SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU USHUL
FIQIH
Oleh : Nashihuddin, M.Ag
A.
Pendahuluan
Ilmu Ushul
fiqih tumbuh dan berkembang dengan tetap berpijak pada Al-Quran dan Sunnah,
ushul fiqih tidak timbul dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada
sejak zaman Rosulullah SAW dan sahabat. Masalah utama yang menjadi bagian ushul
fiqih, seperti ijtihad, qiyas, nasakh, dan takhsis pun sudah ada pada zaman
Rosulullah SAW dan sahabat. Namun, di
masa Rasulullah Saw, umat Islam tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam
memahami hukum-hukum syar’i, semua permasalahan dapat langsung merujuk kepada
Rasulullah saw lewat penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an, atau melalui sunnah
beliau.
Pada masa
tabi’in cara mengistinbath hukum semakin berkembang. Di antara mereka ada yang
menempuh metode maslahah atau metode qiyas di samping berpegang pula pada fatwa
sahabat sebelumnya. Pada masa tabi’in inilah mulai tampak perbedaan-perbedaan
mengenai hukum sebagai konskuensi logis dari perbedaan metode yang digunakan
oleh para ulama ketika itu. Corak perbedaan pemahaman lebih jelas lagi pada
masa sesudah tabi’in atau pada masa Al- Aimmat Al- Mujtahidin. Sejalan dengan
itu, kaidah-kaidah istinbath yang digunakan juga semakin jelas bentuknya. Abu
Hanifah misalnya menempuh metode qiyas dan istihsan. Sementara Imam Malik
berpegang pada amalan mereka lebih dapat dipercaya dari pada hadis ahad [1].
Apa yang
dikemukakan diatas menunjukkan bahwa sejak zaman Rasulullah saw., sahabat,
tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum Islam mengalami perkembangan. Namun
demikian, corak atau metode pemikiran belum terbukukan dalam tulisan yang
sistematis. Dengan kata lain, belum terbentuk sebagai suatu disiplin ilmu
tersendiri.
B.
Periodisasi Ushul Fiqih
Ushul fiqih ada sejak fiqh
ada. Di mana ada fiqh, maka di sana wajib ada ushul fiqh dengan segala
ketentuan dan kaidahnya. Karena fiqh adalah hakikat yang dicari ilmu Ushul
fiqh. Sekalipun keberadaannya bersamaan, fiqh lebih dulu dibukukan dari ushul
fiqh. Dalam arti problematika, kaidah dan bab-bab di dalamnya lebih dulu
dibukukan, dipisah dan dibeda-bedakan. Hal ini tidak berarti bahwa ushul fiqh
tidak ada sebelum adanya fiqh atau sebelum dibukukan, atau bahwa ulama fiqh
tidak menggunakan kaidah dan metode yang tetap dalam mencetuskan hukum. Karena
faktanya, kaidah dan metode ushul fiqh sudah menyatu dalam jiwa para mujtahid.
Mereka telah bergumul dengannya sekalipun tidak terang-terangan. Maka saat
sahabat sekaligus ulama fiqh, Abdullah Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa, “masa
tunggu (iddah) wanita hamil yang ditinggal mati suaminya adalah sampai dia
melahirkan”, maka beliau mendasarkan pendapatnya pada firman Allah, “…dan
(bagi) wanita-wanita hamil, (maka) waktu tunggunya adalah sampai dia
melahirkan…” (At-Thalaq: 4). Beliau mengambil dalil surat At-Thalaq karena ayat
ini turun setelah turunnya surat Al-Baqarah: 234, “Orang-orang yang mati dan
meninggalkan isteri, maka mereka (isteri) harus menahan diri mereka selama
empat bulan sepuluh hari.” Dengan apa yang dilakukan itu, berarti Abdullah bin
Mas’ud telah mengamalkan kaidah ushul fiqh, “Nash yang datang terakhir
menggugurkan nash yang datang sebelumnya,” sekalipun beliau tidak
menjelaskannya.
1.
Ushul Fikih Masa Rasulullah
Ushul fiqh sebagai sebuah bidang keilmuan lahir terlebih kemudian
dibandingkan ushul fiqh sebagai sebuah metode memecahkan hukum. Kalau ada yang
bertanya: “Dahulu mana ushul fiqh dan fiqh?” tentu tidak mudah menjawabnya. Pertanyaan demikian sama
dengan pertanyaan mengenai mana yang lebih dahulu: ayam atau telor.
Musthafa Said al-Khin memberikan
argumentasi bahwa ushul fiqh ada sebelum fiqh. Alasanya adalah bahwa ushul fiqh merupakan
pondasi, sedangkan fiqh di bangun dan didirikan di atas pondasi. Karena itulah sudah
barang tentu ushul fiqh ada mendahului fiqh. [2]
Kesimpulannya, tentu harus ada ushul fiqh sebelum adanya fiqh.
Jawaban demikian benar apabila ushul fiqh dilihat sebagai
metode pengambilan hukum secara umum, bukan sebuah bidang ilmu yang khas.
Ketika seorang sahabat, misalnya, dihadapkan terhadap persoalan hukum, lalu ia
mencari ayat Alquran atau mencari jawaban dari Rasulullah, maka hal itu bisa
dipandang sebagai metode memecahkan hukum. Ia sudah punya gagasan bahwa untuk
memecahkan hukum harus dicari dari Alquran atau bertanya kepada Rasulullah.
Akan tetapi, cara pemecahan demikian belum bisa dikatakan sebagai sebuah bidang
ilmu. Pemecahan demikian adalah prototipe (bentuk dasar) ushul fiqh, yang masih perlu
pengembangan lebih lanjut untuk disebut sebagai ilmu ushul fiqh.
Prototipe-prototipe ushul fiqh demikian tentu
telah ditemukan pada masa hidup Rasulullah sendiri. Rasulullah dan para sahabat
berijtihad dalam persoalan-persoalan yang tidak ada pemecahan wahyunya. Ijtihad tersebut masih
dilakukan sahabat dalam bentuk sederhana, tanpa persyaratan rumit seperti yang
dirumuskan para ulama dikemudian hari. Contoh ijtihad yang dilakukan oleh
sahabat adalah ketika dua orang sahabat bepergian, kemudian tibalah waktu
shalat. Sayangnya mereka tidak punya air untuk wudlu. Keduanya lalu bertayammum
dengan debu yang suci dan melaksanakan shalat. Kemudian mereka menemukan air
pada waktu shalat belum habis. Salah satu mengulang shalat sedangkan yang lain
tidak. Keduanya lalu mendatangi Rasulullah dan menceritakan kejadian tersebut.
Kepada yang tidak mengulang Rasulullah bersabda: “Engkau telah memenuhi sunnah
dan shalatmu mencukupi.” Kepada orang yang berwudlu dan mengulang shalatnya,
Rasulullah menyatakan: “Bagimu dua pahala.
Dalam kisah di atas, sahabat
melakukan ijtihad dalam memecahkan persoalan ketika menemukan air setelah
shalat selesai dikerjakan dengan tayammum. Mereka berbeda dalam menyikapi persoalan demikian, ada
yang mengulang shalat dengan wudlu dan ada yang tidak. Akhirnya, Rasulullah
membenarkan dua macam hasil ijtihad dua sahabat tersebut. Tidak
hanya prototipe ijtihad, prototipe qiyas pun sudah ada pada masa Rasulullah. Kisah berikut menjadi
contoh bagaimana qiyas dilakukan oleh Rasulullah. Suatu
saat seorang perempuan datang kepada Rasulullah dan mengatakan bahwa ibunya
meninggal dunia dengan meninggalkan hutang puasa satu bulan. Rasulullah pun
kemudian berkata:
أرَأَيْتِ لَوْ كَانَ
عَلَيْهَا دَيْنٌ أَكُنْتِ تَقْضِينَهُ. فَقَالَتْ : نَعَمْ فَقَالَ : دَيْنٌ
اللَّهِ أَحَقُّ بِالْقَضَاءِ
“Bagaimana seandainya ibumu memiliki hutang, apakah engkau
membayarkannya?” Perempuan tersebut menjawab: “Ya.” Rasulullah berkata: “Hutang
kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan.”
Terhadap pertanyaan perempuan yang
datang kepadanya, Rasulullah tidak menjawab dengan jawaban “Ya” atau “Tidak”.
Beliau menjawabnya dengan meng-qiyas-kan terhadap hutang piutang. Jadi, hukum hutang puasa orang
tua yang meninggal dunia disamakan dengan hukum hutang piutang harta. Kasus
tersebut menjadi bentuk dasar qiyas, yang dikemudian hari disusun prosedurnya secara baku oleh
Imam Syafi’i.
Berbagai konsep ushul fiqh dapat ditemukan penggunaannya pada masa Rasulullah. Semua
itu belum menjadi konsep baku, melainkan hanya sebagai buah dari pemecahan
masalah praktis.
Pada periode Rasulullah SAW. Terdiri
dari 2 fase yang masing-masing mempunyai corak dan karakteristik tersendiri,
yaitu:
a) Fase Makkiyah
Fase
Makkiyah, ialah sejak Rasulullah SAW. masih menetap di Makkah selama 12 tahun
beberapa bulan, sejak beliau dilantik menjadi Rasul hingga hijrah ke Madinah.
Pada fase ini umat Islam keadaannya masih terisolir, masih sedikit kuantitasnya
dan kapasitasnya, belum bisa membentuk komunitas umat yang mempunyai lembaga
pemerintahan yang kuat. Oleh karena itu, perhatian Rasulullah SAW. pada fase
ini dicurahkan kepada aktivitas penyebaran dakwah dalam rangka proyek penanaman
tauhid kepada Allah SWT dan meninggalkan praktek-praktek penyembahan berhala
dan patung-patung. Di samping itu beliau tetap berusaha mewaspadai orang-orang
yang selalu berusaha menghalangi jalannya dakwah dan memperdaya orang-orang
yang beriman dengan berbagai macam tipu daya. Dengan situasi dan kondisi
seperti ini, maka pada fase ini belum ada kesempatan membentuk perundang
undangan, tata pemerintahan, perdagangan dan lain-lain.
Oleh karena
itu, pada surat-surat Makkiyah al-quran seperti surat Yunus, Al-Ra’ad,
Al-Furqon, Yasin, Al-Hadid, dan lain-lain tidak terdapat ayat-ayat yang
membahas tentang hukum-hukum actual (amaliah). Akan tetapi, justru yang banyak
pembahasannya adalah seputar persoalan-persoalan doktrin teologi dan aqidah,
akhlak, dan ibarat keteladanan dari proses-proses perjalanan hidup umat-umat
terdahulu.
b) Fase Madaniyah
Fase
Madaniyah ialah sejak Rasulullah SAW. hijrah dari Mekah ke Madinah hingga
wafatnya tahun 11 H/632 M, yakni sekitar 10 tahun lamanya. Pada fase Madaniyah
ini Islam sudah kuat, kuantitas umat
Islam sudah banyak dan telah mempunyai tata pemerintahan tersendiri sehingga
media-media dakwah berlangsung dengan aman dan damai.
Keadaan
seperti inilah yang mendorong perlu adanya tasyri’ dan pembentukan
perundang-undangan yang mengatur perhubungan antara individu dari suatu bangsa
dengan bangsa lain, dan mengatur perhubungan atau kontak komunikasi dan
interaksi mereka dengan kalangan non-Muslim, baik di masa damai maupun di masa
perang.
Oleh karena
itu, maka di Madinah disyariatkanlah berupa hukum-hukum pernikahan, perceraian,
warisan, perjanjian, hutangpiutang, kepidanaan dan lain-lain. Dengan demikian,
pada surat-surat Madaniyah di dalam Al-quran seperti surat al-Baqarah, Ali
Imran, an-Nisa’, al-Maidah, al-Anfal, at-Taubah, an-Nur, al-Ahzab banyak memuat
ayat-ayat pembahasan hokum, disamping itu memuat pula ayat-ayat tentang akidah,
akhlak dan kisah-kisah.
Pada periode
Rasulullah SAW. hanya ada 2 sumber hukum (perundang-undangan), yaitu wahyu
Ilahi (al-Quran) dan ijtihad Rasulullah SAW. sendiri. Kalau terjadi suatu peristiwa
yang memerlukan adanya ketetapan hokum karena terjadi perselisihan, ada
kejadian peristiwa, ada pertanyaan, atau permintaan fatwa, maka Allah menurunkan wahyu kepada Rasulullah SAW. satu
atau beberapa ayat al-quran yang menerangkan tentang hokum-hukumnya. Kemudian
Rasulullah SAW. menyampaikan wahyu tersebut kepada umat Islam. Dan wahyu inilah
yang menjadi hukum atau undang-undang yang wajib diikuti.
Kalau
terjadi suatu masalah yang memerlukan ketetapan hokum, sedang Allah SWT. Tidak
menurunkan wahyu tentang hal tersebut, maka Rasulullah SAW. berijtihad untuk
menetapkan hokum suatu masalah, atau menjawab suatu pertanyaan atau memenuhi
permintaan fatwa hukum. Hasil ijtihad Rasulullah SAW. ini menjadi hokum atau
undang-undang yang wajib diikuti.
Barangsiapa
yang memperhatikan secara seksama ayat-ayat hukum dalam al-Quran dan riwayat
latar belakang historis turunnya, akan jelas bahwa setiap hukum dalam al-Quran
itu disyariatkan karena adanya suatu peristiwa atau kejadian yang menghendaki
penetapan hukumnya.
Cntoh :
“ mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah:
"Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar”. (QS. Al-Baqarah, 2:217).
“mereka
bertanya kepadamu tentang khamar[136] dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya
terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa
keduanya lebih besar dari manfaatnya". (QS.
Al-Baqarah, 2:219).
Adapun
yang berasal dari sumber kedua, yaitu ijtihad Nabi SAW. terkadang sebagai
manifestasi dari ilham Ilahi, yakni
ketika Nabi SAW. berijtihad, Allah mengilhamkan kepadanya tentang
ketetapan hukumnya. Dan terkadang pula ijtihad Nabi SAW. sebagai upaya
penggalian hokum tersebut yang berdasarkan pada pertimbangan kemaslahatan serta
jiwa perundang-undangan.
Hukum-hukum
yang bersifat ijtihadnya tersebut sebagai hasil pengilhaman Allah kepadanya.
Rasul tidak mempunyai otoritas di dalamnya, melainkan hanya pengungkapan saja
baginya dalam bentuk sabda atau perbuatan (qauliyah
atau fi’liyah).
2.
Ushul Fikih Masa Sahabat
Masa sahabat sebenarnya adalah masa transisi dari masa
hidup dan adanya bimbingan Rasulullah kepada masa Rasulullah tidak lagi
mendampingi umat Islam. Ketika Rasulullah masih hidup sahabat menggunakan tiga
sumber penting dalam pemecahan hukum, yaitu Alquran, sunnah, dan ra’yu (nalar). Petunjuk
paling jelas terhadap tiga sumber tersebut tampak dalam riwayat berikut:
عَنْ مُعَاذٍ : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَمَّا
بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ لَهُ : كَيْفَ تَقْضِى إِذَا عَرَضَ لَكَ
قَضَاءٌ؟. قَالَ : أَقْضِى بِكِتَابِ اللَّهِ. قَالَ : فَإِنْ لَمْ تَجِدْهُ فِى
كِتَابِ اللَّهِ؟ قَالَ : أَقْضِى بِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم-. قَالَ : فَإِنْ لَمْ تَجِدْهُ فِى سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ ..قَالَ :
أَجْتَهِدُ بِرَأْيِى لاَ آلُو. قَالَ : فَضَرَبَ بِيَدِهِ فِى صَدْرِى وَقَالَ :
الْحَمْدُ للَّهِ الَّذِى وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِى رَسُولَ
اللَّهِ.
Dari Muadz:
Bahwasanya Rasulullah SAW ketika mengutus Muadz ke Yaman, beliau bersabda:
“Bagaimana kau memutuskan juga dihadapkan perkara kepadamu‘ Muadz menjawab:
“Saya putuskan dengan kitab Allah. Rasulullah bertanya kembali: “Jika tidak kau
temukan dalam kitab Allah.” Muadz menjawab: “Saya putuskan dengan sunnah
Rasulullah SAW. Rasulullah bertanya: Jika tidak kau temukan dalam sunnah
Rasulullah‘ Muadz menjawab: “Saya berijtihad dengan ra’yu saya dan tidak melampaui
batas.” Muadz lalu berkata: “Rasulullah memukulkan tangannya ke dada saya dan
bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk utusan
Rasulullah terhadap apa yang diridloi Rasulullah.”
Meninggalnya Rasulullah memunculkan
tantangan bagi para sahabat. Munculnya kasus-kasus baru menuntut sahabat untuk
memecahkan hukum dengan kemampuan mereka atau dengan fasilitas khalifah. Sebagian sahabat
sudah dikenal memiliki kelebihan di bidang hukum, di antaranya Ali bin Abi
Thalib, Umar bin Khattab, Abdullah Ibnu Mas’ud, Abdullah Ibn Abbas, dan
Abdullah bin Umar. Karir mereka berfatwa sebagian telah dimulai pada masa
Rasulullah sendiri.[3]
Pada era sahabat ini digunakan
beberapa cara baru untuk pemecahan hukum, di antaranya ijma sahabat dan maslahat. [4]Pertama, khalifah (khulafa’ rasyidun) biasa
melakukan musyawarah untuk mencari kesepakatan bersama tentang persoalan hukum.
Musyawarah tersebut diikuti oleh para sahabat yang ahli dalam bidang hukum.
Keputusan musywarah tersebut biasanya diikuti oleh para sahabat yang lain sehingga
memunculkan kesepakatan sahabat. Itulah momentum lahirnya ijma’ sahabat, yang
dikemudian hari diakui oleh sebagian ulama, khususnya oleh Imam Ahmad bin
Hanbal dan pengikutnya sebagai ijma yang paling bisa diterima.
Kedua, sahabat
mempergunakan pertimbangan akal (ra’yu), yang berupa qiyas dan maslahah. Penggunaan ra’yu (nalar) untuk mencari pemecahan hukum dengan qiyas
dilakukan untuk menjawab kasus-kasus baru yang belum muncul pada masa
Rasulullah. Qiyas dilakukan dengan mencarikan kasus-kasus baru contoh
pemecahan hukum yang sama dan kemudian hukumnya disamakan.
Penggunaan maslahah juga menjadi
bagian penting fiqh sahabat. Umar bin Khattab dikenal sebagai sahabat yang
banyak memperkenalkan penggunaan pertimbangan maslahah dalam pemecahan hukum.
Hasil penggunaan pertimbangan maslahat tersebut dapat dilihat dalam pengumpulan Alquran dalam
satu mushaf, pengucapan talak tiga kali dalam satu majelis dipandang
sebagai talak tiga, tidak memberlakukan hukuman potong tangan diwaktu paceklik,
penggunaan pajak tanah (kharaj), pemberhentian jatah zakat bagi muallaf, dan sebagainya.
Sahabat juga memiliki pandangan berbeda dalam memahami apa yang dimaksud oleh
Alquran dan sunnah. Contoh perbedaan pendapat tersebut antara lain dalam kasus
pemahaman ayat iddah dalam surat al-Baqarah 228..
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ
بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
“Perempuan-perempuan yang ditalak hendaknya menunggu selama tiga
quru‘”
Kata quru’ dalam ayat di atas
memiliki pengertian ganda (polisemi), yaitu suci dan haidh. Abu Bakar, Umar bin
Khattab, Ali, Usman, dan Abu Musa al-Asy’ari mengartikan quru’ dalam ayat di atas
dengan pengertian haidh, sedangkan Aisyah, Zaid bin Tsabit, dan Ibnu Umar
mengartikannya dengan suci.[5] Itu berarti ada perbedaan
mengenai persoalan lafal musytarak (polisemi).
Secara umum, sebagaimana pada masa
Rasulullah, ushul fiqh pada era sahabat masih belum menjadi bahan kajian ilmiah.
Sahabat memang sering berbeda pandangan dan berargumantasi untuk mengkaji
persoalan hukum. Akan tetapi, dialog semacam itu belum mengarah kepada
pembentukan sebuah bidang kajian khusus tentang metodologi. Pertukaran pikiran
yang dilakukan sahabat lebih bersifat praktis untuk menjawab permasalahan.
Pembahasan hukum yang dilakuakn sahabat masih terbatas kepada pemberian fatwa
atas pertanyaan atau permasalahan yang muncul, belum sampai kepada perluasan
kajian hukum Islam kepada masalah metodologi.[6]
3 3. Ushul Fikih
Masa Thabiin
Tabi’in adalah generasi setelah
sahabat. Mereka bertemu dengan sahabat dan belajar kepada sahabat. Patut
dicatat bahwa para sahabat ketika Islam menyebar turut pula menyebar ke
berbagai daerah, seperti Ibnu Mas’ud ada di Iraq, Umayyah ada di Syam, Ibnu
Abbas di Makkah, Umar bin Khattab, Aisyah, Ibnu Umar, dan Abu Hurairah di Madinah, dan
Abdullah bin Amru bin Ash di Mesir. Para sahabat tersebut berperan dalam
penyebaran ajaran Islam dan menjadi tempat masyarakat masing-masing daerah
meminta fatwa. Mereka pun memiliki murid-murid di daerah-daerah tersebut.
Murid-murid sahabat itulah yang kemudian menjadi tokoh hukum di daerahnya
masing-masing.
Murid-murid para sahabat tidak
hanya dari kalangan orang-orang Arab, melainkan juga dari kalangan muslim
non-Arab (mawali). Banyak pemberi fatwa yang terkenal di kalangan tabi‘in
adalah non-Arab, seperti Nafi , Ikrimah, Atha’ bin Rabbah (para ahli hukum
Makkah), Thawus (ahli hukum Yaman), Ibrahim al-Nakha‘i (ahli hukum Kufah),
Hasan al-Bashri dan Ibnu Sirin (para ahli hukum Bashrah), dan Yahya ibn Katsir.[7]
Kecenderungan berpikir sahabat
turut mempengaruhi pola pemikiran ushul fiqh di masing-masing daerah. Ibnu
Mas’ud, misalnya, dikenal sebagai tokoh yang memiliki kemampuan ra’yu yang baik. Tidak
mengherankan apabila murid-muridnya di Iraq (Kufah) juga dikenal dengan ahl al-ra’yi, meskipun ada
faktor lain yang tentunya berpengaruh. Karena itulah, metode istimbath tabi’in umumnya
tidak berbeda dengan metode istimbath sahabat. Hanya saja pada masa tabi’in ini mulai muncul dua
fenomena penting:
a.
Pemalsuan
hadits
- Perdebatan mengenai penggunaan ra’yu yang memunculkan kelompok Iraq (ahl al-ra’yi) dan kelompok Madinah (ahl al-hadits)
Dengan demikian muncul bibit-bibit perbedaan metodologis
yang lebih jelas yang sertai dengan perbedaan kelompok ahli hukum (fukaha) berdasarkan wilayah
geografis. Dua hal tersebut, ditambah munculnya para ahli hukum non-Arab,
melahirkan wacana pemikiran hukum yang nantinya melahirkan madzhab-madzhab hukum Islam.
Masing-masing madzhab hukum memiliki beberapa aspek metode yang khas, yang
membedakannya dengan madzhab yang lain.
4.
Ushul Fikih Masa Imam Madzhab
Pada masa imam madzhab inilah
pemikiran hukum Islam mengalami dinamika yang sangat kaya dan disertai dengan
perumusan ushul fiqh secara metodologis. Artinya, ada kesadaran mengenai cara
pemecahan hukum tertentu sebagai metode khas. Berbagai perdebatan mengenai
sumber hukum dan kaidah hukum melahirkan berbagai ragam konsep ushul fiqh. Imam Najmuddin al-Thufi pada peralihan abad ke-7 ke abad
ke-8 hijriyah, misalnya, menginventarisir sembilan belas dalil hukum, baik yang
disepakati maupun yang dipertentangkan para ulama, yang masih dikenal pada
masanya. Kesembilan belas dalil hukum itu antara lain:
1.
Alquran
2.
hadits
3.
ijma’
ummat
4.
ijma’
orang Madinah
5.
qiyas,
6.
pendapat sahabat
7.
maslahah mursalah
8.
istishab
- bara’ah ashliyah
- adat/‘urf
- istiqra’ (induksi)
- sadd al-dzariah (tindakan preventif)
- istidlal
- istihsan
- mengambil yang lebih mudah
- ishmah
- ijma’ orang Kufah
- Ijma’ sepuluh orang
- dan ijma khulafa’ yang empat (khulafa’ rasyidun).[8]
Perdebatan mengenai dalil hukum,
baik tentang sunnah, amal ahli Madinah, istihsan, qiyas, maslahah mursalah, ijma’, ra’yu, mencapai puncaknya.
Imam Malik dan orang-orang Madinah sangat menghargai amal orang-orang
Madinah. Ketika ada hadits Rasulullah diriwayatkan secara ahad (diriwayatkan oleh satu
atau beberapa orang tapi tidak mencapai derajat pasti/mutawatir) bertentangan
dengan amal ahli Madinah, amal ahli Madinah lah yang dipergunakan. Alasannya
adalah bahwa amalan orang Madinah adalah peninggalan para sahabat yang hidup di
Madinah dan mendapatkan petunjuk dari Rasulullah. Amalan orang Madinah telah
dilakukan oleh banyak sekali sahabat yang tidak mungkin menyalahi ajaran
Rasulullah, yang selama sepuluh tahun hidup di Madinah.
Oleh karena itu, Imam Malik pernah
berkirim surat kepada Imam al-Laits, imam orang Mesir, yang isinya mengajak
Imam laits untuk mempergunakan amalan orang Madinah. Akan tetapi tawaran tersebut
ditolak oleh Imam Laits karena ia lebih setuju mengutamakan hadits, meskipun
hadits itu ahad. Orang Iraq, khususnya
Imam Abu Hanifah, mempergunakan istihsan apabila hasil qiyas, meskipun benar secara metode, dirasa tidak sesuai dengan
nilai dasar hukum Islam. Penggunaan istihsan oleh Imam Abu Hanifah tersebut ditentang ulama lain
dan dipandang sebagai pemecahan hukum berdasarkan hawa nafsu. Orang-orang Iraq
juga dikritik karena mempergunakan ra’yu secara berlebihan. Sementara itu, bagi orang Iraq, mempergunakan
petunjuk umum ayat dan ra’yu lebih dirasa memadai dibandingkan mempergunakan riwayat
dari Rasulullah, tetapi riwayat tersebut tidak meyakinkan kesahihannya.
Penggunaan amal Madinah oleh Imam
Malik dan istihsan oleh Imam Abu Hanifah tidak berarti keduanya mengabaikan
hadits. Alquran dan hadits tetap menjadi pilar utama istimbath hukum. Imam Malik
adalah orang pertama yang menyusun kitab hadits, yaitu dalam kitabnya al-Muwaththa’. Kitab al-Muwaththa’ adalah kitab
hadits yang dipergunakan sebagai dasar pemecahan masalah hukum sehingga disusun
dengan sistematika fiqh. Imam Abu Hanifah dan para muridnya juga sangat menghargai
hadits. Hasil istimbath hukum Imam Abu Hanifah dan orang-orang Iraq juga dipenuhi
dengan dasar Alquran dan hadits.
Penolakan terhadap hadits tertentu
terjadi karena keduanya mengutamakan riwayat yang kuat. Bagi Imam Malik, amalan
orang Madinah sangat kuat karena diamalkan ribuan sahabat sejak masa Nabi
Muhammad. Jadi, amalan orang Madinah tidak bisa dikalahkan hanya oleh riwayat
oleh satu dua orang saja. Apabila riwayat tersebut bisa dibuktikan secara
meyakinkan tentu Imam Malik akan menerimanya. Hal yang sama terjadi dengan Imam
Abu Hanifah. Terjadinya pemalsuan hadits membuat orang-orang Iraq bertindak
selektif. Apabila ada riwayat yang diragukan kesahihannya, mereka lebih merasa
aman mempergunakan makna umum Alquran dan menjabarkannya melalui ra’yu (nalar) mereka. Akan
tetapi, kalau ada hadits yang sahih tentu hadits tersebut yang dijadikan sandaran.
Sejalan dengan munculnya pemlsuan
hadits tersebut, muncullah aliran ingkar
al-sunnah. Aliran tersebut berpandangan
bahwa Alquran saja sudah cukup dijadikan sebagai pedoman, tanpa perlu
mempertimbangkan hadits. Aliarn tersebut adalah kelompok yang frustasi akibat
terjadinya pemalsuan hadits sehingga menolak keseluruhan hadits, tanpa melalui
penelitian terlebih dahulu. Memang pada masa tersebut Imam Bukhari, Imam Muslim
dan para pengumpul hadits belum banyak seperti pada abad ke-4 Hijriyah,
meskipun telah ada beberapa kitab hadits. Terhadap munculnya aliran ingkar al-sunnah tersebut,
Imam Syafi’i bekerja keras membantah argumentasi kelompok ingkar al-sunnah. Perdebatan
Imam Syafii dengan ingkar al-sunnah bisa dibaca dalam kitab al-Umm.Imam Syafii kemudian
mengajukan sistematika dalil hukum yang utama, yaitu:
- Alquran
- Sunnah
- Ijma’
- Qiyas
Melalui sistematika tersebut, Imam
Syafi’i menegaskan kembali Alquran sebagai sumber pertama, sedangkan hadits
sebagai sumber kedua. Dengan rumusan semacam itu, dia menolak pandangan ingkar al-sunnah dan juga
menolak sikap sebagian ulama ushul yang mendahulukan amalan orang Madinah atau
makna umum Alquran dibandingkan hadits ahad. Gagasan demikianlah yang kemudian
melahirkan madhab Syafi‘i.
Imam Syafi’i melakukan pendisiplinan dan sistematikasi penggunaan ijma dan qiyas para oleh
pendahulunya. Ia mengkritik ijma’ yang dilakukan berdasarkan kedaerahan, yaitu ijma’ ahli Madinah dan ijma’ orang Kufah.
Beliau menegaskan bahwa ijma’ yang valid adalah ijma’ umat Islam, tidak cukup ijma’ orang Kufah orang Madinah, atau ijma’ sahabat saja. Imam
Syafi’i juga membenahi penggunaan qiyas agar dilakukan secara metodologis. Beliau mengajukan
syarat-syarat agar qiyas dilakukan, yaitu melalui empat rukun qiyas, yang akan dibahas
dalam bab qiyas nanti.
Karya Imam Syafi’i, yaitu al-Risalah, adalah kitab ushul fiqh yang pertama ditulis. Kitab tersebut menjadi tonggak bagi
perkembangan ushul fiqh sebagai bidang ilmu yang mandiri. Para ahli ushul menganggap Imam
Syafi’i sebagai Bapak dan Pendiri ilmu ushul fiqh. [9]
Di kalangan madzhab Hanafi ada yang menolak bahwa Imam Syafi’i sebagai pendiri ushul fiqh. Mereka
menyatakan bahwa Imam Abu Hanifah dan dua muridnya: Imam Abu Yusuf Ibnu Abi
Laila dan Muhammad bin Hasan al-Syaybani adalah peletak ilmu ushul fiqh. [10]Sejarah memang mencatat bahwa Imam Syafi’i pernah berguru
kepada Imam Muhammad bin Hasan al-Syaybani.
Klaim golongan Hanafi boleh jadi
benar apabila dikaitkan dengan munculnya gagasan metodologis ushul fiqh. Imam Syafi‘i
tidak memulai segalanya dari ruang kosong. Rumusan-rumusan yang beliau tulis
tentu telah dibicarakan orang pada masanya. Apalagi pemikiran ushul fiqh di Iraq memang
kaya dan maju di masa itu. Hanya saja, Imam Syafi‘i lah yang memiliki bukti
otentik, berupa karya, yang bisa menjadi patokan bagi dimulainya ushul fiqh sebagai bidang
ilmu yang mandiri.
Setelah lahirnya kitab al-Risalah, perdebatan
mengenai aspek metodologis masih terjadi dan perbedaan pendapat pun masih ada.
Imam Ahmad bin Hanbal, meskipun murid Imam Syafi‘i, hanya menerima ijma‘ sahabat, bukan ijma‘ ummat. Imam Dawud
al-Dzahiri menolak penggunaan qiyas dan lebih condong untuk menggunakan makna
universal lafal Alquran atau hadits untuk diberlakukan kepada kasus-kasus
baru.
C. Aliran- aliran Ushul Fiqih
Sejarah perkembangan ushul fiqh menunjukkan bahwa
ilmu tersebut tidak mandeg, melainkan berkembang secara dinamis. Ada beberapa
aliran metode penulisan ushul fiqh yang saat ini dikenal. Secara umum, para ahli membagi
aliran penulisan ushul fiqh menjadi dua, yaitu mutakallimin (Syafi’iyyah) dan aliran fukaha (Aliran Hanafiyah).
Dari kedua aliran tersebut lahir aliran gabungan. Tiga aliran utama tersebut
diuraikan sebagai berikut:
1). Aliran
Mutakallimin
Aliran mutakallimin disebut juga dengan aliran Syafi’iyyah. Alasan penamaan tersebut
bisa dipahami mengingat karya-karya ushul fiqh aliran mutakallimin banyak lahir dari kalangan Syafi’iyyah, seperti al-Luma’ karya al-Syirazi, al-Mustashfa karya al-Ghazali, al-Mahsul karya Fakhruddin al-Razi, al-Burhan dan al-Waraqat karya al-Juwayni, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam karya al-Amidi, Minhaj al-Wushul ila Ilm a’-Ushul karya al-Baidlawi dan sebagainya. Karya al-Ghazali, al-Razi, dan
al-Amidi banyak dirujuk oleh para ahli ushul fiqh dari madzhab non-Syafi’i. Kitab Rawdlah al-Nadzir wa Jannah al-Munadzir karya tokoh Hanabilah Ibnu Qudamah al-Maqdisi, misalnya,
dipandang sebagai ringkasan dari al-Mustashfa karya al-Ghazali dan kitab Muntaha al-Wushul (al-Sul)wa
al-Amal fi Ilmay al-Ushul wa al-Jadal karya Ibnu Hajib dipandang sebagai
ringkasan kitab al-Ihkam fi ushul al-Ahkam karya al-Amidi..
Meskipun demikian, penulis-penulis ushul fiqh model mutakallimin hanya orang Asy’ariyyah. Penulis ushul
fiqh aliran mutakallimin bersifat lintas madzhab. Ada penulis dari kalangan Hanbali, seperti
1) Abu Ya’la (pengarang al-Uddah),
2) Ibnu Qudamah (pengarang Rawdlah al-Nadzir wa Jannah al-Munadzir),
3) Keluarga Ibnu Taimiyyah:
Majduddin, Taqi al-Din, dan Ibnu Taimiyyah beserta ayah dan kakeknya (karangan
ketiganya tercakup dalam kitab al-Musawwadah),
4) Najm al-Din al-Thufi
pengarang Mukhtashar al-Rawdlah dan Syarh Mukhtashar al-Rawdlah).
Ada penulis dari kalangan Maliki, seperti:
1) Ibnu Hajib (pengarang Muntaha al-Wushul (al-Sul) wa al-Alam fi Ilmay al-Ushul wa
al-Jadal).
Ada pula penulis dari kalangan Dzahiriyyah, seperti:
1)
Ibnu Hazm al-Andalusi (pengarang kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam).
Sebutan mutakallimin adalah sesuai
dengan karakteristik penulisannya. Kaum mutakallimin adalah orang-orang yang banyak bergulat dengan pembahasan
teologis dan banyak memanfaatkan pemikiran deduktif, termasuk logika Yunani.
Orang-orang seperti Qadli Abdul Jabbar adalah seorang teolog Mu’tazilah. Imam
Abu al-Husayn al-Bashri pun termasuk dalam aliran Mu’tazilah. Sementara itu,
Imam Abu Bakar al-Baqillani, yang menulis buku al-Taqrib wa al-Irsyad dan
diringkas oleh Imam al-Juwayni, dipandang sebagai Syaikh al-Ushuliyyin. Imam
al-Juwayni sendiri, Imam al-Ghazali, dan Fakhruddin al-Razi adalah di antara
tokoh-tokoh besar Asy’ariyyah penulis ushul fiqh. Ada pula penulis yang tidak menunjukkan kejelasan
afiliasi teologis, tetapi menulis dengan pola mutakallimin, seperti Imam
Abu Ishaq al-Syirazi.[11]
Ada
beberapa ciri khas penulisan ushul fiqh aliran Mutakallimin, antara lain:
- Penggunaan deduksi di dalamnya. Ushul fiqh mutakallimin membahas kaidah-kaidah, baik disertai contoh maupun tidak. Kaidah-kaidah itulah yang menjadi pilar untuk pengambilan hukum. Jadi, kaidah dibuat dahulu sebelum digunakan dalam istimbath. Kaidah-kaidah tersebut utamanya berisi kaidah kebahasaan.
- Adanya pembahasan mengenai teori kalam dan teori pengetahuan, seperti terdapat dalam al-Luma karya al-Syirazi dan al-Ihkam karya al-Amidi. Teori kalam yang sering dibahas adalah tentang tahsin dan taqbih. Sementara itu, dalam pembahasan mengenai teori pengetahuan tersebut, dimasukkan pengertian ilmu dan terkadang dimasukkan pula muqaddimah mantiqiyyah (pengantar logika), sebagaimana terdapat dalam al-Mustashfa karya al-Ghazali, Rawdlah al-Nadzir karya Ibnu Qudamah, dan Muntaha al-Wushul (al-Sul) karya Ibnu Hajib.
Aliran mutakallimin mengembangkan gagasan-gagasan yang telah ada dalam kitab al-Risalah karya al-Syafi’i
dengan berbagai penjelasan dan materi tambahan. Aliran ini banyak diikuti oleh
para ulama dan menjadi aliran utama dalam ushul fiqh, serta bersifat lintas madzhab.
2)
Aliran Hanafiah
Aliran Hanafiyah atau aliran Fuqaha adalah aliran yang diikuti oleh para ulama madzhab Hanafi. Madzhab
Hanafi adalah madzhab yang sejak semula memiliki pengembangan metodologis yang
baik. Hal itu dibuktikan dengan pengaruh perkembangan ilmu qawaid fiqh di kalangan
Syafi’iyyah yang dipengaruhi oleh qawaid fiqh Hanafi. Karena itu, mereka mengembangkan sendiri model
penulisan ushul fiqh yang khas madzhab Hanafi.
Ciri khas penulisan madzhab Hanafi adalah berangkat dari persoalan-persoalan
hukum yang furu yang dibahas oleh para imam mereka, lalu membuat kesimpulan
metodologis berdasarkan pemecahan hukum furu tersebut. Jadi, kaidah-kaidah dibuat secara induktif dari
kasus-kasus hukum. Kaidah-kaidah tersebut bisa berubah dengan munculnya
kasus-kasus hukum yang menuntut pemecahan hukum yang lain. Karena itu, ushul fiqh Hanafi dipenuhi
dengan persoalan hukum yang nyata.
Karya ushul fiqh di kalangan Hanafi cukup banyak dikenal dan dirujuk.
Kitab-kitab ushul fiqh yang khas menunjukkan metode Hanafiyah antara lain:
- al-Fushul fi Ushul Fiqh karya Imam Abu Bakar al-Jashash (Ushul al-Jashshash) sebagai pengantar Ahkam al-Quran.
- Taqwim al-Adillah karya Imam Abu Zayd al-Dabbusi
- Kanz al-Wushul ila Ma’rifat al-Ushul karya Fakhr al-Islam al-Bazdawi.
- Ushul Fiqh karya Imam al-Sarakhsi (Ushul al-Syarakhsi)
3)
Aliran Muta’akhirin
Pada perkembangannya muncul tren untuk menggabungkan kitab ushul fiqh aliran mutakallimin dan Hanafiyah.
Metode penulisan ushul fiqh aliran gabungan adalah dengan membumikan kaidah ke dalam
realitas persoalan-persoalan fiqh. Persoalan hukum yang dibahas imam-imam madzhab diulas dan
ditunjukkan kaidah yang menjadi sandarannya.
Karya-karya gabungan lahir dari kalangan Hanafi dan kemudian diikuti kalangan
Syafi’iyyah. Dari kalangan Hanafi lahir kitab Badi’ al-Nidzam al-jami‘ bayn Kitabay al-Bazdawi wa al-Ihkam yang merupakan gabungan antara kitab Ushul karya al-Bazdawi dan al-Ihkam karya al-Amidi.
Kitab tersebut ditulis oleh Mudzaffar al-Din Ahmad bin Ali al-Hanafi. Ada pula
kitab Tanqih Ushul karya Shadr al-Syariah al-Hanafi. Kitab tersebut adalah
ringkasan dari Kitab al-Mahshul karya Imam al-Razi, Muntaha
al-Wushul (al-Sul) karya Imam Ibnu Hajib,
dan Ushul al-Bazdawi. Kitab tersebut ia syarah sendiri dengan judul karya Shadr al-Syari’ah al-Hanafi.
Kemudian lahir kitab Syarh al-Tawdlih karya Sa’d al-Din al-Taftazani al-Syafii dan Jam’ al-Jawami’ karya Taj
al-Din al-Subki al-Syafi’i.
Tiga aliran di atas adalah aliran utama dalam ushul fiqh. Sebenarnya ada
pula yang memasukkan takhrij al-furu’ ‘ala
al-ushul dan aliran khusus sebagai aliran
lain dalam ushul fiqh. Aliran takhrij
al-furu’ ‘ala al-ushul dipandang berwujud
berdasarkan dua kitab yang secara jelas menyebut istilah tersebut, yaitu Kitab Takhrij al-Furu’ ‘Ala al-Ushul
karya al-Isnawi al-Syafi‘i dan Takhrij
al-Furu’ ‘ala al-Ushul karya al-Zanjani
al-Hanafi. Sementara itu, aliran khusus adalah aliran yang mengkaji satu pokok
bahasan ushul fiqh tertentu secara panjang lebar, seperti mengenai maslahah mursalah
sebagaimana dilakukan oleh al-Syatibi dalam al-Muwafaqat atau oleh Muhammad Thahir ‘Asyur dalam Maqashid al-Syariah.
D. Pembukuan Ushul Fiqh
Salah
satu yang mendorong diperlukannya pembukuan ushul fiqih adalah perkembangan
wilayah Islam yang semakin luas, sehingga tidak jarang menyebabkan timbulnya
berbagai persoalan yang belum diketahui kedudukan hukumnya. Untuk itu, para
ulama Islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk
dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum.
Sebenarnya,jauh
sebelum dibukukannya ushul fiqih, ulama-ulama terdahulu telah membuat
teori-teori ushul yang dipegang oleh para pengikutnya masing-masing. tak heran
jika pengikut para ulama tersebut mengklaim bahwa gurunyalah yang pertama
menyusun kaidah-kaidah ushul fiqih.
Golongan
Hanafiyah misalnya mengklaim bahwa yang pertama menyusun ilmu Ushul Fiqih ialah
Abu Hanifah, Abu Yusuf Dan Ibnu Ali-Al Hasan. Alasan mereka bahwa Abu Hanifah
merupakan orang yang pertama menjelaskan metode istinbath dalam kitabnyanya Ar-Ra'yu.
Dan Abu Yusuf adalah orang yang pertama
menyusun ushul fiqh dalam madzhab hanafi, demikian pula Muhammad Ibnu Al-Hasan
telah menyusun ushul fiqh sebelum As-Syafi'ie, bahkan As-Syafi'i berguru
kepadanya.
Golongan
As-Syafiiyah juga mengklaim bahwa Imam As-Syafi'i lah orang yang pertama yang
menyusun kitab ushul fiqh. Hal ini di
ungkapkan oleh Al-Allamah Jamal Ad-Din Abd Ar-Rohman Ibnu Hasan Al-Asnawi.
Menurutnya, "tidak diperselisihkan lagi "Imam Syafi'i adalah tokoh
besar yang pertama-tama menyusun kitab dalam ilmu ini, yaitu kitab yang tidak asing lagi
dan yang sampai kepada kita sekarang, yakni kitab Al-Risalah2
Kalau
dikembalikan pada sejarah, yang pertama berbicara tentang ushul fiqih sebelum
dibukukannya adalah para sahabat dan tabi’in. Hal ini tidak diperselisihkan
lagi. Namun yang diperselisihkan adalah orang yang mula-mula mengarang kitab
ushul fiqih sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri yang bersifat umum dan
mencakup segala aspeknya. Untuk itu kita perlu mengetahui terlebih dahulu
teori-teori penulisan dalam ilmu ushul fiqih. Secara garis besar ada dua teori
penulisan yang dikenal yakni.
Pertama, merumuskan kaidah-kaidah fiqiyah bagi setiap bab
dalam bab fiqih dan menganalisisnya serta mengaplikasikan masalah furu’ atas
kaidah-kaidah tersebut. Teori inilah yang ditempuh oleh golongan Hanafi dan
merekalah yang merintisnya.
Kedua,
merumuskan kaidah-kaidah yang dapat menolong seorang
mujtahid dan meng-istinbat hukum dari sumber hukum syar’i, tanpa terikat oleh
pendapat seorang faqih atau suatu pemahaman yang sejalan dengannya maupun yang
bertentangan. Cara inilah yang ditempuh Asyafi’i dalam kitabnya ar-risalah,
suatu kitab yang tersusun secara sempurna dalam bidang ilmu ushul dan
independen. Kitab seperti ini belum ada sebelumya, menurut ijma’ ulama dan
catatan sejarah.
E.
Ulama-ulama Madzhab dan kitab-kitab
Rujukan Ushul Fikih
- Tahap awal (abad 3H)
pada
abad 3 H di bawah pemerintahan Abassiyah wilayah Islam semakin meluas kebagian
timur. Khalifah-khalifah yang berkuasa dalam abad ini adalah :
Al-Ma'mun(w.218H), Al-Mu'tashim(w.227H), Al Wasiq(w.232H), dan
Al-Mutawakil(w.247H) pada masa mereka inilah terjadi suatu kebangkitan ilmiah
dikalangan Islam yang dimulai dari kekhalifahan Arrasyid. salah satu hasil dari
kebangkitan berfikir dan semangat keilmuan Islam ketika itu adalah
berkembangnya bidang fiqh yang pada giliranya mendorong untuk disusunya metode
berfikir fiqih yang disebut ushul fiqh.
Seperti
telah dikemukakan, kitab ushul fiqh yang pertama-tama tersusun seara utuh dan
terpisah dari kitab-kitab fiqh ialah Ar-Risalah karangan As-Syafi'i. kitab ini
dinilai oleh para ulama sebagai kitab yang bertnilai tinggi. Ar-Razi berkata
"kedudukan As-Syafi'i dalam ushul fiqh setingkat dengan kedudukan Aristo
dalam ilmu Manthiq dan kedudukan Al-Khalil Ibnu Ahmad dalam ilmu Ar-rud".
Ulama
sebelum As-Syafi'i berbicara tentang masalah-masalah ushul fiqh dan
menjadikanya pegangan, tetapi mereka belum memperoleh kaidah-kaidah umum yang
menjadi rujukan dalam mengetahui dalil-dalil syari'at dan cara memegangi dan
cara mentarjih kanya: maka datanglah Al-Syafi'i menyusun ilmu ushul fiqih yang
merupakan kaidah-kaidah umum yang dijadikan rujukan-rujukan untuk mengetahui
tingkatan-tingkatan dalil syar'I, kalaupun ada orang yang menyusun kitab ilmu
ushul fiqh sesudah As-Syafi;I, mereka tetap bergantung pada Asy-Syafi'i karena
Asy-Syafi'ilah yang membuka jalan untuk pertama kalinya.
Selain
kitab Ar-Risalah pada abad 3 H telah tersusun pula sejumlah kitab ushu fiqh lainya.
Isa Ibnu Iban(w.221H\835 M) menulis kitab Itsbat Al-Qiyas. Khabar Al-Wahid,
ijtihad ar-ra'yu. Ibrahim Ibnu Syiar Al-Nazham (w.221H\835M) menulis kitab
An-Nakl dan sebagainya.
Namun
perlu diketahui pada umumnya kitab ushul fiqh yang ada pada abad 3 H ini tidak
mencerminkan pemikiran-pemikiran ushul fiqh yang utuh dan mencakup segala
aspeknya, kecuali kitab Ar-Risalah itu sendiri. Kitab Ar-Risalahlah yang
mencakup permasalahan-permasalahan ushuliyah yang menjadi pusat perhatian Para
Fuqoha pada zaman itu.
Disamping
itu, pemikiran ushuliyah yang telah ada, kebanyakan termuat dalam kitab-kitab
fiqh, dan inilah salah satu penyebab pengikut ulama-ulama tertentu mengklaim
bahwa Imam Madzhabnya sebagai perintis pertama ilmu ushul fiqh tersebut.
Golongan Malikiyah misalnya mengklaim imam madzhabnya sebagai perintis pertama
ushul fiqh dikarenakan Imam Malik telah menyinggung sebagian kaidah-kaidah
ushuliyyah dalam kitabnya Al Muwatha. Ketika ia ditanya tentang kemungkinan
adanya dua hadits shoheh yang berlawanan yang datang dari Rasulluloh pada saat
yang sama, Malik menolaknya dengan tegas, karena ia berperinsip bahwa kebenaran
itu hanya terdapat dalam satu hadits saja
- Tahap perkembangan (abad 4 H)
Pada
masa ini abad(4H) merupakan abad permulaan kelemahan Dinasty abassiyah dalam
bidang politik. Dinasty Abasiyah terpecah menjadi daulah-daulah kecil yang
masing-masing dipimpin oleh seorang sultan. Namun demikian tidak berpengaruh
terhadap perkembangan semangat keilmuan dikalangan para ulama ketika itu karena
masing-masing penguasa daulah itu berusaha memajukan negrinya dengan
memperbanyak kaum intelektual.
Khusus
dibidang pemikiran fiqh Islam pada masa ini mempunyai karakteristik tersendiri
dalam kerangka sejarah tasyri' Islam. Pemikiran liberal Islam berdasarkan ijtihad
muthlaq berhenti pada abad ini. mereka mengangagap para ulama terdahulu mereka
suci dari kesalahan sehingga seorang faqih tidak mau lagi mengeluarkan
pemikiran yang khas, terkecuali dalam hal-hal kecil saja, akibatnya
aliran-aliran fiqh semakin mantap exsitensinya, apa lagi disertai fanatisme
dikalangan penganutnya. Hal ini ditandai dengan adanya kewajiban menganut
madzhab tertentu dan larangan melakukan berpindahan madzhab sewaktu-waktu.
Namun
demikian, keterkaitan pada imam-imam terdahulu tidak dikatakan taqlid, karena
masing-masing pengikut madzhab yang ada tetap mengadakan kegiatan ilmiah guna
menyempurnakan apa yang dirintis oleh para pendahulunya.dengan melakukan usaha
antara lain:
- Memperjelas ilat-ilat hukum yang di istinbathkan oleh para imam mereka mereka disebut ulama takhrij
- Mentarjihkan pendapat-pendapat yang berbeda dalam madzhab baik dalam segi riwayat dan dirayah.
- Setiap golongan mentarjihkanya dalam berbagai masalah khilafiyah. Mereka menyusu kitab al-khilaf
Akan
tetapi tidak bisa di ingkari bahwa pintu ijtihad pada periode ini telah
tertutup, akibatnya dalam perkembangan fiqh Islam adalah sebagai berikut:
- Kegiatan para ulama terbatas terbatas dalam menyampaikan apa yang telah ada, mereka cenderung hanya mensyarahkan kitab-kitab terdahulu atau memahami dan meringkasnya.
- Menghimpun masalah-masalah furu yang sekian banyaknya dalam uaraian yang sungkat
- Memperbanyak pengandaian-pengandaian dalam beberapa masalah permasalahan.
Keadaan
tersebut sangat, jauh berbeda di bidang ushul fiqh. Terhentinya ijtihad dalam
fiqh dan adanya usaha-usaha untuk meneliti pendapat-pendapat para ulama
terdahulu dan mentarjihkanya. Justru memainkan peranan yang sangat besar dalam
bidang ushul fiqh.
Sebagai
tanda berembangnya ilmu ushul fiqh dalam abad 4 H ini ditandai dengan munculnya
kitab-kitab ushul fiqh yang merupakan hasil karaya ulama-ulama fiqh diantara
kitab yang terekenal adalah:
- Kitab Ushul Al-Kharkhi, ditulis oleh Abu Al-Hasan Ubaidillah Ibnu Al-Husain Ibnu Dilal Dalaham Al-Kharkhi,(w.340H.)
- Kitab Al –Fushul Fi-Fushul Fi-Ushul, ditulis oleh Ahmad Ibnu Ali Abu Baker Ar-Razim yang juga terkenal dengan Al-Jasshah (305H.)
- Kitab Bayan Kasf Al-Ahfazh, ditulis oleh abu Muhammad Badr Ad-Din Mahmud Ibnu Ziyad Al-Lamisy Al-Hanafi.
Ada
beberapa hal yang menjadi ciri khas dalam perkembangan ushul fiqh pada abad 4H
yaitu munculnya kitab-kitab ushul fiqh yang membahas ushul fiqh secara utuh dan
tidak sebagian-sebagian seperti yang terjadi pada masa-masa sebelumnya.
Kalaupun ada yang membahas hanya kitab-kitab tertentu, hal itu semata-mata
untuk menolak atau memperkuat pandangan tertentu dalam masalah itu.
3. Tahap
penyempurnaan ( 5-6 H )
kelemahan
politik di Baghdad, yang ditandai dengan lahirnya beberapa daulah kecil,
membawa arti bagi perkembanangan peradaban dunia Islam. Peradaban Islam tak
lagi berpusat di Baghdad, tetapi juga di kota-kota seperti Cairo, Bukhara,
Ghaznah, dan Markusy. Hal itu disebabkan adanya perhatian besar dari para
sultan, raja-raja penguasa daulah-daulah kecil itu terhadap perkembangan ilmu
dan peradaban.
Hingga
berdampak pada kemajuan dibidang ilmu ushul fiqih yang menyebabkan sebagian
ulama memberikan perhatian khusus untuk mndalaminya, antara lain Al-Baqilani,
Al-Qhandi, abd. Al-jabar, abd. Wahab Al-Baghdadi, Abu Zayd Ad Dabusy, Abu
Husain Al Bashri, Imam Al-Haramain, Abd. Malik Al-Juwani, Abu Humaid Al Ghazali
dan lain-lain. Mereka adalah pelopor keilmuan Islam di zaman itu. Para pengkaji
ilmu keislaman di kemudian hari mengikuti metode dan jejak mereka, untuk
mewujudkan aktivitas ilmu ushul fiqih yang tidak ada bandinganya dalam
penulisan dan pengkajian keislaman , itulah sebabnya pada zaman itu, generasi
Islam pada kemudian hri senantiasa menunjukan minatnya pada produk-produk ushul
fiqih dan menjadikanya sebagi sumber pemikiran.
Dalam
sejarah pekembangan ilmu ushul fiqih pada abad 5 H dan 6 H ini merupakan
periode penulisan ushul fiqih terpesat yang diantaranya terdapat kitab-kitab
yang mnjadi kitab standar dalam pengkajian ilmu ushul fiqih slanjutnya.
Kitab-kitab
ushul fiqih yang ditulis pada zaman ini, disamping mencerminkan adanya kitab
ushul fiqih bagi masing-masing madzhabnya, juga menunjukan adanya alioran ushul
fiqih, yakni aliran hanafiah yang dikenal dengan alira fuqoha, dan aliran
Mutakalimin
Puncak perkembangan ushul fiqh terjadi
sekitar pada abad ke-5 Hijriyah. Pada masa tersebut, lahir para ulama dan
karya-karya ushul fiqh kenamaan yang menjadi rujukan kitab-kitab ushul fiqh di kemudian hari.
Di antara kitab-kitab penting ushul fiqh yang lahir pada abad ke-5 tersebut antara lain:
- Kitab al-Ahd atau al-Amd karya Qadli Abd al-Jabbar al-Mu‘tazili (w. 415H/1024M)
- Kitab al-Mu‘tamad karya Abu Husayn al-Bashri al-Mu’tazili (w. 436H 1044M)
- Kitab al-‘Uddah karya Abu Ya’la al-Hanbali (w. 458H/1065M)
- Kitab al-Ihkam fi ‘Ushul al-Ahkam karya Ibnu Hazm al-Dzahiri (w. 456H/1062M)
- Kitab al-Luma’ karya Abu Ishaq al-Syirazi al-Syafi‘i (w. 467H /1083 M)
- Kitab al-Burhan karya Al-Juwayni al-Syafi‘i (w. 478H /1085M)
- Kitab Ushul Al-Sarakhsi karya Imam al-Sarakahsi al-Hanafi (w. 490H/1096M).
Imam Abu Hamid Al-Ghazali wafat pada tahun 505 H atau abad
ke-6, tetapi sebagian hidupnya dihabiskan pada abad ke k-5. Karena itu, kitab al-Mustashfa karya
al-Ghazali dapat dimasukkan ke dalam jajaran kitab yang dilahirkan ulama abad
ke-5.
Di antara kitab-kitab di atas, ada
empat kitab yang kemudian memperoleh pengakuan sebagai kitab terbaik dan
mempengaruhi perkembangan ushul fiqh selanjutnya di kalangan mutakallimin, yaitu al-Ahd karya Qadli Abdul
Jabbar, al-Mu‘tamad karya Abu Husayn al-Bashri, al-Burhan karya al-Juwayni,
dan al-Musthasfa karya al-Ghazali. Kitab-kitab tersebut disebut Ibnu
Khaldun sebagai kitab ushul fiqh terbaik. Empat kitab tersebut kemudian diringkas dan
dijabarkan kembali oleh para ulama setelahnya, khususnya para ulama abad ke-7
Hijriyyah, seperti Fakhruddin al-Razi, al-Amidi, Ibnu Qudamah, Ibnu Hajib dan
sebagainya.
Karena itu, muncullah beberapa kesepakatan
dalam berbagai kitab ushul mengenai sistematikasi bahasan kitab ushul. Bahasan mengenai
hukum, kaidah-kaidah-kaidah kebahasaan, kaidah naskh dan tarjih, dalil hukum, dan
ijtihad hampir ada di semua kitab ushul fiqh
mutakallimin yang berakar dari empat
kitab di atas. Perbedaan bahasan terjadi dalam beberapa aspek, misalnya tentang
pengantar logika, pembahasan kalam, dan tentang huruf, yang ada disebagian
kitab ushul dan tidak ada disebagian kitab ushul yang lain.[12]
F.
Hubungan Antara Ushul Fiqih dengan Cabang-cabang Ilmu yang
terkait
Murtada
Mutahhari membahas kata “ilmu-ilmu Islami” dan membuat definisi yang jelas
baginya untuk menjelaskan apa yang kita maksud jika kita menyebut kata
ilmu-ilmu Islami dan apa esensi universalitas-universalitas yang hendak kita
ketahui pada pelajaran-pelajaran ini. Dia mengatakan bahwa ilmu-ilmu Islami
yang menjadi subjek pembahasan kita dapat didefinisikan dari berbagai aspek,
dan seiring perbedaan definisi itu, maka subjek-subjeknya juga berbeda-beda.
- Ilmu yang subjek atau temanya seputar pokok (usul) dan cabang (furu‘) ajaran Islam, atau ilmu yang dengannya dapat ditetapkan usul dan furu‘ ajaran Islam yaitu al-Quran dan Sunnah, seperti Ilmu Qiraah, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadith, Ilmu Kalam Tradisional, Ilmu Fiqh, Ilmu Akhlak Tradisional.
- Ilmu-ilmu tersebut ditambah dengan ilmu-ilmu pengantarnya, seperti Sastra Arab, yaitu Sarf, Nahwu, Linguistis, Ma‘ani, Bayan, Badi‘, dll; juga Kalam Rasional, Akhlak Rasional, Hikmah Ilahiyyah, Logika, Usul Fiqh, Rijal, dan Dirayah.
- Ilmu yang dari aspek tertentu merupakan bagian dari kewajiban Islami, yaitu ilmu yang wajib dikuasai oleh Kaum Muslimin sebagai sebuah kewajiban kifayah yang tercakup dalam hadith Nabi yang terkenal, “Menuntut ilmu itu fardu bagi setiap muslim.”
Pertama, ilmu yang subjek dan temanya termasuk usul atau
furu‘ ajaran Islam; atau ilmu yang menjadi sandaran dalam menetapkan usul
dan furu‘ ajaran Islam, adalah ilmu yang wajib dipelajari. Sebab,
memahami usul ajaran agama adalah wajib ‘ayni atas semua muslim, dan
memahami furu‘ ajaran agama adalah wajib kifa’i, sebagaimana
mempelajari al-Quran dan Sunnah juga merupakan kewajiban, karena tanpa keduanya
maka pengetahuan tentang usul dan furu‘ ajaran Islam tidak
mungkin diperoleh.
kedua, mempelajari ilmu-ilmu pengantar untuk menguasai
ilmu-ilmu tersebut juga merupakan kewajiban dari segi “pengantar bagi sesuatu
yang wajib adalah wajib”. Artinya, harus selalu ada orang-orang yang menguasai
ilmu-ilmu tersebut minimal dalam kadar yang mencukupi. Bahkan, harus selalu ada
orang-orang yang mampu berperan dalam melakukan inovasi dalam ilmu-ilmu dasar
dan pengantar tersebut, serta berusaha memperkaya dan mengembangkannya secara
kontinyu.
Para ulama Islam sepanjang 14 abad telah berusaha meluaskan
wilayah ilmu-ilmu tersebut. Dalam bidang ini, mereka telah meraih keberhasilan
yang nyata. Kita secara bertahap akan mengkaji pertumbuhan, perkembangan,
perubahan, dan penyempurnaan ilmu-ilmu tersebut.
Ketiga, ilmu yang wajib dipelajari oleh kaum Muslimin tidak
terbatas pada ilmu-ilmu yang sudah disebutkan. Sebab, jika terpenuhinya
kebutuhan-kebutuhan primer masyarakat Islam tergantung kepada penguasaan,
spesialisasi, dan ijtihad pada suatu ilmu, maka ilmu itu wajib dikuasai oleh
umat Islam.
Untuk menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang holistik dan
komprehensif, agama yang tidak hanya memuat serangkaian nasihat moral dan
individual, agama yang berfungsi melindungi masyarakat, maka kami katakan bahwa
Islam mewajibkan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh masyarakat sebagai wajib
kifayah. Misalnya, jika masyarakat membutuhkan dokter, maka kedokteran menjadi
wajib kifayah. Artinya, penyediaan dokter dalam jumlah yang mencukupi adalah
kewajiban atas masyarakat. Jika dokter dalam jumlah yang mencukupi tidak
tersedia, maka masyarakat harus menyiapkan kondisi hingga tersedianya
dokter-dokter dan terpenuhinya kebutuhan tersebut. Karena kedokteran tergantung
pada dikuasainya ilmu kedokteran, maka menguasai ilmu ini tentu saja menjadi
salah satu wajib kifayah. Demikian juga dalam pendidikan, politik, perdagangan,
dan bidang-bidang ilmu serta bidang-bidang keterampilan lainnya.
Jika pada pos-pos tertentu terlindunginya eksistensi
masyarakat Islam tergantung kepada penguasaan ilmu dan keterampilan pada level
yang sangat tinggi, maka ilmu dan keterampilan itu wajib dikuasai pada level
tersebut. Dari contoh ini kita dapat memahami bahwa Islam menganggap semua ilmu
yang penting bagi masyarakat Islam sebagai kewajiban, sehingga ilmu-ilmu Islam,
berdasarkan definisi ketiga ini, mencakup banyak ilmu fisika dan matematika
“yang dibutuhkan oleh masyarakat Islam”.
Ilmu-ilmu yang
memperoleh kesempurnaan di peradaban ilmiah Islam. Ilmu-ilmu ini lebih banyak
(lebih umum) daripada ilmu-ilmu yang dianggap wajib dan primer oleh Islam,
serta lebih banyak daripada ilmu-ilmu yang dianggap Islam sebagai ilmu yang
terlarang, karena dengan cara bagaimana pun ilmu-ilmu ini berkembang di
masyarakat Islam. Misalnya, ilmu astrologi (‘ilm al-tanjim al-ahkami)
yang berbeda dengan ilmu astronomi (‘ilm al-tanjim al-riyadi).
Kita mengetahui bahwa ilmu astronomi itu termasuk dari ilmu-ilmu Islam yang
boleh dipelajari jika ilmu ini berkaitan dengan rumus-rumus matematika yang
mengkaji kondisi-kondisi alam semesta, menjelaskan rangkaian prediksi yang
berbasis prinsip-prinsip matematika, seperti memprediksi gerhana matahari dan
gerhana bulan. Sedangkan jika berkaitan dengan sesuatu di luar batas
rumus-rumus matematika, yaitu jika berkaitan dengan penjelasan rangkaian
hubungan yang samar antara kondisi-kondisi perbintangan (samawiyyah) dengan kejadian-kejadian sehari-hari, yang
berujung pada ramalan-ramalan tentang peristiwa-peristiwa sehari-hari, maka
ilmu ini diharamkan oleh Islam. Meskipun demikian, kedua jenis ilmu
perbintangan ini ada di tengah peradaban dan kebudayaan Islam.
Dari keempat definisi itu, Mutahhari mengambil definisi
ketiga sebagai pengertian ilmu-ilmu Islam, yaitu ilmu-ilmu yang dianggap Islam
sebagai fardu, memiliki sejarah yang mendalam di dalam peradaban dan budaya
Islam, serta menempati posisi terhormat di kalangan umat Islam karena menjadi
instrumen untuk memenuhi kebutuhan atau untuk melaksanakan suatu kewajiban
tertentu [13].
Mutahhari mengatakan bahwa peradaban Islam adalah peradaban
yang khas di antara peradaban-peradaban lain di dunia. Peradaban yang khas artinya
peradaban yang memiliki orisinalitas dan karakteristik tersendiri, sedangkan
peradaban yang tidak khas artinya peradaban yang sekadar mengikuti peradaban
lain. Kriteria untuk menentukan sebuah khas atau tidak sebuah peradaban adalah
ada atau tidak adanya motif, tujuan, gerak, dan cara pertumbuhan tersendiri,
serta ciri-ciri utama yang menonjol.
Tapi, menyatakan suatu peradaban memiliki orisinalitas tidak
berarti bahwa peradaban itu tidak mengambil manfaat dari
peradaban-peradaban lain karena hal itu mustahil. Tidak ada satu pun peradaban
di dunia yang tidak mengambil manfaat dari peradaban lain. Cara mengambil
manfaatlah yang menentukan orisinal/tidaknya suatu peradaban. Yang tidak
orisinal adalah yang hanya mengambil atau mengimpor peradaban lain tanpa
mengolahnya sedikit pun. Sedangkan yang orisinal adalah yang mencerna peradaban
lain seperti yang dilakukan organ makhluk hidup yang menyerap suatu benda lalu
mengolahnya menjadi benda lain. Peradaban Islam termasuk jenis peradaban dalam
pengertian yang kedua.
Usul Fiqh adalah ilmu alat
seperti Ilmu Bahasa dan Ilmu Logika
Umat Islam telah mengkaji masalah-masalah
praktis dan menetapkan metodenya (Usul Fiqh) sebelum mereka mengkaji
masalah-masalah teologis teoritis dan mencari metodenya. Para ulama Usul Fiqh
lebih dulu menciptakan metode penelitian daripada para ulama Usul al-Din dan
metode itu menjadi rujukan utama sampai pada abad 5 H., al-Ghazali menyerukan
untuk memadukan logika Aristoteles dengan ilmu-ilmu Islam dan menjadikannya
satu-satunya metode kajian ilmiah.[14]
Karakter metodologis Ilmu Usul Fiqh sangat kentara sehingga
dalam kaitannya dengan ilmu fiqih dia berperan seperti Ilmu Logika bagi
filsafat atau Ilmu Nahwu dalam kaitannya dengan berbicara dan menulis dengan
Bahasa Arab. Mengapa? Al-Zarkashi dalam Bahr al-Muhit yang dikutip
oleh al-Nashshar, menegaskan bahwa Usul Fiqh adalah majmu‘ turuq al-fiqh
min haythu annaha ‘ala sabil al-ijmal wa kayfiyyah al-istidlal biha wa hal
al-mustadall biha. Ringkasnya, Usul Fiqh adalah metode penelitian seorang
faqih. Dengan kata lain, Usul Fiqh adalah qanun ‘asim li dhihn al-faqih min
al-khata’ fi al-istidlal ‘ala al-ahkam.
Ilmu Usul Fiqh adalah salah satu ilmu rasional (al-‘ulum
al-‘aqliyyah). Al-‘Ulwani mengatakan bahwa Mustafa ‘Abd al-Raziq
menegaskan urgensi ilmu ini dan menyatakan bahwa peneliti sejarah Filsafat
Islam harus mempelajari al-ijtihad bi al-ra’y karena hal ini merupakan
kajian rasional pertama yang terbukti dilakukan kaum muslimin hingga
memunculkan mazhab-mazhab fiqh dan melahirkan Ilmu Usul Fiqh.‘Abd al-Raziq
bukan orang pertama yang menyatakan hal ini. Ibnu Khaldun, Tashi Kubra Zadah,
dan al-Shatibi telah menyatakan hal tersebut. Buku-buku babon Usul Fiqh pun
kebanyakan ditulis oleh para teolog, seperti al-Burhan oleh
al-Haramayn [ulama mazhab al-Shafi‘i, w. 487 H.], al-Mustasfa oleh
al-Ghazali, al-‘Ahd oleh ‘Abd al-Jabbar, dan al-Mu‘tamad oleh
Abu al-Husayn al-Basri [ulama mazhab Mu‘tazilah, w. 413 H.]. Tapi, ‘Abd
al-Raziq berjasa mengingatkan dan mengekspos rasionalitas ilmu ini secara metodologis
disertai dengan argumentasi rasional dan historis [15].
G.
Penutup
Dari
penjelasan-penjelasan di atas dapat disimpulkan:
- Apa yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa sejak zaman Rasulullah saw., sahabat dan sesudahnya, pemikiran hukum Islam mengalami perkembangan. Namun demikian, corak atau metode pemikiran belum terbukukan dalam tulisan yang sistematis. Dengan kata lain, belum terbentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri
- Karena timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui hukumnya. Untuk itu, para ulama Islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum maka disusunlah kitab ushul fiqih .
- Bahwa kegiatan ulama dalam penulisan ushul fiqih merupakan salah satu upaya dalam menjaga keasrian hukum syara. Dan menjabarkanya kehidupan social yang berubah-ubah itu, kegiatan tersebut dimuali pada abad ketiga hijriyah. ushul fiqih terus berkembang menuju kesempurnaanya hingga abad kelima dan awal abad 6 H abad tersebut merupakan abad keemasan penulisan ilmu ushul fiqh karena banyak ulama yang memusatkan perhatiannya pada bidang ushul fiqih dan juga muncul kitab-kitab fiqih yang menjadi standar dan rujukan untuk ushul fiqih selanjutnya.
Daftar Pustaka
Abdul Wahab Ibrhamim Abu Sulaiman. Al-Fikr al-Usuli: Dirasah Tahliliyah Naqdiyah. Jeddah: Dar al-Syuruq. 1983.
Abu Zahrah. Ushul Fiqh. Tt: Tp. Tth
Ali Sami al-Nashshar, Manahij
al-Bahth ‘Inda Mufakkiri al-Islam wa Naqd al-Muslimin li Mantiq al-Aristatalisi,
Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, cet. I, 1367 H./1947 M. h. 53-55.
Fahmi
Muhammad ‘Ulwan, al-Qiyam al-Daruriyyah wa Maqasid
al-Tashri‘ al-Islami, tth
Imam al-Syirazi dikenal sebagai pengikut Syafi’i yang
non-Asy’ariyyah dan menjadi rival Imam al-Juwayni dalam perdebatan (munadzarah)
teologis. Lihat catatan mengenai perdebatan teologis Abu Ishaq al-Syirazi dan
Al-Juwayni dalam George al-Makdisi. The Rise of
Colledge: Institution of Learning in Islam and in The West.Edinburgh: Edinburgh University Press. 1981
Muhammad Sa‘id al-Khinn. Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Ushuliyyah fi Ikhtialaf al-Fuqaha. Beirut: Muassassah al-Risalah. 1994.
Musthafa Sa‘id al-Khinn. Atsar al-Ikhtilaf… .
Muhammad al-Khudlary. Tarikh
Tasyri’ al-Islamy. Surabaya: dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah. Tth
Murtada Mutahhari,
al-Usul, terj. Hasan ‘Ali al-Hashimi, Beirut: Dar
al-Wala’, cet. I, 2009 M./1430 H
Najmuddin al-Thufi. Kitab
al-Ta’yin fi Syarh al-Arbain. Beirut:
Muassasah al-Rayyan. 1998.
Noel James Coulson. History of
Islamic Law. Edinburgh: Edinburgh University Press. 1964
Thaha Jabir Alwani. Source
Methodology in Islamic Jurisprudence.
Virginia: IIIT. 1994.
Wael B. Hallaq. A History
of Islamic Legal Theories, an Introduction to Sunni Ushul Fiqh. Cambridge: Cambridge University Press. 1997. h. 127
[2] Muhammad Sa‘id al-Khinn. Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Ushuliyyah fi Ikhtialaf al-Fuqaha. Beirut: Muassassah al-Risalah. 1994. h.
122-123.
[4] Abdul Wahab Ibrhamim Abu
Sulaiman. Al-Fikr
al-Usuli: Dirasah Tahliliyah Naqdiyah. Jeddah: Dar al-Syuruq. 1983. h. 38-39..
[6] Muhammad
al-Khudlary. Tarikh
Tasyri’ al-Islamy. Surabaya: dar Ihya’ al-Kutub
al-‘Arabiyyah. Tth. h. 114.
[8] Najmuddin al-Thufi. Kitab al-Ta’yin fi Syarh al-Arbain. Beirut: Muassasah al-Rayyan. 1998. h.
237-238.
[9]
Abu Zahrah. Ushul Fiqh. Tt: Tp. Tth. h. 13. Lihat juga Noel James Coulson. History of Islamic Law. Edinburgh: Edinburgh University Press. 1964. h. 53 dst.
[10] Wael B. Hallaq. A History of Islamic Legal Theories, an Introduction
to Sunni Ushul Fiqh.
Cambridge: Cambridge University Press. 1997. h. 127
[11] Imam al-Syirazi dikenal sebagai pengikut
Syafi’i yang non-Asy’ariyyah dan menjadi rival Imam al-Juwayni dalam perdebatan
(munadzarah) teologis. Lihat catatan mengenai perdebatan teologis Abu Ishaq
al-Syirazi dan Al-Juwayni dalam George al-Makdisi. The Rise of Colledge: Institution of Learning in
Islam and in The West.Edinburgh:
Edinburgh University Press. 1981. h. 154.
[13] Murtada
Mutahhari, al-Usul, terj. Hasan ‘Ali
al-Hashimi, Beirut: Dar al-Wala’, cet. I, 2009 M./1430 H., h. 8
[14]
‘Ali Sami al-Nashshar, Manahij al-Bahth ‘Inda Mufakkiri al-Islam wa Naqd al-Muslimin li
Mantiq al-Aristatalisi, Kairo: Dar
al-Fikr al-‘Arabi, cet. I, 1367 H./1947 M. h. 53-55.
[15]
Fahmi Muhammad ‘Ulwan, al-Qiyam al-Daruriyyah wa Maqasid al-Tashri‘
al-Islami, h. 7.
No comments:
Post a Comment