Wednesday, December 12, 2012

Sejarah Ushul Fikih


SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU USHUL FIQIH
Oleh : Nashihuddin, M.Ag

A.    Pendahuluan
Ilmu Ushul fiqih tumbuh dan berkembang dengan tetap berpijak pada Al-Quran dan Sunnah, ushul fiqih tidak timbul dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak zaman Rosulullah SAW dan sahabat. Masalah utama yang menjadi bagian ushul fiqih, seperti ijtihad, qiyas, nasakh, dan takhsis pun sudah ada pada zaman Rosulullah SAW dan  sahabat. Namun, di masa Rasulullah Saw, umat Islam tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum-hukum syar’i, semua permasalahan dapat langsung merujuk kepada Rasulullah saw lewat penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an, atau melalui sunnah beliau.
Pada masa tabi’in cara mengistinbath hukum semakin berkembang. Di antara mereka ada yang menempuh metode maslahah atau metode qiyas di samping berpegang pula pada fatwa sahabat sebelumnya. Pada masa tabi’in inilah mulai tampak perbedaan-perbedaan mengenai hukum sebagai konskuensi logis dari perbedaan metode yang digunakan oleh para ulama ketika itu. Corak perbedaan pemahaman lebih jelas lagi pada masa sesudah tabi’in atau pada masa Al- Aimmat Al- Mujtahidin. Sejalan dengan itu, kaidah-kaidah istinbath yang digunakan juga semakin jelas bentuknya. Abu Hanifah misalnya menempuh metode qiyas dan istihsan. Sementara Imam Malik berpegang pada amalan mereka lebih dapat dipercaya dari pada hadis ahad [1].
Apa yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa sejak zaman Rasulullah saw., sahabat, tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum Islam mengalami perkembangan. Namun demikian, corak atau metode pemikiran belum terbukukan dalam tulisan yang sistematis. Dengan kata lain, belum terbentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri.

B.       Periodisasi Ushul Fiqih
Ushul fiqih ada sejak fiqh ada. Di mana ada fiqh, maka di sana wajib ada ushul fiqh dengan segala ketentuan dan kaidahnya. Karena fiqh adalah hakikat yang dicari ilmu Ushul fiqh. Sekalipun keberadaannya bersamaan, fiqh lebih dulu dibukukan dari ushul fiqh. Dalam arti problematika, kaidah dan bab-bab di dalamnya lebih dulu dibukukan, dipisah dan dibeda-bedakan. Hal ini tidak berarti bahwa ushul fiqh tidak ada sebelum adanya fiqh atau sebelum dibukukan, atau bahwa ulama fiqh tidak menggunakan kaidah dan metode yang tetap dalam mencetuskan hukum. Karena faktanya, kaidah dan metode ushul fiqh sudah menyatu dalam jiwa para mujtahid. Mereka telah bergumul dengannya sekalipun tidak terang-terangan. Maka saat sahabat sekaligus ulama fiqh, Abdullah Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa, “masa tunggu (iddah) wanita hamil yang ditinggal mati suaminya adalah sampai dia melahirkan”, maka beliau mendasarkan pendapatnya pada firman Allah, “…dan (bagi) wanita-wanita hamil, (maka) waktu tunggunya adalah sampai dia melahirkan…” (At-Thalaq: 4). Beliau mengambil dalil surat At-Thalaq karena ayat ini turun setelah turunnya surat Al-Baqarah: 234, “Orang-orang yang mati dan meninggalkan isteri, maka mereka (isteri) harus menahan diri mereka selama empat bulan sepuluh hari.” Dengan apa yang dilakukan itu, berarti Abdullah bin Mas’ud telah mengamalkan kaidah ushul fiqh, “Nash yang datang terakhir menggugurkan nash yang datang sebelumnya,” sekalipun beliau tidak menjelaskannya.

1.      Ushul Fikih Masa Rasulullah
Ushul fiqh sebagai sebuah bidang keilmuan lahir terlebih kemudian dibandingkan ushul fiqh sebagai sebuah metode memecahkan hukum. Kalau ada yang bertanya: “Dahulu mana ushul fiqh dan fiqh?” tentu tidak mudah menjawabnya. Pertanyaan demikian sama dengan pertanyaan mengenai mana yang lebih dahulu: ayam atau telor.
Musthafa Said al-Khin memberikan argumentasi bahwa ushul fiqh ada sebelum fiqh. Alasanya adalah bahwa ushul fiqh merupakan pondasi, sedangkan fiqh di bangun dan  didirikan di atas pondasi. Karena itulah sudah barang tentu ushul fiqh ada mendahului fiqh. [2] Kesimpulannya, tentu harus ada ushul fiqh sebelum adanya fiqh.
Jawaban demikian benar apabila ushul fiqh dilihat sebagai metode pengambilan hukum secara umum, bukan sebuah bidang ilmu yang khas. Ketika seorang sahabat, misalnya, dihadapkan terhadap persoalan hukum, lalu ia mencari ayat Alquran atau mencari jawaban dari Rasulullah, maka hal itu bisa dipandang sebagai metode memecahkan hukum. Ia sudah punya gagasan bahwa untuk memecahkan hukum harus dicari dari Alquran atau bertanya kepada Rasulullah. Akan tetapi, cara pemecahan demikian belum bisa dikatakan sebagai sebuah bidang ilmu. Pemecahan demikian adalah prototipe (bentuk dasar) ushul fiqh, yang masih perlu pengembangan lebih lanjut untuk disebut sebagai ilmu ushul fiqh.
Prototipe-prototipe ushul fiqh demikian tentu telah ditemukan pada masa hidup Rasulullah sendiri. Rasulullah dan para sahabat berijtihad dalam persoalan-persoalan yang tidak ada pemecahan wahyunya. Ijtihad tersebut masih dilakukan sahabat dalam bentuk sederhana, tanpa persyaratan rumit seperti yang dirumuskan para ulama dikemudian hari. Contoh ijtihad yang dilakukan oleh sahabat adalah ketika dua orang sahabat bepergian, kemudian tibalah waktu shalat. Sayangnya mereka tidak punya air untuk wudlu. Keduanya lalu bertayammum dengan debu yang suci dan melaksanakan shalat. Kemudian mereka menemukan air pada waktu shalat belum habis. Salah satu mengulang shalat sedangkan yang lain tidak. Keduanya lalu mendatangi Rasulullah dan menceritakan kejadian tersebut. Kepada yang tidak mengulang Rasulullah bersabda: “Engkau telah memenuhi sunnah dan shalatmu mencukupi.” Kepada orang yang berwudlu dan mengulang shalatnya, Rasulullah menyatakan: “Bagimu dua pahala.
Dalam kisah di atas, sahabat melakukan ijtihad dalam memecahkan persoalan ketika menemukan air setelah shalat selesai dikerjakan dengan tayammum. Mereka berbeda dalam menyikapi persoalan demikian, ada yang mengulang shalat dengan wudlu dan ada yang tidak. Akhirnya, Rasulullah membenarkan dua macam hasil ijtihad dua sahabat tersebut. Tidak hanya prototipe ijtihad, prototipe qiyas pun sudah ada pada masa Rasulullah. Kisah berikut menjadi contoh bagaimana qiyas dilakukan oleh Rasulullah. Suatu saat seorang perempuan datang kepada Rasulullah dan mengatakan bahwa ibunya meninggal dunia dengan meninggalkan hutang puasa satu bulan. Rasulullah pun kemudian berkata:
أرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَيْهَا دَيْنٌ أَكُنْتِ تَقْضِينَهُ. فَقَالَتْ : نَعَمْ فَقَالَ : دَيْنٌ اللَّهِ أَحَقُّ بِالْقَضَاءِ
“Bagaimana seandainya ibumu memiliki hutang, apakah engkau membayarkannya?” Perempuan tersebut menjawab: “Ya.” Rasulullah berkata: “Hutang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan.”

Terhadap pertanyaan perempuan yang datang kepadanya, Rasulullah tidak menjawab dengan jawaban “Ya” atau “Tidak”. Beliau menjawabnya dengan meng-qiyas-kan terhadap hutang piutang. Jadi, hukum hutang puasa orang tua yang meninggal dunia disamakan dengan hukum hutang piutang harta. Kasus tersebut menjadi bentuk dasar qiyas, yang dikemudian hari disusun prosedurnya secara baku oleh Imam Syafi’i.
            Berbagai konsep ushul fiqh dapat ditemukan penggunaannya pada masa Rasulullah. Semua itu belum menjadi konsep baku, melainkan hanya sebagai buah dari pemecahan masalah praktis.
Pada periode Rasulullah SAW. Terdiri dari 2 fase yang masing-masing mempunyai corak dan karakteristik tersendiri, yaitu:
a)      Fase Makkiyah
Fase Makkiyah, ialah sejak Rasulullah SAW. masih menetap di Makkah selama 12 tahun beberapa bulan, sejak beliau dilantik menjadi Rasul hingga hijrah ke Madinah. Pada fase ini umat Islam keadaannya masih terisolir, masih sedikit kuantitasnya dan kapasitasnya, belum bisa membentuk komunitas umat yang mempunyai lembaga pemerintahan yang kuat. Oleh karena itu, perhatian Rasulullah SAW. pada fase ini dicurahkan kepada aktivitas penyebaran dakwah dalam rangka proyek penanaman tauhid kepada Allah SWT dan meninggalkan praktek-praktek penyembahan berhala dan patung-patung. Di samping itu beliau tetap berusaha mewaspadai orang-orang yang selalu berusaha menghalangi jalannya dakwah dan memperdaya orang-orang yang beriman dengan berbagai macam tipu daya. Dengan situasi dan kondisi seperti ini, maka pada fase ini belum ada kesempatan membentuk perundang undangan, tata pemerintahan, perdagangan dan lain-lain.
Oleh karena itu, pada surat-surat Makkiyah al-quran seperti surat Yunus, Al-Ra’ad, Al-Furqon, Yasin, Al-Hadid, dan lain-lain tidak terdapat ayat-ayat yang membahas tentang hukum-hukum actual (amaliah). Akan tetapi, justru yang banyak pembahasannya adalah seputar persoalan-persoalan doktrin teologi dan aqidah, akhlak, dan ibarat keteladanan dari proses-proses perjalanan hidup umat-umat terdahulu.
b)     Fase Madaniyah
Fase Madaniyah ialah sejak Rasulullah SAW. hijrah dari Mekah ke Madinah hingga wafatnya tahun 11 H/632 M, yakni sekitar 10 tahun lamanya. Pada fase Madaniyah ini Islam sudah kuat,  kuantitas umat Islam sudah banyak dan telah mempunyai tata pemerintahan tersendiri sehingga media-media dakwah berlangsung dengan aman dan damai.
Keadaan seperti inilah yang mendorong perlu adanya tasyri’ dan pembentukan perundang-undangan yang mengatur perhubungan antara individu dari suatu bangsa dengan bangsa lain, dan mengatur perhubungan atau kontak komunikasi dan interaksi mereka dengan kalangan non-Muslim, baik di masa damai maupun di masa perang.
Oleh karena itu, maka di Madinah disyariatkanlah berupa hukum-hukum pernikahan, perceraian, warisan, perjanjian, hutangpiutang, kepidanaan dan lain-lain. Dengan demikian, pada surat-surat Madaniyah di dalam Al-quran seperti surat al-Baqarah, Ali Imran, an-Nisa’, al-Maidah, al-Anfal, at-Taubah, an-Nur, al-Ahzab banyak memuat ayat-ayat pembahasan hokum, disamping itu memuat pula ayat-ayat tentang akidah, akhlak dan kisah-kisah.
Pada periode Rasulullah SAW. hanya ada 2 sumber hukum (perundang-undangan), yaitu wahyu Ilahi (al-Quran) dan ijtihad Rasulullah SAW. sendiri. Kalau terjadi suatu peristiwa yang memerlukan adanya ketetapan hokum karena terjadi perselisihan, ada kejadian peristiwa, ada pertanyaan, atau permintaan fatwa, maka Allah  menurunkan wahyu kepada Rasulullah SAW. satu atau beberapa ayat al-quran yang menerangkan tentang hokum-hukumnya. Kemudian Rasulullah SAW. menyampaikan wahyu tersebut kepada umat Islam. Dan wahyu inilah yang menjadi hukum atau undang-undang yang wajib diikuti.
Kalau terjadi suatu masalah yang memerlukan ketetapan hokum, sedang Allah SWT. Tidak menurunkan wahyu tentang hal tersebut, maka Rasulullah SAW. berijtihad untuk menetapkan hokum suatu masalah, atau menjawab suatu pertanyaan atau memenuhi permintaan fatwa hukum. Hasil ijtihad Rasulullah SAW. ini menjadi hokum atau undang-undang yang wajib diikuti.
Barangsiapa yang memperhatikan secara seksama ayat-ayat hukum dalam al-Quran dan riwayat latar belakang historis turunnya, akan jelas bahwa setiap hukum dalam al-Quran itu disyariatkan karena adanya suatu peristiwa atau kejadian yang menghendaki penetapan hukumnya.
Cntoh :
mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar”. (QS. Al-Baqarah, 2:217).

mereka bertanya kepadamu tentang khamar[136] dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". (QS. Al-Baqarah, 2:219).
            Adapun yang berasal dari sumber kedua, yaitu ijtihad Nabi SAW. terkadang sebagai manifestasi dari ilham Ilahi, yakni  ketika Nabi SAW. berijtihad, Allah mengilhamkan kepadanya tentang ketetapan hukumnya. Dan terkadang pula ijtihad Nabi SAW. sebagai upaya penggalian hokum tersebut yang berdasarkan pada pertimbangan kemaslahatan serta jiwa perundang-undangan.
            Hukum-hukum yang bersifat ijtihadnya tersebut sebagai hasil pengilhaman Allah kepadanya. Rasul tidak mempunyai otoritas di dalamnya, melainkan hanya pengungkapan saja baginya dalam bentuk sabda atau perbuatan (qauliyah atau fi’liyah).

2.      Ushul Fikih Masa Sahabat
Masa sahabat sebenarnya adalah masa transisi dari masa hidup dan adanya bimbingan Rasulullah kepada masa Rasulullah tidak lagi mendampingi umat Islam. Ketika Rasulullah masih hidup sahabat menggunakan tiga sumber penting dalam pemecahan hukum, yaitu Alquran, sunnah, dan ra’yu (nalar). Petunjuk paling jelas terhadap tiga sumber tersebut tampak dalam riwayat berikut:
   عَنْ مُعَاذٍ : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَمَّا بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ لَهُ : كَيْفَ تَقْضِى إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟. قَالَ : أَقْضِى بِكِتَابِ اللَّهِ. قَالَ : فَإِنْ لَمْ تَجِدْهُ فِى كِتَابِ اللَّهِ؟ قَالَ : أَقْضِى بِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-. قَالَ : فَإِنْ لَمْ تَجِدْهُ فِى سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ ..قَالَ : أَجْتَهِدُ بِرَأْيِى لاَ آلُو. قَالَ : فَضَرَبَ بِيَدِهِ فِى صَدْرِى وَقَالَ : الْحَمْدُ للَّهِ الَّذِى وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِى رَسُولَ اللَّهِ.
Dari Muadz: Bahwasanya Rasulullah SAW ketika mengutus Muadz ke Yaman, beliau bersabda: “Bagaimana kau memutuskan juga dihadapkan perkara kepadamu‘ Muadz menjawab: “Saya putuskan dengan kitab Allah. Rasulullah bertanya kembali: “Jika tidak kau temukan dalam kitab Allah.” Muadz menjawab: “Saya putuskan dengan sunnah Rasulullah SAW. Rasulullah bertanya: Jika tidak kau temukan dalam sunnah Rasulullah‘ Muadz menjawab: “Saya berijtihad dengan ra’yu saya dan tidak melampaui batas.” Muadz lalu berkata: “Rasulullah memukulkan tangannya ke dada saya dan bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk utusan Rasulullah terhadap apa yang diridloi Rasulullah.”
            Meninggalnya Rasulullah memunculkan tantangan bagi para sahabat. Munculnya kasus-kasus baru menuntut sahabat untuk memecahkan hukum dengan kemampuan mereka atau dengan fasilitas khalifah. Sebagian sahabat sudah dikenal memiliki kelebihan di bidang hukum, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab, Abdullah Ibnu Mas’ud, Abdullah Ibn Abbas, dan Abdullah bin Umar. Karir mereka berfatwa sebagian telah dimulai pada masa Rasulullah sendiri.[3]
            Pada era sahabat ini digunakan beberapa cara baru untuk pemecahan hukum, di antaranya ijma sahabat dan maslahat. [4]Pertama, khalifah (khulafa’ rasyidun) biasa melakukan musyawarah untuk mencari kesepakatan bersama tentang persoalan hukum. Musyawarah tersebut diikuti oleh para sahabat yang ahli dalam bidang hukum. Keputusan musywarah tersebut biasanya diikuti oleh para sahabat yang lain sehingga memunculkan kesepakatan sahabat. Itulah momentum lahirnya ijma’ sahabat, yang dikemudian hari diakui oleh sebagian ulama, khususnya oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan pengikutnya sebagai ijma yang paling bisa diterima.
            Kedua, sahabat mempergunakan pertimbangan akal (ra’yu), yang berupa qiyas dan maslahah. Penggunaan ra’yu (nalar) untuk mencari pemecahan hukum dengan qiyas dilakukan untuk menjawab kasus-kasus baru yang belum muncul pada masa Rasulullah. Qiyas dilakukan dengan mencarikan kasus-kasus baru contoh pemecahan hukum yang sama dan kemudian hukumnya disamakan.
Penggunaan maslahah juga menjadi bagian penting fiqh sahabat. Umar bin Khattab dikenal sebagai sahabat yang banyak memperkenalkan penggunaan pertimbangan maslahah dalam pemecahan hukum. Hasil penggunaan pertimbangan maslahat tersebut dapat dilihat dalam pengumpulan Alquran dalam satu mushaf, pengucapan talak tiga kali dalam satu majelis dipandang sebagai talak tiga, tidak memberlakukan hukuman potong tangan diwaktu paceklik, penggunaan pajak tanah (kharaj), pemberhentian jatah zakat bagi muallaf, dan sebagainya.  
            Sahabat juga memiliki pandangan berbeda dalam memahami apa yang dimaksud oleh Alquran dan sunnah. Contoh perbedaan pendapat tersebut antara lain dalam kasus pemahaman ayat iddah dalam surat al-Baqarah 228..
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
“Perempuan-perempuan yang ditalak hendaknya menunggu selama tiga quru‘”
Kata quru’ dalam ayat di atas memiliki pengertian ganda (polisemi), yaitu suci dan haidh. Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ali, Usman, dan Abu Musa al-Asy’ari mengartikan quru’ dalam ayat di atas dengan pengertian haidh, sedangkan Aisyah, Zaid bin Tsabit, dan Ibnu Umar mengartikannya dengan suci.[5] Itu berarti ada perbedaan mengenai persoalan lafal musytarak (polisemi).
Secara umum, sebagaimana pada masa Rasulullah, ushul fiqh pada era sahabat masih belum menjadi bahan kajian ilmiah. Sahabat memang sering berbeda pandangan dan berargumantasi untuk mengkaji persoalan hukum. Akan tetapi, dialog semacam itu belum mengarah kepada pembentukan sebuah bidang kajian khusus tentang metodologi. Pertukaran pikiran yang dilakukan sahabat lebih bersifat praktis untuk menjawab permasalahan. Pembahasan hukum yang dilakuakn sahabat masih terbatas kepada pemberian fatwa atas pertanyaan atau permasalahan yang muncul, belum sampai kepada perluasan kajian hukum Islam kepada masalah metodologi.[6]

3     3. Ushul Fikih Masa Thabiin
Tabi’in adalah generasi setelah sahabat. Mereka bertemu dengan sahabat dan belajar kepada sahabat. Patut dicatat bahwa para sahabat ketika Islam menyebar turut pula menyebar ke berbagai daerah, seperti Ibnu Mas’ud ada di Iraq, Umayyah ada di Syam, Ibnu Abbas di Makkah, Umar bin Khattab, Aisyah,  Ibnu Umar, dan Abu Hurairah di Madinah, dan Abdullah bin Amru bin Ash di Mesir. Para sahabat tersebut berperan dalam penyebaran ajaran Islam dan menjadi tempat masyarakat masing-masing daerah meminta fatwa. Mereka pun memiliki murid-murid di daerah-daerah tersebut. Murid-murid sahabat itulah yang kemudian menjadi tokoh hukum di daerahnya masing-masing.
Murid-murid para sahabat tidak hanya dari kalangan orang-orang Arab, melainkan juga dari kalangan muslim non-Arab (mawali). Banyak pemberi fatwa yang terkenal di kalangan tabi‘in adalah non-Arab, seperti Nafi , Ikrimah, Atha’ bin Rabbah (para ahli hukum Makkah), Thawus (ahli hukum Yaman), Ibrahim al-Nakha‘i (ahli hukum Kufah), Hasan al-Bashri dan Ibnu Sirin (para ahli hukum Bashrah), dan Yahya ibn Katsir.[7]
Kecenderungan berpikir sahabat turut mempengaruhi pola pemikiran ushul fiqh di masing-masing daerah. Ibnu Mas’ud, misalnya, dikenal sebagai tokoh yang memiliki kemampuan ra’yu yang baik. Tidak mengherankan apabila murid-muridnya di Iraq (Kufah) juga dikenal dengan ahl al-ra’yi, meskipun ada faktor lain yang tentunya berpengaruh. Karena itulah, metode istimbath tabi’in umumnya tidak berbeda dengan metode istimbath sahabat. Hanya saja pada masa tabi’in ini mulai muncul dua fenomena penting:
a.       Pemalsuan hadits
  1. Perdebatan mengenai penggunaan ra’yu yang memunculkan  kelompok Iraq (ahl al-ra’yi) dan kelompok Madinah (ahl al-hadits)
Dengan demikian muncul bibit-bibit perbedaan metodologis yang lebih jelas yang sertai dengan perbedaan kelompok ahli hukum (fukaha) berdasarkan wilayah geografis.  Dua hal tersebut, ditambah munculnya para ahli hukum non-Arab, melahirkan wacana pemikiran hukum yang nantinya melahirkan madzhab-madzhab hukum Islam. Masing-masing madzhab hukum memiliki beberapa aspek metode yang khas, yang membedakannya dengan madzhab yang lain.  

4.      Ushul Fikih Masa Imam Madzhab     
Pada masa imam madzhab inilah pemikiran hukum Islam mengalami dinamika yang sangat kaya dan disertai dengan perumusan ushul fiqh secara metodologis. Artinya, ada kesadaran mengenai cara pemecahan hukum tertentu sebagai metode khas. Berbagai perdebatan mengenai sumber hukum dan kaidah hukum melahirkan berbagai ragam konsep ushul fiqh. Imam Najmuddin al-Thufi pada peralihan abad ke-7 ke abad ke-8 hijriyah, misalnya, menginventarisir sembilan belas dalil hukum, baik yang disepakati maupun yang dipertentangkan para ulama, yang masih dikenal pada masanya. Kesembilan belas dalil hukum itu antara lain:
1.      Alquran                                                                 
2.      hadits
3.      ijma’ ummat
4.      ijma’ orang Madinah
5.      qiyas,
6.      pendapat sahabat
7.      maslahah mursalah
8.      istishab
  1. bara’ah ashliyah
  2. adat/‘urf
  3.  istiqra’ (induksi)
  4. sadd al-dzariah (tindakan preventif)
  5. istidlal
  6.  istihsan
  7. mengambil yang lebih mudah
  8.  ishmah
  9. ijma’ orang Kufah
  10. Ijma’ sepuluh orang
  11. dan ijma khulafa’ yang empat (khulafa’ rasyidun).[8]
Perdebatan mengenai dalil hukum, baik tentang sunnah, amal ahli Madinah, istihsan, qiyas, maslahah mursalah, ijma’, ra’yu, mencapai puncaknya.  Imam Malik dan orang-orang Madinah sangat menghargai amal orang-orang Madinah. Ketika ada hadits Rasulullah diriwayatkan secara ahad (diriwayatkan oleh satu atau beberapa orang tapi tidak mencapai derajat pasti/mutawatir) bertentangan dengan amal ahli Madinah, amal ahli Madinah lah yang dipergunakan. Alasannya adalah bahwa amalan orang Madinah adalah peninggalan para sahabat yang hidup di Madinah dan mendapatkan petunjuk dari Rasulullah. Amalan orang Madinah telah dilakukan oleh banyak sekali sahabat yang tidak mungkin menyalahi ajaran Rasulullah, yang selama sepuluh tahun hidup di Madinah.
Oleh karena itu, Imam Malik pernah berkirim surat kepada Imam al-Laits, imam orang Mesir, yang isinya mengajak Imam laits untuk mempergunakan amalan orang Madinah. Akan tetapi tawaran tersebut ditolak oleh Imam Laits karena ia lebih setuju mengutamakan hadits, meskipun hadits itu ahad. Orang Iraq, khususnya Imam Abu Hanifah, mempergunakan istihsan apabila hasil qiyas, meskipun benar secara metode, dirasa tidak sesuai dengan nilai dasar hukum Islam. Penggunaan istihsan oleh Imam Abu Hanifah tersebut  ditentang ulama lain dan dipandang sebagai pemecahan hukum berdasarkan hawa nafsu. Orang-orang Iraq juga dikritik karena mempergunakan ra’yu secara berlebihan. Sementara itu, bagi orang Iraq, mempergunakan petunjuk umum ayat dan ra’yu lebih dirasa memadai dibandingkan mempergunakan riwayat dari Rasulullah, tetapi riwayat tersebut tidak meyakinkan kesahihannya.
Penggunaan amal Madinah oleh Imam Malik dan istihsan oleh Imam Abu Hanifah tidak berarti keduanya mengabaikan hadits. Alquran dan hadits tetap menjadi pilar utama istimbath hukum. Imam Malik adalah orang pertama yang menyusun kitab hadits, yaitu dalam kitabnya al-Muwaththa’. Kitab al-Muwaththa’ adalah kitab hadits yang dipergunakan sebagai dasar pemecahan masalah hukum sehingga disusun dengan sistematika fiqh. Imam Abu Hanifah dan para muridnya juga sangat menghargai hadits. Hasil istimbath hukum Imam Abu Hanifah dan orang-orang Iraq juga dipenuhi dengan dasar Alquran dan hadits.
Penolakan terhadap hadits tertentu terjadi karena keduanya mengutamakan riwayat yang kuat. Bagi Imam Malik, amalan orang Madinah sangat kuat karena diamalkan ribuan sahabat sejak masa Nabi Muhammad. Jadi, amalan orang Madinah tidak bisa dikalahkan hanya oleh riwayat oleh satu dua orang saja. Apabila riwayat tersebut bisa dibuktikan secara meyakinkan tentu Imam Malik akan menerimanya. Hal yang sama terjadi dengan Imam Abu Hanifah. Terjadinya pemalsuan hadits membuat orang-orang Iraq bertindak selektif. Apabila ada riwayat yang diragukan kesahihannya, mereka lebih merasa aman mempergunakan makna umum Alquran dan menjabarkannya melalui ra’yu (nalar) mereka. Akan tetapi, kalau ada hadits yang sahih tentu hadits tersebut yang dijadikan sandaran.
Sejalan dengan munculnya pemlsuan hadits tersebut, muncullah aliran ingkar al-sunnah. Aliran tersebut berpandangan bahwa Alquran saja sudah cukup dijadikan sebagai pedoman, tanpa perlu mempertimbangkan hadits. Aliarn tersebut adalah kelompok yang frustasi akibat terjadinya pemalsuan hadits sehingga menolak keseluruhan hadits, tanpa melalui penelitian terlebih dahulu. Memang pada masa tersebut Imam Bukhari, Imam Muslim dan para pengumpul hadits belum banyak seperti pada abad ke-4 Hijriyah, meskipun telah ada beberapa kitab hadits. Terhadap munculnya aliran ingkar al-sunnah tersebut, Imam Syafi’i bekerja keras membantah argumentasi kelompok ingkar al-sunnah. Perdebatan Imam Syafii dengan ingkar al-sunnah bisa dibaca dalam kitab al-Umm.Imam Syafii kemudian mengajukan sistematika dalil hukum yang utama, yaitu:
  1. Alquran
  2. Sunnah
  3. Ijma’
  4. Qiyas
Melalui sistematika tersebut, Imam Syafi’i menegaskan kembali Alquran sebagai sumber pertama, sedangkan hadits sebagai sumber kedua. Dengan rumusan semacam itu, dia menolak pandangan ingkar al-sunnah dan juga menolak sikap sebagian ulama ushul yang mendahulukan amalan orang Madinah atau makna umum Alquran dibandingkan hadits ahad. Gagasan demikianlah yang kemudian melahirkan madhab Syafi‘i.
            Imam Syafi’i melakukan pendisiplinan dan sistematikasi penggunaan ijma dan qiyas para oleh pendahulunya. Ia mengkritik ijma’ yang dilakukan berdasarkan kedaerahan, yaitu ijma’ ahli Madinah dan ijma’ orang Kufah. Beliau  menegaskan bahwa ijma’ yang valid adalah ijma’ umat Islam, tidak cukup ijma’ orang Kufah orang Madinah, atau ijma’ sahabat saja. Imam Syafi’i juga membenahi penggunaan qiyas agar dilakukan secara metodologis. Beliau mengajukan syarat-syarat agar qiyas dilakukan, yaitu melalui empat rukun qiyas, yang akan dibahas dalam bab qiyas nanti.
            Karya Imam Syafi’i, yaitu al-Risalah, adalah kitab ushul fiqh yang pertama ditulis. Kitab tersebut menjadi tonggak bagi perkembangan ushul fiqh sebagai bidang ilmu yang mandiri. Para ahli ushul menganggap Imam Syafi’i sebagai Bapak dan Pendiri ilmu ushul fiqh. [9]
            Di kalangan madzhab Hanafi ada yang menolak bahwa Imam Syafi’i sebagai pendiri ushul fiqh. Mereka menyatakan bahwa Imam Abu Hanifah dan dua muridnya: Imam Abu Yusuf Ibnu Abi Laila dan Muhammad bin Hasan al-Syaybani adalah peletak ilmu ushul fiqh. [10]Sejarah memang mencatat bahwa Imam Syafi’i pernah berguru kepada Imam Muhammad bin Hasan al-Syaybani.
Klaim golongan Hanafi boleh jadi benar apabila dikaitkan dengan munculnya gagasan metodologis ushul fiqh. Imam Syafi‘i tidak memulai segalanya dari ruang kosong. Rumusan-rumusan yang beliau tulis tentu telah dibicarakan orang pada masanya. Apalagi pemikiran ushul fiqh di Iraq memang kaya dan maju di masa itu. Hanya saja, Imam Syafi‘i lah yang memiliki bukti otentik, berupa karya, yang bisa menjadi patokan bagi dimulainya ushul fiqh sebagai bidang ilmu yang mandiri.
Setelah lahirnya kitab al-Risalah, perdebatan mengenai aspek metodologis masih terjadi dan perbedaan pendapat pun masih ada. Imam Ahmad bin Hanbal, meskipun murid Imam Syafi‘i, hanya menerima ijma‘ sahabat, bukan ijma‘ ummat. Imam Dawud al-Dzahiri menolak penggunaan qiyas dan lebih condong untuk menggunakan makna universal lafal Alquran atau hadits untuk diberlakukan kepada kasus-kasus baru.
C.     Aliran- aliran Ushul Fiqih
            Sejarah perkembangan ushul fiqh menunjukkan bahwa ilmu tersebut tidak mandeg, melainkan berkembang secara dinamis. Ada beberapa aliran metode penulisan ushul fiqh yang saat ini dikenal. Secara umum, para ahli membagi aliran penulisan ushul fiqh menjadi dua, yaitu mutakallimin (Syafi’iyyah) dan  aliran fukaha (Aliran Hanafiyah). Dari kedua aliran tersebut lahir aliran gabungan. Tiga aliran utama tersebut diuraikan sebagai berikut:

1).  Aliran Mutakallimin
Aliran mutakallimin disebut juga dengan aliran Syafi’iyyah. Alasan penamaan tersebut bisa dipahami mengingat karya-karya ushul fiqh aliran mutakallimin banyak lahir dari kalangan Syafi’iyyah, seperti al-Luma’ karya al-Syirazi, al-Mustashfa karya al-Ghazali, al-Mahsul karya Fakhruddin al-Razi, al-Burhan dan al-Waraqat karya al-Juwayni, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam karya al-Amidi, Minhaj al-Wushul ila Ilm a’-Ushul karya al-Baidlawi dan sebagainya. Karya al-Ghazali, al-Razi, dan al-Amidi banyak dirujuk oleh para ahli ushul fiqh dari madzhab non-Syafi’i. Kitab Rawdlah al-Nadzir wa Jannah al-Munadzir karya tokoh Hanabilah Ibnu Qudamah al-Maqdisi, misalnya, dipandang sebagai ringkasan dari al-Mustashfa karya al-Ghazali dan kitab Muntaha al-Wushul (al-Sul)wa al-Amal fi Ilmay al-Ushul wa al-Jadal karya Ibnu Hajib dipandang sebagai ringkasan kitab al-Ihkam fi ushul al-Ahkam karya al-Amidi..
Meskipun demikian, penulis-penulis ushul fiqh model mutakallimin hanya orang Asy’ariyyah. Penulis ushul fiqh aliran mutakallimin bersifat lintas madzhab. Ada penulis dari kalangan Hanbali, seperti
1)      Abu Ya’la (pengarang al-Uddah),
2)      Ibnu Qudamah (pengarang Rawdlah al-Nadzir wa Jannah al-Munadzir),
3)      Keluarga Ibnu Taimiyyah: Majduddin, Taqi al-Din, dan Ibnu Taimiyyah beserta ayah dan kakeknya (karangan ketiganya tercakup dalam kitab al-Musawwadah),
4)      Najm al-Din al-Thufi pengarang Mukhtashar al-Rawdlah dan Syarh Mukhtashar al-Rawdlah).
Ada penulis dari kalangan Maliki, seperti:
1)      Ibnu Hajib (pengarang Muntaha al-Wushul (al-Sul) wa al-Alam fi Ilmay al-Ushul wa al-Jadal).
Ada pula penulis dari kalangan Dzahiriyyah, seperti:
1)         Ibnu Hazm al-Andalusi (pengarang kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam).
Sebutan mutakallimin adalah sesuai dengan karakteristik penulisannya. Kaum mutakallimin adalah orang-orang yang banyak bergulat dengan pembahasan teologis dan banyak memanfaatkan pemikiran deduktif, termasuk logika Yunani. Orang-orang seperti Qadli Abdul Jabbar adalah seorang teolog Mu’tazilah. Imam Abu al-Husayn al-Bashri pun termasuk dalam aliran Mu’tazilah. Sementara itu, Imam Abu Bakar al-Baqillani, yang menulis buku al-Taqrib wa al-Irsyad dan diringkas oleh Imam al-Juwayni, dipandang sebagai Syaikh al-Ushuliyyin. Imam al-Juwayni sendiri, Imam al-Ghazali, dan Fakhruddin al-Razi adalah di antara tokoh-tokoh besar Asy’ariyyah penulis ushul fiqh. Ada pula penulis yang tidak menunjukkan kejelasan afiliasi teologis, tetapi menulis dengan pola mutakallimin, seperti Imam Abu Ishaq al-Syirazi.[11]
Ada beberapa ciri khas penulisan ushul fiqh aliran Mutakallimin, antara lain:
  1. Penggunaan deduksi di dalamnya. Ushul fiqh mutakallimin membahas kaidah-kaidah, baik disertai contoh maupun tidak. Kaidah-kaidah itulah yang menjadi pilar untuk pengambilan hukum. Jadi, kaidah dibuat dahulu sebelum digunakan dalam istimbath. Kaidah-kaidah tersebut utamanya berisi kaidah kebahasaan.
  2. Adanya pembahasan mengenai teori kalam dan teori pengetahuan, seperti terdapat dalam al-Luma karya al-Syirazi dan al-Ihkam karya al-Amidi. Teori kalam yang sering dibahas adalah tentang tahsin dan taqbih. Sementara itu, dalam pembahasan mengenai teori pengetahuan tersebut, dimasukkan pengertian ilmu dan terkadang dimasukkan pula muqaddimah mantiqiyyah (pengantar logika), sebagaimana terdapat dalam al-Mustashfa karya al-Ghazali, Rawdlah al-Nadzir karya Ibnu Qudamah, dan Muntaha al-Wushul (al-Sul) karya Ibnu Hajib.
Aliran mutakallimin mengembangkan gagasan-gagasan yang telah ada dalam kitab al-Risalah karya al-Syafi’i dengan berbagai penjelasan dan materi tambahan. Aliran ini banyak diikuti oleh para ulama dan menjadi aliran utama dalam ushul fiqh, serta bersifat lintas madzhab.
2)      Aliran Hanafiah
            Aliran Hanafiyah atau aliran Fuqaha adalah aliran yang diikuti oleh para ulama madzhab Hanafi. Madzhab Hanafi adalah madzhab yang sejak semula memiliki pengembangan metodologis yang baik. Hal itu dibuktikan dengan pengaruh perkembangan ilmu qawaid fiqh di kalangan Syafi’iyyah yang dipengaruhi oleh qawaid fiqh Hanafi. Karena itu, mereka mengembangkan sendiri model penulisan ushul fiqh yang khas madzhab Hanafi.
            Ciri khas penulisan madzhab Hanafi adalah berangkat dari persoalan-persoalan hukum yang furu yang dibahas oleh para imam mereka, lalu membuat kesimpulan metodologis berdasarkan pemecahan hukum furu tersebut. Jadi, kaidah-kaidah dibuat secara induktif dari kasus-kasus hukum. Kaidah-kaidah tersebut bisa berubah dengan munculnya kasus-kasus hukum yang menuntut pemecahan hukum yang lain. Karena itu, ushul fiqh Hanafi dipenuhi dengan persoalan hukum yang nyata.
            Karya ushul fiqh di kalangan Hanafi cukup banyak dikenal dan dirujuk. Kitab-kitab ushul fiqh yang khas menunjukkan metode Hanafiyah antara lain:
  1. al-Fushul fi Ushul Fiqh karya Imam Abu Bakar al-Jashash (Ushul al-Jashshash) sebagai pengantar Ahkam al-Quran.
  2. Taqwim al-Adillah karya Imam Abu Zayd al-Dabbusi
  3. Kanz al-Wushul ila Ma’rifat al-Ushul karya Fakhr al-Islam al-Bazdawi.
  4. Ushul Fiqh karya Imam al-Sarakhsi (Ushul al-Syarakhsi)
3)      Aliran Muta’akhirin
            Pada perkembangannya muncul tren untuk menggabungkan kitab ushul fiqh aliran mutakallimin dan Hanafiyah. Metode penulisan ushul fiqh aliran gabungan adalah dengan membumikan kaidah ke dalam realitas persoalan-persoalan fiqh. Persoalan hukum yang dibahas imam-imam madzhab diulas dan ditunjukkan kaidah yang menjadi sandarannya.
            Karya-karya gabungan lahir dari kalangan Hanafi dan kemudian diikuti kalangan Syafi’iyyah. Dari kalangan Hanafi lahir kitab Badi’ al-Nidzam al-jami‘ bayn Kitabay al-Bazdawi wa al-Ihkam yang merupakan gabungan antara kitab Ushul karya al-Bazdawi dan al-Ihkam karya al-Amidi. Kitab tersebut ditulis oleh Mudzaffar al-Din Ahmad bin Ali al-Hanafi. Ada pula kitab Tanqih Ushul karya Shadr al-Syariah al-Hanafi. Kitab tersebut adalah ringkasan dari Kitab al-Mahshul karya Imam al-Razi, Muntaha al-Wushul (al-Sul) karya Imam Ibnu Hajib, dan Ushul al-Bazdawi. Kitab tersebut ia syarah sendiri dengan judul karya Shadr al-Syari’ah al-Hanafi. Kemudian lahir kitab Syarh al-Tawdlih karya Sa’d al-Din al-Taftazani al-Syafii dan Jam’ al-Jawami’ karya Taj al-Din al-Subki al-Syafi’i.  
            Tiga aliran di atas adalah aliran utama dalam ushul fiqh. Sebenarnya ada pula yang memasukkan takhrij al-furu’ ‘ala al-ushul dan aliran khusus sebagai aliran lain dalam ushul fiqh. Aliran takhrij al-furu’ ‘ala al-ushul dipandang berwujud berdasarkan dua kitab yang secara jelas menyebut istilah tersebut, yaitu Kitab Takhrij al-Furu’ ‘Ala al-Ushul karya al-Isnawi al-Syafi‘i dan Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul karya al-Zanjani al-Hanafi. Sementara itu, aliran khusus adalah aliran yang mengkaji satu pokok bahasan ushul fiqh tertentu secara panjang lebar, seperti mengenai maslahah mursalah sebagaimana dilakukan oleh al-Syatibi dalam al-Muwafaqat atau oleh Muhammad Thahir ‘Asyur dalam Maqashid al-Syariah.  

D.    Pembukuan Ushul Fiqh
Salah satu yang mendorong diperlukannya pembukuan ushul fiqih adalah perkembangan wilayah Islam yang semakin luas, sehingga tidak jarang menyebabkan timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui kedudukan hukumnya. Untuk itu, para ulama Islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum.
Sebenarnya,jauh sebelum dibukukannya ushul fiqih, ulama-ulama terdahulu telah membuat teori-teori ushul yang dipegang oleh para pengikutnya masing-masing. tak heran jika pengikut para ulama tersebut mengklaim bahwa gurunyalah yang pertama menyusun kaidah-kaidah ushul fiqih.
Golongan Hanafiyah misalnya mengklaim bahwa yang pertama menyusun ilmu Ushul Fiqih ialah Abu Hanifah, Abu Yusuf Dan Ibnu Ali-Al Hasan. Alasan mereka bahwa Abu Hanifah merupakan orang yang pertama menjelaskan metode istinbath dalam kitabnyanya Ar-Ra'yu. Dan Abu Yusuf  adalah orang yang pertama menyusun ushul fiqh dalam madzhab hanafi, demikian pula Muhammad Ibnu Al-Hasan telah menyusun ushul fiqh sebelum As-Syafi'ie, bahkan As-Syafi'i berguru kepadanya.
Golongan As-Syafiiyah juga mengklaim bahwa Imam As-Syafi'i lah orang yang pertama yang menyusun  kitab ushul fiqh. Hal ini di ungkapkan oleh Al-Allamah Jamal Ad-Din Abd Ar-Rohman Ibnu Hasan Al-Asnawi. Menurutnya, "tidak diperselisihkan lagi "Imam Syafi'i adalah tokoh besar yang pertama-tama menyusun kitab dalam  ilmu ini, yaitu kitab yang tidak asing lagi dan yang sampai kepada kita sekarang, yakni kitab Al-Risalah2
Kalau dikembalikan pada sejarah, yang pertama berbicara tentang ushul fiqih sebelum dibukukannya adalah para sahabat dan tabi’in. Hal ini tidak diperselisihkan lagi. Namun yang diperselisihkan adalah orang yang mula-mula mengarang kitab ushul fiqih sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri yang bersifat umum dan mencakup segala aspeknya. Untuk itu kita perlu mengetahui terlebih dahulu teori-teori penulisan dalam ilmu ushul fiqih. Secara garis besar ada dua teori penulisan yang dikenal yakni.
Pertama, merumuskan kaidah-kaidah fiqiyah bagi setiap bab dalam bab fiqih dan menganalisisnya serta mengaplikasikan masalah furu’ atas kaidah-kaidah tersebut. Teori inilah yang ditempuh oleh golongan Hanafi dan merekalah yang merintisnya.
Kedua, merumuskan kaidah-kaidah yang dapat menolong seorang mujtahid dan meng-istinbat hukum dari sumber hukum syar’i, tanpa terikat oleh pendapat seorang faqih atau suatu pemahaman yang sejalan dengannya maupun yang bertentangan. Cara inilah yang ditempuh Asyafi’i dalam kitabnya ar-risalah, suatu kitab yang tersusun secara sempurna dalam bidang ilmu ushul dan independen. Kitab seperti ini belum ada sebelumya, menurut ijma’ ulama dan catatan sejarah.

E.   Ulama-ulama Madzhab dan kitab-kitab Rujukan Ushul Fikih
  1. Tahap awal (abad 3H)
pada abad 3 H di bawah pemerintahan Abassiyah wilayah Islam semakin meluas kebagian timur. Khalifah-khalifah yang berkuasa dalam abad ini adalah : Al-Ma'mun(w.218H), Al-Mu'tashim(w.227H), Al Wasiq(w.232H), dan Al-Mutawakil(w.247H) pada masa mereka inilah terjadi suatu kebangkitan ilmiah dikalangan Islam yang dimulai dari kekhalifahan Arrasyid. salah satu hasil dari kebangkitan berfikir dan semangat keilmuan Islam ketika itu adalah berkembangnya bidang fiqh yang pada giliranya mendorong untuk disusunya metode berfikir fiqih yang disebut ushul fiqh.
Seperti telah dikemukakan, kitab ushul fiqh yang pertama-tama tersusun seara utuh dan terpisah dari kitab-kitab fiqh ialah Ar-Risalah karangan As-Syafi'i. kitab ini dinilai oleh para ulama sebagai kitab yang bertnilai tinggi. Ar-Razi berkata "kedudukan As-Syafi'i dalam ushul fiqh setingkat dengan kedudukan Aristo dalam ilmu Manthiq dan kedudukan Al-Khalil Ibnu Ahmad dalam ilmu Ar-rud".
Ulama sebelum As-Syafi'i berbicara tentang masalah-masalah ushul fiqh dan menjadikanya pegangan, tetapi mereka belum memperoleh kaidah-kaidah umum yang menjadi rujukan dalam mengetahui dalil-dalil syari'at dan cara memegangi dan cara mentarjih kanya: maka datanglah Al-Syafi'i menyusun ilmu ushul fiqih yang merupakan kaidah-kaidah umum yang dijadikan rujukan-rujukan untuk mengetahui tingkatan-tingkatan dalil syar'I, kalaupun ada orang yang menyusun kitab ilmu ushul fiqh sesudah As-Syafi;I, mereka tetap bergantung pada Asy-Syafi'i karena Asy-Syafi'ilah yang membuka jalan untuk pertama kalinya.
Selain kitab Ar-Risalah pada abad 3 H telah tersusun pula sejumlah kitab ushu fiqh lainya. Isa Ibnu Iban(w.221H\835 M) menulis kitab Itsbat Al-Qiyas. Khabar Al-Wahid, ijtihad ar-ra'yu. Ibrahim Ibnu Syiar Al-Nazham (w.221H\835M) menulis kitab An-Nakl dan sebagainya.
Namun perlu diketahui pada umumnya kitab ushul fiqh yang ada pada abad 3 H ini tidak mencerminkan pemikiran-pemikiran ushul fiqh yang utuh dan mencakup segala aspeknya, kecuali kitab Ar-Risalah itu sendiri. Kitab Ar-Risalahlah yang mencakup permasalahan-permasalahan ushuliyah yang menjadi pusat perhatian Para Fuqoha pada zaman itu.
Disamping itu, pemikiran ushuliyah yang telah ada, kebanyakan termuat dalam kitab-kitab fiqh, dan inilah salah satu penyebab pengikut ulama-ulama tertentu mengklaim bahwa Imam Madzhabnya sebagai perintis pertama ilmu ushul fiqh tersebut. Golongan Malikiyah misalnya mengklaim imam madzhabnya sebagai perintis pertama ushul fiqh dikarenakan Imam Malik telah menyinggung sebagian kaidah-kaidah ushuliyyah dalam kitabnya Al Muwatha. Ketika ia ditanya tentang kemungkinan adanya dua hadits shoheh yang berlawanan yang datang dari Rasulluloh pada saat yang sama, Malik menolaknya dengan tegas, karena ia berperinsip bahwa kebenaran itu hanya terdapat dalam satu hadits saja
  1. Tahap perkembangan (abad 4 H)
Pada masa ini abad(4H) merupakan abad permulaan kelemahan Dinasty abassiyah dalam bidang politik. Dinasty Abasiyah terpecah menjadi daulah-daulah kecil yang masing-masing dipimpin oleh seorang sultan. Namun demikian tidak berpengaruh terhadap perkembangan semangat keilmuan dikalangan para ulama ketika itu karena masing-masing penguasa daulah itu berusaha memajukan negrinya dengan memperbanyak kaum intelektual.
Khusus dibidang pemikiran fiqh Islam pada masa ini mempunyai karakteristik tersendiri dalam kerangka sejarah tasyri' Islam. Pemikiran liberal Islam berdasarkan ijtihad muthlaq berhenti pada abad ini. mereka mengangagap para ulama terdahulu mereka suci dari kesalahan sehingga seorang faqih tidak mau lagi mengeluarkan pemikiran yang khas, terkecuali dalam hal-hal kecil saja, akibatnya aliran-aliran fiqh semakin mantap exsitensinya, apa lagi disertai fanatisme dikalangan penganutnya. Hal ini ditandai dengan adanya kewajiban menganut madzhab tertentu dan larangan melakukan berpindahan madzhab sewaktu-waktu.
Namun demikian, keterkaitan pada imam-imam terdahulu tidak dikatakan taqlid, karena masing-masing pengikut madzhab yang ada tetap mengadakan kegiatan ilmiah guna menyempurnakan apa yang dirintis oleh para pendahulunya.dengan melakukan usaha antara lain:
  1. Memperjelas ilat-ilat hukum yang di istinbathkan oleh para imam mereka mereka disebut ulama takhrij
  2. Mentarjihkan pendapat-pendapat yang berbeda dalam madzhab baik dalam segi riwayat dan dirayah.
  3. Setiap golongan mentarjihkanya dalam berbagai masalah khilafiyah. Mereka menyusu kitab al-khilaf
Akan tetapi tidak bisa di ingkari bahwa pintu ijtihad pada periode ini telah tertutup, akibatnya dalam perkembangan fiqh Islam adalah sebagai berikut:
  1. Kegiatan para ulama terbatas terbatas dalam menyampaikan apa yang telah ada, mereka cenderung hanya mensyarahkan kitab-kitab terdahulu atau memahami dan meringkasnya.
  2. Menghimpun masalah-masalah furu yang sekian banyaknya dalam uaraian yang sungkat
  3. Memperbanyak pengandaian-pengandaian dalam beberapa masalah permasalahan.
Keadaan tersebut sangat, jauh berbeda di bidang ushul fiqh. Terhentinya ijtihad dalam fiqh dan adanya usaha-usaha untuk meneliti pendapat-pendapat para ulama terdahulu dan mentarjihkanya. Justru memainkan peranan yang sangat besar dalam bidang ushul fiqh.
Sebagai tanda berembangnya ilmu ushul fiqh dalam abad 4 H ini ditandai dengan munculnya kitab-kitab ushul fiqh yang merupakan hasil karaya ulama-ulama fiqh diantara kitab yang terekenal adalah:
  1. Kitab Ushul Al-Kharkhi, ditulis oleh Abu Al-Hasan Ubaidillah Ibnu Al-Husain Ibnu Dilal Dalaham Al-Kharkhi,(w.340H.)
  2. Kitab Al –Fushul Fi-Fushul Fi-Ushul, ditulis oleh Ahmad Ibnu Ali Abu Baker Ar-Razim yang juga terkenal dengan Al-Jasshah (305H.)
  3. Kitab Bayan Kasf Al-Ahfazh, ditulis oleh abu Muhammad Badr Ad-Din Mahmud Ibnu Ziyad Al-Lamisy Al-Hanafi.
Ada beberapa hal yang menjadi ciri khas dalam perkembangan ushul fiqh pada abad 4H yaitu munculnya kitab-kitab ushul fiqh yang membahas ushul fiqh secara utuh dan tidak sebagian-sebagian seperti yang terjadi pada masa-masa sebelumnya. Kalaupun ada yang membahas hanya kitab-kitab tertentu, hal itu semata-mata untuk menolak atau memperkuat pandangan tertentu dalam masalah itu.

      3. Tahap penyempurnaan ( 5-6 H )
kelemahan politik di Baghdad, yang ditandai dengan lahirnya beberapa daulah kecil, membawa arti bagi perkembanangan peradaban dunia Islam. Peradaban Islam tak lagi berpusat di Baghdad, tetapi juga di kota-kota seperti Cairo, Bukhara, Ghaznah, dan Markusy. Hal itu disebabkan adanya perhatian besar dari para sultan, raja-raja penguasa daulah-daulah kecil itu terhadap perkembangan ilmu dan peradaban.
Hingga berdampak pada kemajuan dibidang ilmu ushul fiqih yang menyebabkan sebagian ulama memberikan perhatian khusus untuk mndalaminya, antara lain Al-Baqilani, Al-Qhandi, abd. Al-jabar, abd. Wahab Al-Baghdadi, Abu Zayd Ad Dabusy, Abu Husain Al Bashri, Imam Al-Haramain, Abd. Malik Al-Juwani, Abu Humaid Al Ghazali dan lain-lain. Mereka adalah pelopor keilmuan Islam di zaman itu. Para pengkaji ilmu keislaman di kemudian hari mengikuti metode dan jejak mereka, untuk mewujudkan aktivitas ilmu ushul fiqih yang tidak ada bandinganya dalam penulisan dan pengkajian keislaman , itulah sebabnya pada zaman itu, generasi Islam pada kemudian hri senantiasa menunjukan minatnya pada produk-produk ushul fiqih dan menjadikanya sebagi sumber pemikiran.
Dalam sejarah pekembangan ilmu ushul fiqih pada abad 5 H dan 6 H ini merupakan periode penulisan ushul fiqih terpesat yang diantaranya terdapat kitab-kitab yang mnjadi kitab standar dalam pengkajian ilmu ushul fiqih slanjutnya.
Kitab-kitab ushul fiqih yang ditulis pada zaman ini, disamping mencerminkan adanya kitab ushul fiqih bagi masing-masing madzhabnya, juga menunjukan adanya alioran ushul fiqih, yakni aliran hanafiah yang dikenal dengan alira fuqoha, dan aliran Mutakalimin
Puncak perkembangan ushul fiqh terjadi  sekitar pada abad ke-5 Hijriyah. Pada masa tersebut, lahir para ulama dan karya-karya ushul fiqh kenamaan yang menjadi rujukan kitab-kitab ushul fiqh di kemudian hari. Di antara kitab-kitab penting ushul fiqh yang lahir pada abad ke-5 tersebut antara lain:
  1. Kitab al-Ahd atau al-Amd karya Qadli Abd al-Jabbar al-Mu‘tazili (w. 415H/1024M)
  2. Kitab al-Mu‘tamad karya Abu Husayn al-Bashri al-Mu’tazili (w. 436H 1044M)
  3. Kitab al-‘Uddah karya Abu Ya’la al-Hanbali (w. 458H/1065M)
  4. Kitab al-Ihkam fi ‘Ushul al-Ahkam karya Ibnu Hazm al-Dzahiri (w. 456H/1062M)
  5. Kitab al-Luma’ karya Abu Ishaq al-Syirazi al-Syafi‘i (w. 467H /1083 M)
  6. Kitab al-Burhan karya Al-Juwayni al-Syafi‘i (w. 478H /1085M)
  7. Kitab Ushul Al-Sarakhsi karya Imam al-Sarakahsi al-Hanafi (w. 490H/1096M).
Imam Abu Hamid Al-Ghazali wafat pada tahun 505 H atau abad ke-6, tetapi sebagian hidupnya dihabiskan pada abad ke k-5. Karena itu, kitab al-Mustashfa karya al-Ghazali dapat dimasukkan ke dalam jajaran kitab yang dilahirkan ulama abad ke-5.
Di antara kitab-kitab di atas, ada empat kitab yang kemudian memperoleh pengakuan sebagai kitab terbaik dan mempengaruhi perkembangan ushul fiqh selanjutnya di kalangan mutakallimin, yaitu al-Ahd karya Qadli Abdul Jabbar,  al-Mu‘tamad karya Abu Husayn al-Bashri, al-Burhan karya al-Juwayni, dan al-Musthasfa karya al-Ghazali. Kitab-kitab tersebut disebut Ibnu Khaldun sebagai kitab ushul fiqh terbaik. Empat kitab tersebut kemudian diringkas dan dijabarkan kembali oleh para ulama setelahnya, khususnya para ulama abad ke-7 Hijriyyah, seperti Fakhruddin al-Razi, al-Amidi, Ibnu Qudamah, Ibnu Hajib dan sebagainya.
Karena itu, muncullah beberapa kesepakatan dalam berbagai kitab ushul mengenai sistematikasi bahasan kitab ushul. Bahasan mengenai hukum, kaidah-kaidah-kaidah kebahasaan, kaidah naskh dan tarjih, dalil hukum, dan ijtihad hampir ada di semua kitab ushul fiqh mutakallimin yang berakar dari empat kitab di atas. Perbedaan bahasan terjadi dalam beberapa aspek, misalnya tentang pengantar logika, pembahasan kalam, dan tentang huruf, yang ada disebagian kitab ushul dan tidak ada disebagian kitab ushul yang lain.[12]
F.     Hubungan Antara Ushul Fiqih dengan Cabang-cabang Ilmu yang terkait
Murtada Mutahhari membahas kata “ilmu-ilmu Islami” dan membuat definisi yang jelas baginya untuk menjelaskan apa yang kita maksud jika kita menyebut kata ilmu-ilmu Islami dan apa esensi universalitas-universalitas yang hendak kita ketahui pada pelajaran-pelajaran ini. Dia mengatakan bahwa ilmu-ilmu Islami yang menjadi subjek pembahasan kita dapat didefinisikan dari berbagai aspek, dan seiring perbedaan definisi itu, maka subjek-subjeknya juga berbeda-beda.
  1. Ilmu yang subjek atau temanya seputar pokok (usul) dan cabang (furu‘) ajaran Islam, atau ilmu yang dengannya dapat ditetapkan usul dan furu‘ ajaran Islam yaitu al-Quran dan Sunnah, seperti Ilmu Qiraah, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadith, Ilmu Kalam Tradisional, Ilmu Fiqh, Ilmu Akhlak Tradisional.
  2. Ilmu-ilmu tersebut ditambah dengan ilmu-ilmu pengantarnya, seperti Sastra Arab, yaitu Sarf, Nahwu, Linguistis, Ma‘ani, Bayan, Badi‘, dll; juga Kalam Rasional, Akhlak Rasional, Hikmah Ilahiyyah, Logika, Usul Fiqh, Rijal, dan Dirayah.
  3. Ilmu yang dari aspek tertentu merupakan bagian dari kewajiban Islami, yaitu ilmu yang wajib dikuasai oleh Kaum Muslimin sebagai sebuah kewajiban kifayah yang tercakup dalam hadith Nabi yang terkenal, “Menuntut ilmu itu fardu bagi setiap muslim.”
Pertama, ilmu yang subjek dan temanya termasuk usul atau furu‘ ajaran Islam; atau ilmu yang menjadi sandaran dalam menetapkan usul dan furu‘ ajaran Islam, adalah ilmu yang wajib dipelajari. Sebab, memahami usul ajaran agama adalah wajib ‘ayni atas semua muslim, dan memahami furu‘ ajaran agama adalah wajib kifa’i, sebagaimana mempelajari al-Quran dan Sunnah juga merupakan kewajiban, karena tanpa keduanya maka pengetahuan tentang usul dan furu‘ ajaran Islam tidak mungkin diperoleh.
kedua, mempelajari ilmu-ilmu pengantar untuk menguasai ilmu-ilmu tersebut juga merupakan kewajiban dari segi “pengantar bagi sesuatu yang wajib adalah wajib”. Artinya, harus selalu ada orang-orang yang menguasai ilmu-ilmu tersebut minimal dalam kadar yang mencukupi. Bahkan, harus selalu ada orang-orang yang mampu berperan dalam melakukan inovasi dalam ilmu-ilmu dasar dan pengantar tersebut, serta berusaha memperkaya dan mengembangkannya secara kontinyu.
Para ulama Islam sepanjang 14 abad telah berusaha meluaskan wilayah ilmu-ilmu tersebut. Dalam bidang ini, mereka telah meraih keberhasilan yang nyata. Kita secara bertahap akan mengkaji pertumbuhan, perkembangan, perubahan, dan penyempurnaan ilmu-ilmu tersebut.
Ketiga, ilmu yang wajib dipelajari oleh kaum Muslimin tidak terbatas pada ilmu-ilmu yang sudah disebutkan. Sebab, jika terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan primer masyarakat Islam tergantung kepada penguasaan, spesialisasi, dan ijtihad pada suatu ilmu, maka ilmu itu wajib dikuasai oleh umat Islam.
Untuk menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang holistik dan komprehensif, agama yang tidak hanya memuat serangkaian nasihat moral dan individual, agama yang berfungsi melindungi masyarakat, maka kami katakan bahwa Islam mewajibkan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh masyarakat sebagai wajib kifayah. Misalnya, jika masyarakat membutuhkan dokter, maka kedokteran menjadi wajib kifayah. Artinya, penyediaan dokter dalam jumlah yang mencukupi adalah kewajiban atas masyarakat. Jika dokter dalam jumlah yang mencukupi tidak tersedia, maka masyarakat harus menyiapkan kondisi hingga tersedianya dokter-dokter dan terpenuhinya kebutuhan tersebut. Karena kedokteran tergantung pada dikuasainya ilmu kedokteran, maka menguasai ilmu ini tentu saja menjadi salah satu wajib kifayah. Demikian juga dalam pendidikan, politik, perdagangan, dan bidang-bidang ilmu serta bidang-bidang keterampilan lainnya.
Jika pada pos-pos tertentu terlindunginya eksistensi masyarakat Islam tergantung kepada penguasaan ilmu dan keterampilan pada level yang sangat tinggi, maka ilmu dan keterampilan itu wajib dikuasai pada level tersebut. Dari contoh ini kita dapat memahami bahwa Islam menganggap semua ilmu yang penting bagi masyarakat Islam sebagai kewajiban, sehingga ilmu-ilmu Islam, berdasarkan definisi ketiga ini, mencakup banyak ilmu fisika dan matematika “yang dibutuhkan oleh masyarakat Islam”.
Ilmu-ilmu yang memperoleh kesempurnaan di peradaban ilmiah Islam. Ilmu-ilmu ini lebih banyak (lebih umum) daripada ilmu-ilmu yang dianggap wajib dan primer oleh Islam, serta lebih banyak daripada ilmu-ilmu yang dianggap Islam sebagai ilmu yang terlarang, karena dengan cara bagaimana pun ilmu-ilmu ini berkembang di masyarakat Islam. Misalnya, ilmu astrologi (‘ilm al-tanjim al-ahkami) yang berbeda dengan ilmu astronomi (‘ilm al-tanjim al-riyadi). Kita mengetahui bahwa ilmu astronomi itu termasuk dari ilmu-ilmu Islam yang boleh dipelajari jika ilmu ini berkaitan dengan rumus-rumus matematika yang mengkaji kondisi-kondisi alam semesta, menjelaskan rangkaian prediksi yang berbasis prinsip-prinsip matematika, seperti memprediksi gerhana matahari dan gerhana bulan. Sedangkan jika berkaitan dengan sesuatu di luar batas rumus-rumus matematika, yaitu jika berkaitan dengan penjelasan rangkaian hubungan yang samar antara kondisi-kondisi perbintangan (samawiyyah) dengan kejadian-kejadian sehari-hari, yang berujung pada ramalan-ramalan tentang peristiwa-peristiwa sehari-hari, maka ilmu ini diharamkan oleh Islam. Meskipun demikian, kedua jenis ilmu perbintangan ini ada di tengah peradaban dan kebudayaan Islam.
Dari keempat definisi itu, Mutahhari mengambil definisi ketiga sebagai pengertian ilmu-ilmu Islam, yaitu ilmu-ilmu yang dianggap Islam sebagai fardu, memiliki sejarah yang mendalam di dalam peradaban dan budaya Islam, serta menempati posisi terhormat di kalangan umat Islam karena menjadi instrumen untuk memenuhi kebutuhan atau untuk melaksanakan suatu kewajiban tertentu [13].
Mutahhari mengatakan bahwa peradaban Islam adalah peradaban yang khas di antara peradaban-peradaban lain di dunia. Peradaban yang khas artinya peradaban yang memiliki orisinalitas dan karakteristik tersendiri, sedangkan peradaban yang tidak khas artinya peradaban yang sekadar mengikuti peradaban lain. Kriteria untuk menentukan sebuah khas atau tidak sebuah peradaban adalah ada atau tidak adanya motif, tujuan, gerak, dan cara pertumbuhan tersendiri, serta ciri-ciri utama yang menonjol.
Tapi, menyatakan suatu peradaban memiliki orisinalitas tidak berarti bahwa peradaban itu tidak mengambil manfaat dari  peradaban-peradaban lain karena hal itu mustahil. Tidak ada satu pun peradaban di dunia yang tidak mengambil manfaat dari peradaban lain. Cara mengambil manfaatlah yang menentukan orisinal/tidaknya suatu peradaban. Yang tidak orisinal adalah yang hanya mengambil atau mengimpor peradaban lain tanpa mengolahnya sedikit pun. Sedangkan yang orisinal adalah yang mencerna peradaban lain seperti yang dilakukan organ makhluk hidup yang menyerap suatu benda lalu mengolahnya menjadi benda lain. Peradaban Islam termasuk jenis peradaban dalam pengertian yang kedua.

Usul Fiqh adalah ilmu alat seperti Ilmu Bahasa dan Ilmu Logika
Umat Islam telah mengkaji masalah-masalah praktis dan menetapkan metodenya (Usul Fiqh) sebelum mereka mengkaji masalah-masalah teologis teoritis dan mencari metodenya. Para ulama Usul Fiqh lebih dulu menciptakan metode penelitian daripada para ulama Usul al-Din dan metode itu menjadi rujukan utama sampai pada abad 5 H., al-Ghazali menyerukan untuk memadukan logika Aristoteles dengan ilmu-ilmu Islam dan menjadikannya satu-satunya metode kajian ilmiah.[14]
Karakter metodologis Ilmu Usul Fiqh sangat kentara sehingga dalam kaitannya dengan ilmu fiqih dia berperan seperti Ilmu Logika bagi filsafat atau Ilmu Nahwu dalam kaitannya dengan berbicara dan menulis dengan Bahasa Arab. Mengapa? Al-Zarkashi dalam Bahr al-Muhit yang dikutip oleh al-Nashshar, menegaskan bahwa Usul Fiqh adalah majmu‘ turuq al-fiqh min haythu annaha ‘ala sabil al-ijmal wa kayfiyyah al-istidlal biha wa hal al-mustadall biha. Ringkasnya, Usul Fiqh adalah metode penelitian seorang faqih. Dengan kata lain, Usul Fiqh adalah qanun ‘asim li dhihn al-faqih min al-khata’ fi al-istidlal ‘ala al-ahkam.
Ilmu Usul Fiqh adalah salah satu ilmu rasional (al-‘ulum al-‘aqliyyah). Al-‘Ulwani mengatakan bahwa Mustafa ‘Abd al-Raziq menegaskan urgensi ilmu ini dan menyatakan bahwa peneliti sejarah Filsafat Islam harus mempelajari al-ijtihad bi al-ra’y karena hal ini merupakan kajian rasional pertama yang terbukti dilakukan kaum muslimin hingga memunculkan mazhab-mazhab fiqh dan melahirkan Ilmu Usul Fiqh.‘Abd al-Raziq bukan orang pertama yang menyatakan hal ini. Ibnu Khaldun, Tashi Kubra Zadah, dan al-Shatibi telah menyatakan hal tersebut. Buku-buku babon Usul Fiqh pun kebanyakan ditulis oleh para teolog, seperti al-Burhan oleh al-Haramayn [ulama mazhab al-Shafi‘i, w. 487 H.], al-Mustasfa oleh al-Ghazali, al-‘Ahd oleh ‘Abd al-Jabbar, dan al-Mu‘tamad oleh Abu al-Husayn al-Basri [ulama mazhab Mu‘tazilah, w. 413 H.]. Tapi, ‘Abd al-Raziq berjasa mengingatkan dan mengekspos rasionalitas ilmu ini secara metodologis disertai dengan argumentasi rasional dan historis [15].


G.    Penutup
Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat disimpulkan:
  1. Apa yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa sejak zaman Rasulullah saw., sahabat  dan sesudahnya, pemikiran hukum Islam mengalami perkembangan. Namun demikian, corak atau metode pemikiran belum terbukukan dalam tulisan yang sistematis. Dengan kata lain, belum terbentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri
  2. Karena timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui hukumnya. Untuk itu, para ulama Islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum maka disusunlah kitab ushul fiqih .
  3. Bahwa kegiatan ulama dalam penulisan ushul fiqih merupakan salah satu upaya dalam menjaga keasrian hukum syara. Dan menjabarkanya kehidupan social yang berubah-ubah itu, kegiatan tersebut dimuali pada abad ketiga hijriyah. ushul fiqih terus berkembang menuju kesempurnaanya hingga abad kelima dan awal abad 6 H abad tersebut merupakan abad keemasan penulisan ilmu ushul fiqh karena banyak ulama yang memusatkan perhatiannya pada bidang ushul fiqih dan juga muncul kitab-kitab fiqih yang menjadi standar dan rujukan untuk ushul fiqih selanjutnya.










Daftar Pustaka
Abdul Wahab Ibrhamim Abu Sulaiman. Al-Fikr al-Usuli: Dirasah Tahliliyah Naqdiyah. Jeddah: Dar al-Syuruq. 1983.
Abu Zahrah. Ushul Fiqh. Tt: Tp. Tth
Ali Sami al-Nashshar, Manahij al-Bahth ‘Inda Mufakkiri al-Islam wa Naqd al-Muslimin li Mantiq al-Aristatalisi, Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, cet. I, 1367 H./1947 M. h. 53-55.
Fahmi Muhammad ‘Ulwan, al-Qiyam al-Daruriyyah wa Maqasid al-Tashri‘ al-Islami, tth
Imam al-Syirazi dikenal sebagai pengikut Syafi’i yang non-Asy’ariyyah dan menjadi rival Imam al-Juwayni dalam perdebatan (munadzarah) teologis. Lihat catatan mengenai perdebatan teologis Abu Ishaq al-Syirazi dan Al-Juwayni dalam George al-Makdisi. The Rise of Colledge: Institution of Learning in Islam and in The West.Edinburgh: Edinburgh University Press. 1981
Muhammad Sa‘id al-Khinn. Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Ushuliyyah fi Ikhtialaf al-Fuqaha. Beirut: Muassassah al-Risalah. 1994.
Musthafa Sa‘id al-Khinn. Atsar al-Ikhtilaf… .
Muhammad al-Khudlary. Tarikh Tasyri’ al-Islamy. Surabaya: dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah. Tth
Murtada Mutahhari, al-Usul, terj. Hasan ‘Ali al-Hashimi, Beirut: Dar al-Wala’, cet. I, 2009 M./1430 H
Najmuddin al-Thufi. Kitab al-Ta’yin fi Syarh al-Arbain. Beirut: Muassasah al-Rayyan. 1998.
Noel James Coulson. History of Islamic Law. Edinburgh: Edinburgh University Press. 1964
Thaha Jabir Alwani. Source Methodology in Islamic Jurisprudence. Virginia: IIIT. 1994.
Wael B. Hallaq. A History of Islamic Legal Theories, an Introduction to Sunni Ushul Fiqh. Cambridge:  Cambridge University Press. 1997. h. 127







[1]  Abu Zahrah. Ushul Fiqh. Tt: Tp. Tth. h. 12
[2] Muhammad Sa‘id al-Khinn. Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Ushuliyyah fi Ikhtialaf al-Fuqaha. Beirut: Muassassah al-Risalah. 1994. h. 122-123.

[3] Thaha Jabir Alwani. Source Methodology in Islamic Jurisprudence. Virginia: IIIT. 1994. h. 19
[4] Abdul Wahab Ibrhamim Abu Sulaiman. Al-Fikr al-Usuli: Dirasah Tahliliyah Naqdiyah. Jeddah: Dar al-Syuruq. 1983. h. 38-39..

[5]Musthafa Sa‘id al-Khinn. Atsar al-Ikhtilaf… h. 72.
[6] Muhammad al-Khudlary. Tarikh Tasyri’ al-Islamy. Surabaya: dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah. Tth. h. 114.
[7] Taha Jabir Alwani.Source Methodology h. 33
[8] Najmuddin al-Thufi. Kitab al-Ta’yin fi Syarh al-Arbain. Beirut: Muassasah al-Rayyan. 1998. h. 237-238.

[9] Abu Zahrah. Ushul Fiqh. Tt: Tp. Tth. h. 13. Lihat  juga Noel James Coulson. History of Islamic Law. Edinburgh: Edinburgh University Press. 1964. h. 53 dst.
[10] Wael B. Hallaq. A History of Islamic Legal Theories, an Introduction to Sunni Ushul Fiqh. Cambridge:  Cambridge University Press. 1997. h. 127

[11] Imam al-Syirazi dikenal sebagai pengikut Syafi’i yang non-Asy’ariyyah dan menjadi rival Imam al-Juwayni dalam perdebatan (munadzarah) teologis. Lihat catatan mengenai perdebatan teologis Abu Ishaq al-Syirazi dan Al-Juwayni dalam George al-Makdisi. The Rise of Colledge: Institution of Learning in Islam and in The West.Edinburgh: Edinburgh University Press. 1981. h. 154.     

[12] Wael B. Hallaq. Op.Cit. h. 127

[13] Murtada Mutahhari, al-Usul, terj. Hasan ‘Ali al-Hashimi, Beirut: Dar al-Wala’, cet. I, 2009 M./1430 H., h. 8
[14]Ali Sami al-Nashshar, Manahij al-Bahth ‘Inda Mufakkiri al-Islam wa Naqd al-Muslimin li Mantiq al-Aristatalisi, Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, cet. I, 1367 H./1947 M. h. 53-55.
[15] Fahmi Muhammad ‘Ulwan, al-Qiyam al-Daruriyyah wa Maqasid al-Tashri‘ al-Islami, h. 7.

No comments:

Post a Comment