untuk :
1.    Mengganti biaya-biaya yang langsung dikeluarkan oleh bank dalam melaksanakan pekerjaan untuk kepetingan nasabah, misalnya biaya telegram, telpon, telex dalam memindahkan atau memberitahukan rekening nasabah dan sebagainya.
2.    Membayar gaji para karyawan bank yang melakukan pekerjaan untuk kepentingan nasabah, dan untuk sarana dan prasarana yang disediakan oleh bank, dan biaya administrasi pada umumnya.
E. Hukum Bermuamalah dengan Bank Konvensional dan Hukum Mendirikan Bank Islam
Pada masa zaman kehidupan modern seperti saat sekarang ini, umat Islam hampir tidak dapat menghindari diri dari bermuamalah dengan bank konvensional yang memakai system bunga itu dalam segala aspek kehidupannya, termasuk dalam beragama. Misalkan ibadah Haji di Indonesia umat Islam harus memakai jasa bank, apalagi dalam hal kehidupan ekonomi sulit untuk bisa lepas dari jasa bank itu sendiri. Sebab tanpa jasa bank tersebut, perekonomian Indonesia mungkin tidak akan selancar dan semaju seperti sekarang. Namun para ulama dan cendikiawan Muslim sendiri hingga kini masih tetap berbeda pendapat tentang hukum bermuamalah dengan bank konvensional dan hukum bunga banknya.
Perbedaan pendapat mereka tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut  :
1.    Pendapat Abu Zahrah (Guru Besar Fakultas Hukum, Universitas Cairo), Abul A’la Maududi (Pakistan), Muhammad abdullah Al-‘Arabi (Penasihat Hukum pada Islamic Congres Cairo), dan lainnya yang sependapat menyatakan bahwa bunga bank itu riba nasiah, yang dilarang oleh agama Islam. Oleh karena itu umat Islam tidak diperkenankan bermuamalah dengan bank yang memakai sistem bunga, terkecuali memang benar-benar dalam keadaan darurat atau terpaksa, dengan syarat mereka itu mengharapkan dan menginginkan lahirnya bank Islam yang tidak memakai sistem bunga sama sekali.
2.    Pendapat A. Hasan pendiri dan Pemimpin Pesantren Bangil (Persis) yang menerangkan bahwa bunga bank seperti di Negara kita ini bukan riba yang diharamkan, karena tidak bersifat ganda sebagaimana yang dinyatakan dalam surat Ali Imran ayat 130.
3.    Pendapat Majelis Tarjih Muhammadiyah di Sidoarjo (Jawa Timur) tahun 1968 yang memutuskan bahwa bunga bank yang diberikan oleh bank-bank Negara kepada para nasabahnya, demikian pula sebaliknya adalah termasuk syubhat atau mutasyabihat, artinya tidak/belim jelas halal haramnya. Maka sesuai dengan petunjuk Hadits, kita harus berhati-hati menghadapi masalah-masalah yang semisal ini. Karena itu, jika kita dalam keadaan terpaksa atau kita dalam keadaan hajah, artinya keperluan yang mendesak/penting barulah kita diperbolehkan bermuamalah dengan bank yang menggunakan sistem bunga bank itu dengan batasan-batasannya yang telah ditetapkan dalam agama.
Menurut Mustafa Ahmad al-Zarqa’ (Guru Besar Hukum Islam dan Hukum Perdata Universitas Syria), bahwa sistem perbankan yang kita terima sekarang ini sebagai realitas yang tak dapat kita hindari. Karenanya umat islam diperbolehkan (mubah) bermuamalah dengan bank konvensional itu atas pertimbangan dalam keadaan darurat dan bersifat sementara. Sebab umat Islam harus berusaha mencari jalan keluar dengan mendirikan bank tanpa adanya system bunga/riba, demi menyelamatkan umat Islam dari cengkraman budaya yang tidak Islami11.
Dari sini kemudian kita dapat mengetahui alasan para ulama maupun cendikiawan Muslim menganjurkan berdirinya bank Islam yakni sebagai berikut :
1.    Agar umat Islam tidak selalu berada dalam keadaan darurat dan menghindarkannya dari hal-hal yang bersifat subhat/haram
2.    Untuk menyelamatkan umat Islam dari praktek bunga, riba, rente dan sebagainya yang mengandung unsur pemaksaan atau pemerasan (eksploitasi) oleh yang berekonomi kuat terhadap yang berekonomian lemah, dan juga menghindarkan dari ketimpangan yang menjadikan si kaya makin kaya dan si miskin menjadi semakin miskin
3.    Guna melepaskan ketergantungan umat Islam terhadap bank-bank konvensional (non-Islam) yang mengandung unsur syubhat/haram, dan menyebabkan umat islam berada dibawah kekuasaan asing, yang itu membuat keterpurukan dan melemahnya ekonomi Islam, sehingga umat islam tidak dapat menerapkan ajaran agamanya secara menyeluruh dalam kehidupan pribadi maupun bermasyarakat.
4.    Untuk mengaplikasikan ketentuan kaidah fiqh, “al khuruuju minal khilafi mustahabbun” (menghindari perselisihan ulama itu sunnah hukumnya), sebab ternyata hingga kini ulama maupun para cendikiawan Muslim masih saja terjadi perbedaan pendapat tentang hukum bermuamalah, khusunya dengan bank-bank non Islam (konvensional), karena masalah bunga dan semacamnya itu masih tetap kontroversial dan tidak jelas hukumnya (haram/syubhat/halal).

F.  Kesimpulan
 Jual beli merupakan salah satu usaha menghindarkan manusia dari kesulitan dalam bermuamalah dengan hartanya. Seseorang memiliki harta di tangannya, namun dia tidak memerlukannya. Sebaliknya dia memerlukan suatu bentuk harta, namun harta yang diperlukannya itu ada ditangan orang lain. Kalau seandainya orang lain yang memiliki harta yang diingininya itu juga memerlukan harta yang ada di tangannya yang tidak diperlukannya itu, maka dapat berlaku usaha tukar menukar yang dalam istilah bahasa Arab disebut jual beli.
orang yang telah mengadakan akad jual beli dan ia masih memiliki hak khiyar, maka ia berhak untuk  membatalkan akad jual belinya walau tanpa seizing dan tanpa kerelaan lawan transaksinya, dan juga tanpa sepengetahuan lawan transaksinya, Menurut ulama Hanafiyah cara pembatalan cukup dengan lisan dengan syarat diketahui oleh pemilik barang,    baik pemilik barang rido ataupun tidak. Sebaliknya, jika pembatalan tidak diketahui oleh penjual, baik khiyarnya berasal dari penjual ataupun pembeli, pembatalan ditangguhkan sampai diketahui penjual. apabila habis waktu khiyar dan penjual tidak mengetahuinya, akad menjadi lazim. Ulama Malikiyah, Hanbaliyah, Syafi’iyah berpendapat bahwa apabila khiyar bersal dari pembeli,pembatalan dipandang sah walaupun tidak diketahui penjual.hal ini karena adanya khiyar menunjukkan bahwa penjual rela apabila pembeli membatalkan kapan saja pembeli membatalkannya.
Secara umum Ulama membagi riba itu menjadi dua macam saja, yaitu riba nasi’ah’ dan riba fadil, sedangkan riba yad dan Riba qardi termasuk ke dalam riba nasi’ah dan riba fadhl. Barang-barang yang berlaku riba padanya ialah emas,perak, dan makanan yang mengeyangkan atau yang berguna untuk yang mengenyangkan, misalnya garam. Jual beli barang tersebut, kalau sama jenisnya seperti emas dan dengan emas, gadum dengan gadum, diperlukan tiga syarat: (1) tunai, (2) serah terima, dan (3) sama timbangannya. Kalau jenisnya berlianan, tetapi ‘ilat ribanya satu, seperti emas dengan perak, boleh tidak sama tibangannya, tetapi mesti tunai dan timbang terima. Kalau jenis dan ‘ilat ribanya berlainan seperti perak dengan beras, boleh dijial bagaimana saja seperti barang-barang yang lain; berarti tidak diperlukan suatu syarat dari yang tiga itu.

Daftar Pustaka
Suhendi Hendi, Fiqih Muamalah,.PT. RajaGrafindo,.Jakarta, 2010.

Mashur khar,bulughul maram cetakan pertama,Jakarta:PT Rineka cipta,1992
Hasan ali,berbagai macam transaksi dalam islam(fiqh muamalat), JakarTa: PT.RajaGrafindo persada, 2003.

Ibnu rusydi ,bidayah al-mujtahidwa al-muqtashid,juzII,

kifayatul akhyar,1/1250.Asy-syahrul mumti’8/271.Taudhihul Ahkaam,4/362
Maulana Muhammad Ali, The Religion of Islam, Lahore, The Ahmadiyah Anjuman Isha’at Islam, 1950
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakarta, Gunung Agung, 1997, hlm. 10


No comments:

Post a Comment