ISTIHSAN, ISTISHAB, DAN MASLAHAH MURSALAH
Oleh : Nashihuddin, M.Ag
A.
Pendahuluan
Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah
satu intsrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin melakukan
mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah sebabnya dalam
pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan
sebagai salah satu syarat mutlaknya untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath
tetap berada pada koridor yang semestinya. Meskipun demikian, ada
satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah
serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para mujtahid.
Disamping faktor eksternal Ushul Fiqih itu sendiri, seperti penentuan
keshahihan suatu hadits misalnya, internal Ushul Fiqih sendiri pada sebagian
masalahnya mengalami perdebatan (ikhtilaf) di kalangan para Ushuliyyin.
Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah (sebagian
ahli Ushul menyebutnya: al-Ushul al-Mukhtalaf fiha, atau “Dalil-dalil
yang diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan penyimpulan hukum.
Mashadirul Ahkam (sumber-sumber
hukum) ada yang disepakati ada yang tidak. Jelasnya, ada Mashadir Ashliyah
(sumber pokok) yaitu: Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya dan ada Mashadir
Thabi’iyah (sumber yang dipautkan kepada sumber-sumber pokok) yang disepakati
oleh jumhur fuqaha yaitu: ijma dan qiyas. Adapula yang di ikhtilafi oleh
tokoh-tokoh ahli ijtihad sendiri yaitu: Istihsan, istishab, Maslahah
mursalah, Urf, Saddudzari’ah, dan madzhab sahabi.
Makalah ini akan menguraikan tentang
hakikat Istihsan, Istishab, dan maslahah mursalah yang mencakup
pengertian, macam-macamnya, kehujjahannya, kaidah-kaidahnya, dan contoh-contoh
produk hukumnya.
B. Istihsan
1. Pengertian Istihsan
Secara
etimologi, istihsan berarti “menyatakan dan meyakini baiknya sesuatu” tidak ada
perbedaan pendapat dikalangan ulama Ushul Fiqih dalam mempergunakan lafal
istihsan.[1]
Adapun pengertian istihsan menurut istilah, sebagaimana disebutkan oleh Abdul
Wahab Khalaf [2]
هو عدول المجتهد عن قياس جلى الى مقتصنى قياس خفى او عن حكم كلى الى
حكم استسنائي انقدع فى اقله رجع لديه هذ العدول
“Istihsan
adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan qiyas jali (yang jelas)
kepada ketentuan qiyas Khafi (yang samar), atau ketentuan yang kulli (umum)
kepada ketentuan yang sifatnya istisna’i (pengecualian), karena menurut
pandangan mujtahid itu adalah dalil (alasan) yang lebih kuat yang menghendaki
perpindahan tersebut.
Dari
pengertian tersebut jelas bahwa istihsan ada dua, yaitu sebagai berikut:
a.
Menguatkan
Qiyas Khafi atas qiyas jali dengan dalil. Misalnya, menurut ulama Hanafiyah
bahwa wanita yang sedang haid boleh membaca Al-Qur’an berdasarkan istihsan,
tetapi haram menurut qiyas.
-
Qiyas:
wanita yang sedang haid itu di qiyaskan kepada orang junub dengan illat
sama-sama tidak suci. Orang junub haram membaca Al-Qur’an, maka orang yang Haid
haram membaca Al-Qur’an.
-
Istihsan
: haid berbeda dengan junub karena haid waktunya lama. Oleh karena itu, wanita
yang sedang haid dibolehkan membaca Al-Qur’an, sebab bila tidak, maka haid yang
panjang itu wanita tidak memperoleh pahala ibadah apapun, sedang laki-laki
dapat beribadah setiap saat.
b.
Pengecualian
sebagai hukum kulli dengan dalil. Misalnya, jual beli salam (pesanan)
berdasarkan istihsan diperbolehkan. Menurut dalil kulli, syariat melarang jual
beli yang barangnya tidak ada pada waktu akad. Alasan istihsan ialah manusia
berhajat kepada akad seperti itu dan sudah menjadi kebiasaan mereka.
Definisi istihsan Menurut imam Abu
Al Hasan al Karkhi ialah penetapan hukum dari seorang mujtahid terhadap suatu
masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan pada
masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan yang lebih kuat yang menghendaki
dilakukannya penyimpanagan itu.
Definisi
istihsan menurut Ibnul Araby ialah memilih meninggalkan dalil, mengambil ruksah
dengan hukum sebaliknya, karena dalil itu berlawanan dengan dalil yang lain
pada sebagian kasus tertentu.
Sementara itu, ibnu anbary, ahli fiqih dari madhab
Maliky memberi definisi istihsan bahwa istihsan adalah memilih menggunakan
maslahat juziyyah yang berlawanan dengan qiyas kully [3].Istihsan
merupakan sumber hukum yang banyak dalam terminology dan istinbath hukum oleh
dua imam madhab, yaitu imam Malik dan imam Abu Hanifah. Tapi pada dasarnya imam
Abu Hanifah masih tetap menggunakan dalil qiyas selama masih dipandang tepat [4].
Dari berbagai definisi diatas, dapat difahami bahwa
pada hakikatnya istihsan itu adalah keterkaitan dengan penerapan ketentuan
hukum yang sudah jelas dasar dan kaidahnya secara umum baik dari nash, ijma
atau qiyas, tetapi ketentuan hukum yang sudah jelas ini tidak dapat
diberlakukan dan harus dirubah karena berhadapan dengan persoalan yang khusus
dan spesifik.
Dengan
demikian, Istihsan pada dasarnya adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung
dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal
yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama.
Artinya, persoalan khusus yang
seharusnya tercakup ada ketentuan yang sudah jelas, tetapi karena tidak
memungkinkan dan tidak tepat diterapkan, maka harus berlaku ketentuan khusus
sebagai pengecualian dari ketentuan umum atau ketentuan yang sudah jelas.
2.
Dasar Hukum Istihsan
para ulama yang mempertahankan
istihsan mengambil dalil dari al-Qur'an dan Sunnah yang menyebutkan kata istihsan
dalam pengertian denotatif (lafal yang seakar dengan istihsan) seperti Firman
Allah Swt dalam surah Al-Zumar : 18
Artinya: “Yang
mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka
Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang
yang mempunyai akal”. (QS. Az-Zumar: 18)
Ayat ini menurut mereka menegaskan bahwa
pujian Allah bagi hambaNya yang memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik,
dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh
Allah.
Artinya: "Dan
turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu"....(QS. Az-Zumar :55)
Menurut
mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik,
dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain
yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan
adalah hujjah.
Hadits Nabi saw:
فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ
عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ.
Artinya:“Apa
yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah
adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi Allah
adalah buruk pula”.
Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh
kaum muslimin dengan akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini
menunjukkan kehujjahan Istihsan.
Contoh
istihsan macam pertama: Menurut Madzhab Hanafi: bila seorang mewaqafkan
sebidang tanah pertanian, maka termasuk yang diwaqafkannya itu hak pengairan,
hak membuat saluran air di atas tanah itu dan sebagainya. Hal ini ditetapkan berdasar
istihsan. Menuryt qiyas jali hak-hak tersebut tidak mungkin diperoleh, karena
mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli. Pada jual beli yang penting ialah
pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Bila waqaf diqiyaskan kepada
jual beli, berarti yang penting ialah hak milik itu. Sedang menurut istihsan
hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan waqaf itu kepada sewa-menyewa. Pada
sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik
barang kepada penyewa barang. Demikian pula halnya dengan waqaf. Yang penting
pada waqaf ialah agar barang yang diwaqafkan itu dapat dimanfaatkan. Sebidang
sawah hanya dapat dimanfaatkan jika memperoleh pengairan yang baik. Jika waqaf
itu diqiyaskan kepada jual beli (qiyas jali), maka tujuan waqaf tidak akan
tercapai, karena pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak milik. Karena
itu perlu dicari ashalnya yang lain, yaitu sewa-menyewa. Kedua peristiwa ini
ada persamaan 'illatnya yaitu mengutamakan manfaat barang atau harta, tetapi
qiyasnya adalah qiyas khafi. Karena ada suatu kepentingan, yaitu tercapainya
tujuan waqaf, maka dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi,
yang disebut istihsan.
Contoh lain adalah mengenai sisa
minuman burung buas, seperti sisa burung elang burung gagak dan sebagainya
adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan dengan istihsan. Menurut
qiyas jali sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan burung-burung buas
adalah haram diminum karena sisa minuman yang telah bercampur dengan air liur
binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang buas itu langsung minum
dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke tempat minumnya. Menurut qiyas
khafi bahwa burung buas itu berbeda mulutnya dengan mulut binatang huas. Mulut
binatang buas terdiri dari daging yang haram dimakan, sedang mulut burung buas
merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk dan tulang atau zat
tanduk bukan merupakan najis. Karena itu sisa minum burung buas itu tidak
bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan, sebab diantara oleh paruhnya,
demikian pula air liurnya. Dalam hal ini keadaan yang tertentu yang ada pada
burung buas yang membedakannya dengan binatang buas. Berdasar keadaan inilah
ditetapkan perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut
istihsan.
Contoh istihsan macam kedua: Syara'
melarang seseorang memperjualbelikan atau mengadakan perjanjian tentang sesuatu
barang yang belum ada wujudnya, pada saat jual beli dilakukan. Hal ini berlaku
untuk seluruh macam jual beli dan perjanjian yang disebut hukum kuIIi. Tetapi
syara' memberikan rukhshah (keringanan) kepada pembelian barang dengan kontan
tetapi barangnya itu akan dikirim kemudian, sesuai dengan waktu yang telah
dijanjikan, atau dengan pembelian secara pesanan (salam). Keringanan yang
demikian diperlukan untuk memudahkan lalu-lintas perdagangan dan perjanjian.
Pemberian rukhshah kepada salam itu merupakan pengecualian (istitana) dari
hukum kulli dengan menggunakan hukum juz-i, karena keadaan memerlukan dan telah
merupakan adat kebiasaan dalam masyarakat.
Yang berpegang dengan dalil istihsan
ialah Madzhab Hanafi, menurut mereka istihsan sebenarnya semacam qiyas, yaitu
memenangkan qiyas khafi atas qiyas jali atau mengubah hukum yang telah ditetapkan
pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar ketentuan umum
kepada ketentuan khusus karena ada suatu kepentingan yang membolehkannya.
Menurut mereka jika dibolehkan menetapkan hukum berdasarkan qiyas jali atau
maslahat mursalah, tentulah melakukan istihsan karena kedua hal itu pada
hakekatnya adalah sama, hanya namanya saja yang berlainan. Disamping Madzhab
Hanafi, golongan lain yang menggunakan istihsan ialah sebagian Madzhab Maliki
dan sebagian Madzhab Hambali.
Yang menentang istihsan dan tidak
menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Madzhab Syafi'i. Istihsan menurut
mereka adalah menetapkan hukum syara' berdasarkan keinginan hawa nafsu. Imam
Syafi'i berkata: "Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah
menetapkan sendiri hukum syara' berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang
yang berhak menetapkan hukum syara' hanyalah Allah SWT." Dalam buku
Risalah Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan: "Perumpamaan orang yang
melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke
suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah Ka'bah, tanpa ada
dalil yang diciptakan pembuat syara' untuk menentukan arah Ka'bah itu."
Jika diperhatikan alasan-alasan yang
dikemukakan kedua pendapat itu serta pengertian istihsan menurut mereka
masing-masing, akan jelas bahwa istihsan menurut pendapat Madzhab Hanafi
berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi'i. Menurut Madzhab Hanafi
istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan
hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi'i, istihsan itu timbul karena rasa
kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak. Seandainya istihsan
itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang
disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu
asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwâfaqât menyatakan: "orang yang
menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan
keinginannyya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui
bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara' dan sesuai
pula dengan kaidah-kaidah syara' yang umum".
3. Pembagian Istihsan dan contoh produk
hukumnya
Ulama Hanafiah membagi Istihsan
kepada enam macam. Sebagaimana di jelaskan oleh al-Syatibi[5],
yaitu:
a.
Istihsan bil
an-Nash (Istihsan berdasarkan ayat atau hadits). Yaitu
penyimpangan suatu ketentuan hukum berdasarkan ketetapan qiyas kepada ketentuan
hukum yang berlawanan dengan yang ditetapkan berdasarkan nash al-kitab dan
sunnah. Contoh: dalam masalah wasiat. Menurut ketentuan umum wasiat itu tidak
boleh, karena sifat pemindahan hak milik kepada orang yang berwasiat ketika
orang yang berwasiat tidak cakap lagi, yaitu setelah ia wafat. Tetapi, kaidah
umum ini di dikecualikan melalui firman Allah Swt dalam Surat An-Nisa ayat 11
yang artinya: “setelah mengeluarkan wasiat yang ia buat atau hutang”. Contoh
istihsan dengan sunnah Rasulullah adalah
dalam kasus orang yang makan dan minum
karena lupa pada waktu ia sedang berpuasa. Menurut kaidah umum (qiyas),
puasa orang ini batal karena telah memasukan
sesuatu kedalam tenggorokannya dan tidak menahan puasanya sampai pada
waktu berbuka. Akan tetapi hukum ini dikecualikan oleh hadits Nabi Saw yang mengatakan: “Siapa
yang makan atau minum karena lupa ia tidak batal puasanya, karena hal itu
merupakan rizki yang diturunkan Allah kepadanya” (HR. At.Tirmidzi).
b.
Istihsan bi
al-Ijma (istihsan yang didasarkan kepada ijma).yaitu
meninggalkan keharusan menggunakan qiyas pada suatu persoalan karena ada ijma.
Hal ini terjadi karena ada fatwa mujtahid atas suatu peristiwa yang berlawanan
dengan pokok atau kaidah umum yang ditetapkan, atau para mujtahid bersikap diam
dan tidak menolak apa yang dilakukan manusia, yang sebetulnya berlawanan dengan
dasar-dasar pokok yang telah ditetapkan. [6]
msalnya dalam kasus pemandian umum. Menurut kaidah umum, jasa pemandian umum
itu harus jelas, yaitu harus berapa lama seseorang harus mandi dan berapa liter
air yang dipakai. Akan tetapi, apabila hal itu dilakukan maka akan menyulitkan
bagi orang banyak. Oleh sebab itu, para ulama sepakat menyatakan bahwa boleh
menggunakan jasa pemandian umum sekalipun tanpa menentukan jumlah air dan
lamanya waktu yang dipakai.
c.
Istihsan bi
al-Qiyas al-Khafi (Istihsan berdasarkan qiyas yang tersembunyi). Yaitu
memalingkan suatu masalah dari ketentuan hukum qiyas yang jelas kepada
ketentuan qiyas yang samar, tetapi keberadaannya lebih kuat dan lebih tepat
untuk diamalkan.[7]misalnya,
dalam wakaf lahan pertanian. Menurut qiyas jali, wakaf ini sama dengan jual
beli karena pemilik lahan telah
menggugurkan hak miliknya dengan memindah tangankan lahan tersebut. Oleh sebab
itu, hak orang lain untuk melewati tanah tersebut atau mengalirkan air ke lahan pertanian melalui tanah tersebut
tidak termasuk ke dalam akad wakaf itu, kecuali jika dinyatakan dalam akad. Dan
menurut qiyas al-khafi wakaf itu sama dengan akad sewa menyewa, karena maksud
dari wakaf itu adalah memanfaatkan lahan
pertanian yang diwakafkan. Dengan sifat ini, maka seluruh hak melewati tanah
pertanian itu atau hak mengalirkan air diatas lahan pertanian tersebut termasuk
kedalam akad wakaf, sekalipun tidak dijelaskan dalam akad.
d.
Istihsan bi
al-maslahah (istihsan berdasarkan kemaslahatan). Misalnya
kebolehan dokter melihat aurat wanita dalam proses pengobatan. Menurut kaidah
umum seseorang dilarang melihat aurat orang lain. Tapi, dalam keadaan tertentu
seseorang harus membuka bajunya untuk di diagnosa penyakitnya. Maka, untuk
kemaslahatanorang itu, maka menurut kaidah istihsan seorang dokter dibolehkan
melihat aurat wanita yang berobat kepadanya.
e.
Istihsan bi
al-Urf ( Istihsan
berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum). Yaitu penyimpangan hukum yang
berlawanan dengan ketentuan qiyas, karena adanya Urf yang sudah dipraktikkan
dan sudah dikenal dalam kehidupan masyarakat. Contohnya seperti menyewa wanita
untuk menyusukan bayi dengan menjamin kebutuhan makan, minum dan pakaiannya.
f.
Istihsan bi
al-Dharurah (istihsan berdasarkan dharurah). Yaitu seorang
mujtahid meninggalkan keharusan pemberlakuan qiyas atas sesuatu masalah karena
berhadapan dengan kondisi dhorurat, dan mujtahid berpegang kepada ketentuan
yang mengharuskan untuk memenuhi hajat atau menolak terjadinya kemudharatan.
Misalnya dalam kasus sumur yang kemasukan najis. Menurut kaidah umum sumur
tersebut sulit dibersihkan dengan mengeluarkan seluruh air dari sumur tersebut,
karena sumur yang sumbernya dari mata air sulit dikeringkan. Akan tetapi ulama
Hanafiah mengatakan bahwa dalam keadaan seperti ini untuk menghilangkan najis
tersebut cukup dengan memasukan beberapa galon air kedalam sumur itu, karena
keadaan dharurat menghendaki agar orangtidak mendapatkan kesulitan untuk
mendapatkan air untuk ibadah.
4. Ikhtilaf
Para Ulama Tentang Istihsan
Menyikapi penggunaan Istihsan kemudian
menjadi masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Dan dalam hal ini,
terdapat dua pandangan besar yang berbeda dalam menyikapi Istihsan sebagai
salah satu bagian metode ijtihad. Imam Abu Hanifah sebagai seorang yang
menampilkan istihsan sebagai salah satu
dalil dalam istinbath hukum, mendapat serangan dan kritikan yang hebat dari
lawan-lawan yang menolak istihsan.[8]
Berikut ini adalah penjelasan tentang kedua pendapat tersebut beserta dalilnya.
a. Kelompok Yang Menerima Istihsan sebagai Dalil Hukum
Istihsan dapat
digunakan sebagai bagian dari ijtihad dan hujjah. Pendapat ini dipegangi oleh
Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah. Adapun yang menjadikan alasan bagi kelompok
ini, bahwa istihsan sebagai salah satu dalil hukum syara dan merupakan hujjah
dalam istinbath hukum adaah:
1.
Berdasarkan penelitian terhadap
berbagai kasus dan penetapan hukumnya ternyata berlawanan dengan ketentuan
qiyas atau ketentuan umum, dimana kadang-kadang dalam penerapannya terhadap
sebagian kasus tersebut justru bisa menghilangkan kemaslahatan yang dibutuhkan
oleh manusia, karena kemaslahatan itu merupakan peristiwa khusus. Maka, sangat
tepat jika membuka jalan seseorang mujtahid untuk memalingkan suatu kasus yang
seharusnya berdasarkan qiyas atau ketentuan kulli kepada ketentuan hukum yang
lain agar dapat merealisir maslahat dan menolak mafsadat.[9]
2.
Kelompok ini menggunakan dalil-dalil
Al-Qur’an dalam mempertahankan istihsan sebagai hujjah, yang mana ayat-ayat
tersebut mengacu kepada mengangkat kesulitan dan kesempitan dari umat manusia.
Diantaranya adalah firman Allah Swt.:
يريد بكم اليسرا ولا بريد بكم العسرا
.Artinya: “Allah menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. "ز
3. Menggunakan dalil sunnah sebagai berikut:
ما راه
المسلمون حسنا فهو عند الله حسن .رواه
احمد ابن حنبل
Artinya: “Apa saja yang
dipandang baik oleh umat Islam baik juga di sisi Allah “.(HR. Ahmad Ibn Hanbal)
Menurut Madzhab Maliki, istihsan adalah
salah satu metode istinbat (menyimpulkan) hukum yang diakui diambil secara induktif
(istiqro’i) dari sejumlah dalil secara keseluruhan (jumlah). Dengan demikian
orang yang menggunakan istihsan tidak berarti semata-mata mengunakan
perasaannya dan keinginannya yang subjektif, tetapi berdasarkan tujuan
(maqosid) syara’. Karena apabila kias yang diamalkan maka tujuan syarak dalam
menurunkan hukum tidak akan tercapai. Misalnya, membuka aurat untuk
keperluan pengobatan dalam rangka mencari penyembuhan suatu penyakit, apabila
kias yang diamalkan maka aurat tidak boleh dibuka untuk keperluan pengobatan,
maka upaya pengobatan tidak bisa dilakukan, dan ini berarti menimbulkan
kesulitan.
Selain itu Ia juga berpendapat bahwa
al-istihsan adalah mengambil maslahah yang merupakan bagian dalam dalil yang
bersifat kully (menyeluruh) dengan mengutamakan al-istidlal al-mursal
daripada qiyas. Dari Ta’rif di atas, jelas bahwa al-istihsan lebih mementingkan
maslahah juz’iyyah atau maslahah tertentu dibandingkan dengan dalil kully atau
dalil yang umum atau dalam kata lain sering dikatakan bahwa al-istihsan adalah
beralih dari satu qiyas ke qiyas yang lain yang dianggap lebih kuat dilihat
dari tujuan syari’at diturunkan. Tegasnya, al-istihsan selalu melihat dampak
sesuatu ketentuan hukum, jangan sampai membawa dampak merugikan tapi harus
mendatangkan maslahah atau menghindari madarat, namun bukan berarti istihsan
adalah menetapkan hukum atas dasar ra’yu semata, melainkan berpindah dari satu
dalil ke dalil yang lebih kuat yang kandungannya berbeda. Dalil kedua ini dapat
berwujud ijma’, ‘urf atau al-maslahah al-mursalah.
b. Kelompok Yang Menolak Istihsan Sebagai Dalil Hukum
Istihsan tidak dapat
dijadikan sebagai hujjah dalam berijtihad. Pendapat ini dipegangi oleh
Syafi’iyah dan Zhahiriyah. Para pendukung pendapat ini melandaskan
pendapatnya dengan dalil-dalil berikut:
1. Bahwa
syariat Islam itu terdiri dari nash al-Qur’an, al-Sunnah atau apa yang
dilandaskan pada keduanya. Sementara Istihsan bukan salah dari hal
tersebut. Karena itu ia sama sekali tidak diperlukan dalam menetapkan sebuah
hukum.
2.
Firman
Allah:
يايها الذين امنو ا اطيعو ا الله واطيعوا الرسول واولى الامر منكم. فان تنزعتم فى شىئ فردوه الى الله والرسول
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya),
Ayat ini menunjukkan kewajiban
merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya dalam menyelesaikan suatu masalah, sementara
Istihsan tidak termasuk dalam upaya merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya.
Dengan demikian, ia tidak dapat diterima.
4.
Jika seorang mujtahid dibenarkan
untuk menyimpulkan hukum dengan akalnya atas dasar Istihsan dalam
masalah yang tidak memiliki dalil, maka tentu hal yang sama boleh dilakukan
oleh seorang awam yang boleh jadi lebih cerdas dari pada sang mujtahid. Dan hal
ini tidak dikatakan oleh siapapun, karena itu seorang mujtahid tidak dibenarkan
melakukan Istihsan dengan logikanya sendiri.
5.
Istihsan adalah menetapkan hukum
berdasar maslahah. Jika maslahah itu sesuai dalam nash dibolehkan, tetapi
maslahah yang dijadikan pedoman dalam istihsan adalan maslahah menurut para
ulama'.
6.
Rosulullah SAW ketika menghukumi
persoalan yang belum ada dalam al Qur'an tidak menggunakan istihsan, melainkan
menunggu turunnya wahyu.
7.
Ibn Hazm (w. 456 H) mengatakan:
“Para sahabat telah berijma’ untuk tidak menggunakan ra’yu, termasuk di
dalamnya Istihsan dan qiyas. Umar bin al-Khathab radhiyallahu ‘anhu mengatakan:
‘Jauhilah para pengguna ra’yu! Karena mereka adalah musuh-musuh Sunnah...’ ....”
Selain Imam
Syafi’i kalangan ulama zhahiriyah juga menolak penggunaan qiyas secara prinsip,
demikian pula ulama syi’ah dan sebagian ulama kalam mu’tazilah karena mereka
tidak menerima qiyas, maka dengan sendrinya mereka pun menolak istihsan karena
kedudukan istihsan dalam posisinya sebagai dalil hukum adalah lebih rendah dari
qiyas
Selain dari kalangan ulama
zhahiriyah yang sependapat dengan imam syafi’i ada juga para ulama yang menolak
istihsan dengan alasan yang dituntut dari kaum muslimin untuk diikuti adalah
hukum yang ditetapkan Allah atau yang ditetapkan Rasul atau hukum yang di
qiyaskan kepada hukum Allah dan hukum Rasul itu. Sedangkan hukum yang
ditetapkan berdasarkan apa yang di anggap baik oleh mujtahid adalah hukum
buatan manusia dan bukan hukum syar’i.[10]
Demikianlah dua pendapat para ulama
dalam menyikapi hujjiyah Istihsan dalam Fiqih Islam beserta beberapa
dalil dan argumentasi mereka masing-masing. Lalu manakah yang paling kuat dari
kedua pendapat tersebut?
Jika kita mencermati pandangan dan dalil pendapat yang pertama, kita
akan menemukan bahwa pada saat mereka menetapkan Istihsan sebagai salah
satu sumber hukum, hal itu tidak serta merta berarti mereka membebaskan akal
dan logika sang mujtahid untuk melakukannya tanpa batasan yang jelas.
Setidaknya ada 2 hal yang harus dipenuhi dalam proses Istihsan:
ketiadaan nash yang sharih dalam masalah dan adanya sandaran yang kuat
atas Istihsan tersebut (sebagaimana akan dijelaskan dalam “Jenis-jenis Istihsan).
Dan jika kita kembali mencermati
pandangan dan argumentasi ulama yang menolak Istihsan, kita dapat
melihat bahwa yang mendorong mereka menolaknya adalah karena kehati-hatian dan
kekhawatiran mereka jika seorang mujtahid terjebak dalam penolakan terhadap
nash dan lebih memilih hasil olahan logikanya sendiri. Dan kekhawatiran ini
telah terjawab dengan penjelasan sebelumnya, yaitu bahwa Istihsan sendiri
mempunyai batasan yang harus diikuti. Dengan kata lain, para pendukung pendapat
kedua ini sebenarnya hanya menolak Istihsan yang hanya dilandasi oleh
logika semata, tanpa dikuatkan oleh dalil yang lebih kuat.
C.
Istishab
1. Pengertian Istishab
Istishab menurut
etimologi berasal dari kata istishaba dalam sighat istif’al (اِسْتِفْعَالِ)
yang bermakna: اِسْتِمْرَارُ
الصَّحَبَهْ. Kalau kata الصَّحَبَهْ diartikan
dengan sahabat atau teman dan اِسْتِمْرَارُ diartikan selalu atau terus menerus,
maka istishab secara lughawi artinya selalu menemani atau selalu
menyertai. Atau diartikan dengan minta bersahabat, atau membandingkan
sesuatu dan mendekatkannya, atau pengakuan adanya perhubungan atau
mencari sesuatu yang ada hubunganny [11].Dan
disebutkan juga bahwa istishab berasal dari kata shuhbah artinya “menemani atau
menyerta”, dalam artian menurut kebersamaan atau “terus menerusnya bersama”.sebagaimana yang dikatakan oleh para ahli bahasa
dengan mengatakan:
2.
كُلُّ شَيْءٍ
لَازَمَ شَيْئَا فَقَدْ اِسْتِصْحَبَه
Artinya: “Segala
sesuatu yang menetapi pada sesuatu, maka ia menemani atau menyertainya”.
Dari
pengertian yang lain, menurut bahasa perkataan Istishab diambil dari
perkataan “Istishhabtu maa kaana fil maadhi,” artinya “saya membawa
serta apa yang telah ada waktu yang lampau sampai sekarang.
Menurut
Istilah Usul, Istishhab ialah melanjutkan berlakunya hukum yang telah
ada dan yang telah ditetapkan karena sesuatu dalil, sampai ada dalil lain yang
mengubah kedudukan hukum tersebut. Atau dengan perkataan lain; Istishhab ialah
menganggap hukum sesuatu soal yang telah ada menyertai tetap soal tersebut,
sampai ada dalil yang memutuskan adanya penyertaan tersebut. Kalau sesuatu
dalil syara` menetapkan adanya sesuatu hukum pada sesuatu waktu yang telah
lewat dan menetapkan pula berlakunya untuk seterusnya, maka hukum tersebut
tetap berlaku, tanpa diragukan lagi. Seperti firman Allah: “Jangan kamu
terima persaksian mereka selamanya.”. Akan tetapi kalau dalil tersebut
hanya menetapkan adanya hukum saja, pada waktu yang telah lampau, tanpa
menyinggung-nyinggung tetap berlakunya, maka apakah hukum tersebut dianggap
telah berlaku atau tidak?.Sedang menurut
istilah ditemukan beberapa redaksi dari para ahli yang mendefinisikannya,
diantaranya adalah:
Imam al- Asnawy:
اَنَّ
اْلِإسْتِصْحَابَ عِبَارَةٌ عَنِ اْلحُكْمِ يُثْبِتُوْنَ اَمْرًا فِى الزَّمَانِ
الثَّانِى بِنَاءً عَلَى ثُبُوْتِهِ فِى الزَّمَانِ الأَوَّلِ لِعَدَمِ وُجُوْدِ
مَايَصْلُحُ ِللتَّغَيُّر
“Istishab adalah melanjutkan
berlakunya hukum yang sudah ada dan sudah ditetapkan ketetapan hukumnya,
lantaran sesuatu dalil sampai ditemukan dalil lain yang mengubah ketentuan
hukum tersebut
Istishab diartikan Hasby Ash-Shiddiqy
dengan:
اِبْقَاءُ
مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ عَلَيْهِ لِانْدَامِ اْلُمغَيِّرِ (اِعتِقَادُ كَوْنِ الشَّئِ
فِى اْلمَاضِى اَوِ الْحَاضِرِ
(يُوْجِبُ ِظَنَّ ثُبُوْتِهِ فِى اْلحَالِ
اَوِاْلإِسْتِقْبَاِلِ
“Mengekalkan apa yang telah ada atas
keadaan yang telah ada, karena tidak ada yang mengubah hukum, atau karena
sesuatu hal yang belum diyakini.
Dari
pengertian yang lain juga disebutkan, istishab berasal dari bahasa Arab ialah:
pengakuan adanya perhubungan. Sedangkan dari kalangan ulama` (ahli) ushul fiqih
Istishab menurut istilah adalah menetapkan hukum atas sesuatu
berdasarkan keadaan sebelumnya, sehingga ada dalil yang menunjukkan atas
perubahan keadaan tersebut. Atau menetapkan hukum yang telah tetap pada masa
yang lalu dan masih tetap pada keadaannya itu, sehingga ada dalil yang
menunjukkan atas perubahannya.
Adapun definisi Istishab menurut Al Ghazali adalah berpegang pada dalil
akal atau syara`, bukan didasarkan karena tidak mengetahui adanya dalil, tetapi
setelah dilakukan pembahasan dan penelitian cermat, diketahui tidak ada dalil
yang mengubah hukum yang telah ada. Atau tetap berpegang kepada hukum yang
telah ada dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil yang mengubah
hukum tersebut, atau menyatakan tetapnya hukum pada masa yang lalu, sampai ada
dalil yang mengubah ketetapan hukum itu.
Menurut Ibnu Qayyim, istishab
adalah menyatakan tetap berlakunya hukum yang telah ada dari suatu peristiwa,
atau menyatakan belum adanya hukum suatu peristiwa yang belum pernah ditetapkan
hukumnya. Menurut Asy Syatibi, istishab adalah segala ketetapan
yang telah ditetapkan pada masa yang lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya
pada masa sekarang.
Dari beberapa pengertian di atas,
maka dapat ditarik sebuah ikhtisar bahwa istishab adalah:
a. Segala
hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau, dinyatakan tetap berlaku pada
masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya. Contohnya adalah
sebagai berikut: Seseorang yang mulanya ada wudhu, kemudian datang was-was
dalam hatinya, bahwa boleh jadi dia telah mengeluarkan angin yang membatalkan
wudhunya. Dalam kondisi begini, hendaklah ia menetapkan hukum semula, yaitu ada
wudhu. Dan was-was yang datang belakangan itu, tidak boleh mengubah hukum yang
semula.
b. Segala
hukum yang ada pada masa sekarang, tentu telah ditetapkan pada masa yang lalu
Contohnya
adalah sebagai berikut: Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dengan
perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada di tempat berjauhan selama 15
tahun. Karena telah lama berpisah itu, maka B ingin kawin dengan
laki-laki C. Karena dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia telah
terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan hukum tali perkawinan
walaupun mereka telah lama berpisah. [12]
2. Macam-macam Istishab
Para ulama
ushul Fiqih mengemukakan bahwa istishab itu ada lima macam. [13]Yaitu:
a.
Istishab hukm al- ibahah al ashliyah. Maksudnya,
menetapkan hukum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh, selama
belum ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Contohnya: seluruh pepohonan
yang ada dihutan merupakan milik bersama manusia dan masing-masing berhak
menebang dan mengambil manfaatkan pohon dan buahnya, sampai pada bukti yang
menunjukkan bahwa hutan itu telah menjadi milik orang.
b.
Istishab Al-Bara`at Al Ashliyat. Yaitu
kontinuitas hukum dasar ketiadaan berdasarkan argumentasi rasio dalam konteks
hukum-hukum syar’i. Maksudnya memberlakukan kelanjutan status ketiadaan dengan
adanya peniadaan yang dibuat oleh akal lantaran tidak adanya dalil syar’i yang
menjelaskannya. Dalam objektivitasnya, istishab
tersebut bereferensi kepada hukum akal dalam hukum ibadah atau baraatul
ashliyah (kemurnian menurut aslinya). Akal menetapkan bahwa dasar hukum pada segala
yang diwajibkan adalah dapat diwajibkan sesuatu, kecuali apabila datang dalil
yang tegas mewajibkannya. Contoh: hukum wudhu seseorang dianggap berlangsung
terus sampai adanya penyebab yang membatalkannya.
c.
Istishab Al-‘Umumi. Istishab
terhadap dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil yang mengkhususkannya
dan istishab dengan nash selama tidak ada dalil yang naskh (yang
membatal-kannya). Suatu nash yang umum mencakup segala yang dapat
dicakup olehnya sehingga datang suatu nash lain yang menghilangkan
tenaga pencakupannya itu dengan jalan takhsish. Atau sesuatu hukum yang
umum, tidaklah dikecualikan sesuatupun daripadanya, melainkan dengan ada suatu dalil
yang khusus. Contohnya: kewajiban puasa di Bulan Ramadhan yang berlaku bagi
umat sebelum Islam, tetap wajib wajib bagi umat Islam (QS.Al-Baqarah : 183)
selama tidak ada nash lain yang membatalkannya.
d.
Istishab An-Nashshi (Istishab
Maqlub/Pembalikan). Yaitu istishab pada kondisi sekarang dalam menentukan
status hukum pada masa lampau, sebab istishab pada bentuk-bentuk sebelumnya,
merupakan penetatapan sesuatu pada masa kedua berdasarkan ketetapannya pada
masa pertama lantaran tidak ditemukannya dalil secara spesifik. Urgensinya,
dalam suatu dalil (nash) terus-menerus berlaku sehingga di-nasakh-kan
oleh sesuatu nash, yang lain. Contoh: kasus
adanya seseorang yang sedang dihadapkan pertanyaan, apakah Muhammad kemarin
berada di tempat ini?, padahal kemarin ia benar-benar melihat Muhammad disini.
Maka ia jawab, benar ia berada disini kemarin.
e.
Istishab Al-Washfi Ats-Tsabiti. Sesuatu
yang telah diyakini adanya, atau tidak adanya masa yang telah lalu, tetaplah
hukum demikian sehingga diyakini ada perubahannya. Disebut pula dengan istishabul
madhi bilhali yakni menetapkan hukum yang telah lalu sampai kepada masa
sekarang. Yaitu
istishab terhadap hukum yang dihasilkan dari ijma’ dalam kasus yang dalam
perkembangannya memicu terjadinya perselisihan pendapat. Contoh: Kasus orang
yang bertayamum, dalam pertengahan shalat melihat air. Menurut ijma’ ditetapkan
shalatnya tidak batal, keabsahan shalat itu ditentukan sebelum melihat air. Hal
ini menunjukkan pula pada keberlanjutan ketetapan hukum, sampai ditemukan
adanya dalil yang menunjukkan batalnya penetapan tersebut.
3.
Kedudukan Istishab Sebagai Sumber
Hukum Islam
Para Ulama
Ushul Fiqih berbeda pendapat tentang kehujjahan Istishab ketika tidak ada dalil
syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi.[14]
Pertama, menurut
mayoritas mutakallimin (ahli kalam), istishab tidak bisa dijadikan dalil.
Karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya dalil.
Demikian juga untuk menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan yang akan
datang. Istishab bukanlah dalil, karenanya menetapkan hukum yang ada pada masa
lampau berlangsung terus untuk masa yang akan datang, berarti menetapkan suatu
hukum tanpa dalil. Hal ini sama sekali tidak dibolehkan dalam syara’.
Kedua, menurut
mayoritas ulama Hanafiah, khususnya mutaakhirin, istishab bisa dijadikan hujjah
untuk menetapkan hukum yang telah ada sebelumnya dan menganggap hukum itu tetap
berlaku pada masa yang akan datang, tetapi tidak bisa menetapkan hukum yang
akan ada. Alasan mereka seorang mujtahid dalam meneliti hukum suatu masalah
yang sudah ada, mempunyai gambaran bahwa hukumnya sudah ada atau sudah di
batalkan. Akan tetapi ia tidak mengetahui atau tidak menemukan dalil yang
menyatakan bahwa hukum itu sudah dibatalkan. Dalam kaitan ini, mujtahid tersebut harus berpegang kepada hukum yang sudah ada,
karena ia tidak mengetahui adanya dalil yang membatalkan hukum itu. Namun
penetapan ini hanya berlaku pada kasus yang sudah ada hukumnya dan tidak
berlaku bagi kasus yang akan ditetapkan hukumnya. Artinya, stishab hanya bisa
dijadikan hujjah untuk mempertahankan hukum yang sudah ada, selama tidak ada
dalil yang membatalkan hukum itu, tetapi tidak berlaku untuk menetapkan hak
yang baru muncul.
Ketiga, ulama
Malikiyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, zhahiriyah dan syiah berpendapat bahwa
istishab bisa dijadikan hujjah secara mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah
ada, selama belum ada dalil yang mengubahnya. Alasannya adalah, sesuatu yang
telah ditetapkan pada masa lalu, selama tidak ada dalil yang mengubahnya, baik secara
qath’i maupun zhanni, maka semestinya hukum yang telah ditetapkan itu berlaku
terus, karena di duga keras belum ada perubahan. Alasan yang menunjukkan
berlakunya berlakunya syari’at di zaman Rasulullah Saw sampai hari kiamat
adalah menduga keras berlakunya syariat itu sampai sekarang, tanpa ada dalil
yang menasakh-kannya.
4. Kaidah-kaidah Istishab
Para ulama
fiqih menetapkan beberapa kaidah umum yang didasarkan kepada istishab,
diantaranya adalah:
a.
الاصل بقاء
ما كان على ما كان حتى يثبت ما يغيره
Maksudnya,
pada dasarnya seluruh hukum yang sudah ada dianggap berlaku terus sampai
ditemukan dalil yang menunjukkan hukum itu tidak berlaku lagi. Contohnya: adalah kasus orang yang hilang
diatas.
b.
الاصل فى
الأشياء الأباحة
Maksudnya,
pada dasarnya dalam hal-hal yang sifatnya bermanfaat bagi manusia hukumnya
adalah boleh dimanfaatkan. Melalui kaidah ini, maka seluruh akad dianggap sah,
selama tidak ada dalil yang menunjukkan hukumnya batal; sebagaimana juga pada
sesuatu yang tidak ada dalil syara’yang melarangnya, maka hukumnya adalah
boleh.
c.
اليقين
لايزال بالسك
Maksudnya,
suatu keyakinan tidak bisa dibatalkan oleh sesuatu yang diragukan. Melalui
kaidah ini, maka seseorang yang telah
berwudu, apabila merasa ragu akan wudunya itu apakah telah batal atau
belum, maka ia harus berpegang kepada keyakinanya bahwa ia telah berwudu, dan
wudunya tetap sah. Tetapi ulama Malikiyah melakukan pengecualian dalam masalah
shalat. Menurutnya apabila keraguan tersebut berkaitan dengan shalat, maka
kaidah ini tidak berlaku. Oleh sebab itu, apabila seseorang ragu dalam masalah
wudunya, maka ia wajib berwudu kembali.
d.
الأصل فى الذ
مة البراءة من التكاليف والحقوق
Maksudnya,
pada dasarnya seseorang tidak dibebani tanggung jawab sebelum adanya dalil yang
menetapkan tanggung jawab seseorang. Oleh sebab itu, seseorang tergugat dalam
kasus apapun tidak bisa dinyatakan bersalah sebelum adanya pembuktian yang kuat
dan meyakinkan bahwa ia bersalah.[15]
D.
Maslahah
Mursalah
1.
Pengertian
Maslahah Mursalah
Kata mashlahah memiliki dua arti,[16]
yaitu: maslahah berarti manfa’at baik secara timbangan kata yaitu sebagai
masdar, maupun secara makna dan Maslahah fi’il (kata kerja) yang mengandung
ash-Shalah yang bermakna an-naf’u. Dengan demikian, mashlahah jika melihat arti
ini merupakan lawan kata dari mafsadah. Maslahat kadang-kadang disebut pula
dengan ( الاستصلاح ) yang berarti mencari yang baik ( طلب
الاصلاح).
Menurut istilah ulama ushul ada bermacam-macam ta`rif yang
diberikan di antaranya: Imam Ar-Razi
mendefinisikan mashlahah[17]
yaitu perbuatan yang bermanfaat yang
telah ditujukan oleh syari’ (Allah) kepada hamba-Nya demi memelihara dan
menjaga agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya dan harta bendanya. Imam
Al-Ghazali [18]
mendefinisikan sebagai berikut: Maslahah pada dasarnya ialah meraih manfaat dan
menolak madarat. Selanjutnya is menegaskan maksud dari statemen di atas bahwa
maksudnya adalah menjaga maqasid as-syari’ah yang lima, yaitu agama, jiwa,
akal, nasab, dan harta. Selanjutnya ia menegaskan, setiap perkara yang ada
salah satu unsur dari maqashid as-syari’ah maka ia disebut mashlahah.
Sebaliknya jika tidak ada salah satu unsur dari maqashid as-syari’ah, maka ia
merupakan mafsadat, sedang mencegahnya adalah mashlahah.
Berdasarkan
beberapa definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpuan bahwa mashlahah
mursalah merupakan suatu metode ijtihad dalam rangka menggali hukum (istinbath)
Islam, namun tidak berdasarkan pada nash tertentu, namun berdasarkan kepada
pendekatan maksud diturunkannya hukum syara’ (maqashid as-syari’ah).
Kemaslahatan yang menjadi tujuan syara’ bukan kemaslahatan yang semata-mata
berdasarkan keinginan dan hawa nafsu saja. Sebab tujuan pensyari’atan hukum
tidak lain adalah untuk merealisasikan kemaslahatan manusia dalam segala aspek
kehidupan dunia agar terhindar dari berbagai bentuk kerusakan. Penetapan hukum
Islam melalui pendekatan masqashid asy-syari’ah merupakan salah satu bentuk
pendekatan dalam menetapkan hukum syara’ selain melalui pendekatan kebahasaan
yang sering digunakan oleh para ulama. Jika dibandingkan dengan penetapan hukum
Islam melalui pendekatan masqashid asy-syari’ah dengan penetapan hukum Islam
melalui pendekatan kaidah kebahasaan, maka pendekatan melalui maqashid
asy-syari’ah dapat membuat hukum Islam lebih fleksibel, luwes karena pendekatan
ini akan menghasilkan hukum Islam yang bersifat kontekstual. Sedangkan
pengembangan hukum Islam melalui kaidah kebahasaan akan menghilangkan jiwa
fleksibilitas hukum Islam. Hukum Islam akan kaku (prigid) sekaligus akan
kehilangan nuansa kontekstualnya.[19]
2.
Syarat-syarat Maslahah Mursalah
Golongan yang mengakui kehujjahan
maslahah mursalah dalam pembentukan hukum (Islam) telah mensyaratkan sejumlah
syarat tertentu yang dipenuhi, sehingga maslahah tidak bercampur dengan hawa
nafsu, tujuan, dan keinginan yang merusakkan manusia dan agama. Sehingga
seseorang tidak menjadikan keinginannya sebagai ilhamnya dan menjadikan
syahwatnya sebagai syari`atnya. Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:
a.
Maslahah
itu harus hakikat, bukan dugaan, Ahlul hilli wal aqdi dan mereka yang mempunyai
disiplin ilmu tertentu memandang bahwa pembentukan hukum itu harus didasarkan
pada maslahah hakikiyah yang dapat menarik manfaat untuk manusia dan dapat
menolak bahaya dari mereka. Maka maslahah-maslahah yang bersifat dugaan,
sebagaimana yang dipandang sebagian orang dalam sebagian syari`at, tidaklah
diperlukan, seperti dalih mashlahah yang dikatakan dalam soal larangan bagi
suami untuk menalak isterinya, dan memberikan hak talak tersebut kepada hakim
saja dalam semua keadaan. Sesungguhnya pembentukan hukum semacam ini menurut
pandangan kami tidak mengandung terdapat maslahah. Bahkan hal itu dapat
mengakibatkan rusaknya rumah tangga dan masyarakat, hubungan suami dengan
isterinya ditegakkan di atas suatu dasar paksaan undang-undang, tetapi bukan atas
dasar keikhlasan, kasih sayang, dan cinta-mencintai.
b.
Maslahah
harus bersifat umum dan menyeluruh, tidak khusus untuk orang tertentu dan tidak
khusus untuk beberapa orang dalam jumlah sedikit. Imam-Ghazali memberi contoh
tentang maslahah yang bersifat menyeluruh ini dengan suatu contoh: orang kafir
telah membentengi diri dengan sejumlah orang dari kaum muslimin. Apabila kaum
muslimin dilarang membunuh mereka demi memelihara kehidupan orang Islam yang
membentengi mereka, maka orang kafir akan menang, dan mereka akan memusnahkan
kaum muslimin seluruhnya. Dan apabila kaum muslimin memerangi orang islam yang
membentengi orang kafir maka tertolaklah bahaya ini dari seluruh orang Islam
yang membentengi orang kafir tersebut. Demi memlihara kemaslahatan kaum muslimin
seluruhnya dengan cara melawan atau memusnahkan musuh-musuh mereka.
c.
Maslahah
itu harus sejalan dengan tujuan hukum-hukum yang dituju oleh syari`.Maslahah tersebut
harus dari jenis maslahah yang telah didatangkan oleh Syari`. Seandainya tidak
ada dalil tertentu yang mengakuinya,
maka maslahah tersebut tidak sejalan
dengan apa yang telah dituju oleh Islam.
3.
Macam-macam
Maslahah Mursalah
Maslahat dari segi pembagiannya dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu dilihat dari segi tingkatan dan eksistensinya. Dari segi tingkatan kepada tiga bagian,[20] yaitu:
a. Maslahah dharuriyah (Primer).
Maslahat dari segi pembagiannya dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu dilihat dari segi tingkatan dan eksistensinya. Dari segi tingkatan kepada tiga bagian,[20] yaitu:
a. Maslahah dharuriyah (Primer).
Maslahah dharuriyah adalah perkara
- perkara yang menjadi tempat tegaknya kehidupan manusia, yang bila ditinggalkan,
maka rusaklah kehidupan
manusia, timbullah fitnah, dan kehancuran yang hebat.
Perkara-perkara ini dapat dikembalikan kepada lima perkara, yang merupakan perkara pokok yang harus
dipelihara, yaitu:
1) Jaminan keselamatan jiwa (al-muhafadzah alan-nafs)
1) Jaminan keselamatan jiwa (al-muhafadzah alan-nafs)
2) Jaminan keselamatan akal (al-muhafadzhoh
alal-aql)
3) Jaminan keselamatan keluarga dan keturunan (al-muhafadzoh alan-nasl)
4) Jaminan keselamatan harta benda (al-muhafadzoh alal-maal)
5) Jaminan keselamatan agama/kepercayaan (al-muhafadzoh alad-diin)
Kemaslahatan dalam taraf ini mencakup lima prinsip dasar universal dari pensyari’atan atau disebut juga dengan konsep maqosidus syar’i. Jika hal ini tidak terwujud maka tatakehidupan akan timpang kebahagiaan akhirat tak tercapai bahkan siksaan akan mengancam. Oleh karena itu kelima macam maslahat ini harus dipelihara dan dilindungi.
b. Maslahah Hajjiyah (Sekunder).
3) Jaminan keselamatan keluarga dan keturunan (al-muhafadzoh alan-nasl)
4) Jaminan keselamatan harta benda (al-muhafadzoh alal-maal)
5) Jaminan keselamatan agama/kepercayaan (al-muhafadzoh alad-diin)
Kemaslahatan dalam taraf ini mencakup lima prinsip dasar universal dari pensyari’atan atau disebut juga dengan konsep maqosidus syar’i. Jika hal ini tidak terwujud maka tatakehidupan akan timpang kebahagiaan akhirat tak tercapai bahkan siksaan akan mengancam. Oleh karena itu kelima macam maslahat ini harus dipelihara dan dilindungi.
b. Maslahah Hajjiyah (Sekunder).
Maslahah hajjiyah
ialah, semua bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak terkait dengan dasar yang lain (yang ada pada maslahah
dharuriyah) yang dibutuhkan oleh masyarakat tetap juga terwujud, tetapi dapat
menghindarkan kesulitan
dan menghilangkan kesempitan. Hajjiyah ini tidak rusak dan terancam, tetapi
hanya menimbulkan kepicikan dan kesempitan, dan hajjiyah ini berlaku
dalam lapangan ibadah, adat, muamalat, dan
dan bidang jinayat.
Termasuk kategori hajjiyat dalam perkara mubah ialah diperbolehkannya
sejumlah bentuk transaksi yang dibutuhkan oleh
manusia
dalam bermu’amalah, seperti akad muzaro’ah,
musaqoh, salam
maupun murobahah. Contoh lain dalam hal ibadah ialah bolehnya berbuka
puasa bagi musafir, dan orang Termasuk
dalam hal hajjiyah ini, memelihara kemerdekaan
pribadi, kemerdekaan
beragama. Sebab dengan adanya
kemerdekaan pribadi dan kemerdekaan beragama, luaslah gerak langkah
hidup
manusia. Melarang / mengharamkan rampasan dan penodongan termasuk juga dalam hajjiyah.
c. Maslahah tahsiniyah atau kamaliyat (Pelengkap/tersier)
Maslahah tahsiniyah ialah mempergunakan semua yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik dan dicakup oleh bagian mahasinul akhlak.
Kemaslahatan ini lebih mengacu pada keindahan saja ( زينة للحياة) sifatnya hanya untuk kebaikan dan kesempurnaan. Sekiranya tidak dapat diwujudkan atau dicapai oleh manusia tidaklah sampai menyulitkan atau merusak tatanan kehidupan mereka, tetapi ia dipandang penting dan dibutuhkan. Tahsiniyah juga masuk dalam lapanganan ibadah, adat, muamalah, dan bidang uqubah. Lapangan ibadah misalnya kewajiban bersuci dari najis, menutup aurat, memakai pakaian yang baik-baik ketika akan shalat mendekatkan diri kepada Allah melalui amalan-amalan sunah, seperti shalat sunah, puasa sunah, bersedekah dan lain-lain.
Lapangan adat, seperti menjaga adat makan, minum, memilih makanan-makanan yang baik-baik dari yang tiak baik/bernajis. Dalam lapangan muamalah, misalnya larangan menjual benda – benda yang bernajis, tidak memberikan sesuatu kepada orang lain melebihi dari kebutuhannya. Dalam lapangaan uqubat, misalnya dilarang berbuat curang dalam timbangan ketika berjual beli, dalam peperangan tidak boleh membunuh wanita, anak-anak, pendeta, dan orang-orang yang sudah lanjut usia.
Di antara contoh tahsiniyat yang berkaitan dengan harta ialah diharamkannya memalsu barang. Perbuatan ini tidak menyentuh secara langsung harta itu sendiri (eksistensinya), tetapi menyangkut kesempurnaanya. Hal itu berlawanan kepentingan dengan keinginan membelanjakan harta secara terang dan jelas. Jelaslah bahwa dalam hal itu tidak membuat cacat terhadap pokok harta (ashul mal), akan tetapi berbenturan dengan kepentingan orang yang membelanjakan hartanya, yang mungkin masih bisa dihindari dangan jalan ihtiyath. Seperti juga contoh pensyari ‘atan thoharoh sebelum shalat, anjuran berpakaian dan berpenampilan rapih pengharaman makanan-makanan yang tidak baik dan hal-hal serupa lainnya.
c. Maslahah tahsiniyah atau kamaliyat (Pelengkap/tersier)
Maslahah tahsiniyah ialah mempergunakan semua yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik dan dicakup oleh bagian mahasinul akhlak.
Kemaslahatan ini lebih mengacu pada keindahan saja ( زينة للحياة) sifatnya hanya untuk kebaikan dan kesempurnaan. Sekiranya tidak dapat diwujudkan atau dicapai oleh manusia tidaklah sampai menyulitkan atau merusak tatanan kehidupan mereka, tetapi ia dipandang penting dan dibutuhkan. Tahsiniyah juga masuk dalam lapanganan ibadah, adat, muamalah, dan bidang uqubah. Lapangan ibadah misalnya kewajiban bersuci dari najis, menutup aurat, memakai pakaian yang baik-baik ketika akan shalat mendekatkan diri kepada Allah melalui amalan-amalan sunah, seperti shalat sunah, puasa sunah, bersedekah dan lain-lain.
Lapangan adat, seperti menjaga adat makan, minum, memilih makanan-makanan yang baik-baik dari yang tiak baik/bernajis. Dalam lapangan muamalah, misalnya larangan menjual benda – benda yang bernajis, tidak memberikan sesuatu kepada orang lain melebihi dari kebutuhannya. Dalam lapangaan uqubat, misalnya dilarang berbuat curang dalam timbangan ketika berjual beli, dalam peperangan tidak boleh membunuh wanita, anak-anak, pendeta, dan orang-orang yang sudah lanjut usia.
Di antara contoh tahsiniyat yang berkaitan dengan harta ialah diharamkannya memalsu barang. Perbuatan ini tidak menyentuh secara langsung harta itu sendiri (eksistensinya), tetapi menyangkut kesempurnaanya. Hal itu berlawanan kepentingan dengan keinginan membelanjakan harta secara terang dan jelas. Jelaslah bahwa dalam hal itu tidak membuat cacat terhadap pokok harta (ashul mal), akan tetapi berbenturan dengan kepentingan orang yang membelanjakan hartanya, yang mungkin masih bisa dihindari dangan jalan ihtiyath. Seperti juga contoh pensyari ‘atan thoharoh sebelum shalat, anjuran berpakaian dan berpenampilan rapih pengharaman makanan-makanan yang tidak baik dan hal-hal serupa lainnya.
Dilihat dari segi
eksistensi atau wujudnya para ulama ushul, juga membagi mashlaha menjadi
tiga macam, yaitu:
a. Maslahat Mu’tabarah
Mashlalah mu’tabarah ialah kemashlahatan yang terdapat dalam nash yang secara tegas menjelaskan dan mengakui kebenarannya. Dengan kata lain yakni kemaslahatan yang diakui oleh syar’i dan terdapatnya dalil yang jelas, sebagaimana disebutkan oleh Muhammad al – Said Ali Abd. Rabuh [21]. Yang masuk dalam mashlahat ini adalah semua kemaslahatan yang dijelaskan dan disebutkan oleh nash, seperti memelihara agama, jiwa, keturunan dan harta benda, yang selanjutnya kita sebut dengan maqashid asy-syari’ah. Oleh karena itu, Allah Swt telah menetapkan agar berusaha dengan untuk melindungi agama, melakukan qishas bagi pembunuhan, menghukum pemabuk demi pemeliharaan akal, menghukum pelaku zina dan begitu pula menghukum pelaku pencurian. Seluruh ulama sepakat bahwa semua maslahat yang dikategorikan maslahah mu’tabarah wajib ditegakkan dalam kehidupan, karena dilihat dari segi tingkatan ia merupakan kepentingan pokok yang wajib ditegakkan.
b. Maslahat Mulgah
Yang dimaksud dengan maslahat mulghah ini ialah maslahat yang bertentangan dengan ketentuan nash. Dengan kata lain, maslahat yang tertolak karena ada dalil yang menunjukkan bahwa ia bertentangan dengan dalil yang jelas. Dapat disimpulkan juga bahwa syara’ menyikapi maslahat ini dengan menolak sebagai variabel penetap hukum (illat). Contoh: menyamakan pembagian warisan antara seorang perempuan dengan saudara laki-lakinya. Penyamakan ini memang banyak maslahatnya namun berlawanan dengan ketentuan nash. Namun penyamakan ini dengan alasan kemaslahatan, penyelesaian kasus seperti inilah yang disebut dengan Maslahat Mulgoh. Seperti juga kasus bentuk sanksi kafarat bagi orang yang menggauli istrinya di siang hari pada bulan Ramadhan yang terdiri dari tiga macam kafarat. Menurut konsep kaffarat ini dogmatik yang menghendaki adanya kemaslahatan berupa tindakan jera ( al-zajr) tanpa mempertimbangkan maslahat lainnya maka tidak diragukan bahwa menurut sebagian orang ia tidak dapat dijadikan illat hukum karena bertentangan dengan ketentuan syara’. Jadi kafarat ini harus dilakukan secara berurutan Lain halnya dengan pendapat Imam Malik ia mengatakan boleh memilih diantara ketiga kafarat itu dengan tujuan demi kemaslahatan yang lebih tepat.
a. Maslahat Mu’tabarah
Mashlalah mu’tabarah ialah kemashlahatan yang terdapat dalam nash yang secara tegas menjelaskan dan mengakui kebenarannya. Dengan kata lain yakni kemaslahatan yang diakui oleh syar’i dan terdapatnya dalil yang jelas, sebagaimana disebutkan oleh Muhammad al – Said Ali Abd. Rabuh [21]. Yang masuk dalam mashlahat ini adalah semua kemaslahatan yang dijelaskan dan disebutkan oleh nash, seperti memelihara agama, jiwa, keturunan dan harta benda, yang selanjutnya kita sebut dengan maqashid asy-syari’ah. Oleh karena itu, Allah Swt telah menetapkan agar berusaha dengan untuk melindungi agama, melakukan qishas bagi pembunuhan, menghukum pemabuk demi pemeliharaan akal, menghukum pelaku zina dan begitu pula menghukum pelaku pencurian. Seluruh ulama sepakat bahwa semua maslahat yang dikategorikan maslahah mu’tabarah wajib ditegakkan dalam kehidupan, karena dilihat dari segi tingkatan ia merupakan kepentingan pokok yang wajib ditegakkan.
b. Maslahat Mulgah
Yang dimaksud dengan maslahat mulghah ini ialah maslahat yang bertentangan dengan ketentuan nash. Dengan kata lain, maslahat yang tertolak karena ada dalil yang menunjukkan bahwa ia bertentangan dengan dalil yang jelas. Dapat disimpulkan juga bahwa syara’ menyikapi maslahat ini dengan menolak sebagai variabel penetap hukum (illat). Contoh: menyamakan pembagian warisan antara seorang perempuan dengan saudara laki-lakinya. Penyamakan ini memang banyak maslahatnya namun berlawanan dengan ketentuan nash. Namun penyamakan ini dengan alasan kemaslahatan, penyelesaian kasus seperti inilah yang disebut dengan Maslahat Mulgoh. Seperti juga kasus bentuk sanksi kafarat bagi orang yang menggauli istrinya di siang hari pada bulan Ramadhan yang terdiri dari tiga macam kafarat. Menurut konsep kaffarat ini dogmatik yang menghendaki adanya kemaslahatan berupa tindakan jera ( al-zajr) tanpa mempertimbangkan maslahat lainnya maka tidak diragukan bahwa menurut sebagian orang ia tidak dapat dijadikan illat hukum karena bertentangan dengan ketentuan syara’. Jadi kafarat ini harus dilakukan secara berurutan Lain halnya dengan pendapat Imam Malik ia mengatakan boleh memilih diantara ketiga kafarat itu dengan tujuan demi kemaslahatan yang lebih tepat.
c. Maslahah Mursalah.
Yang dimaksud dengan mashlahah mursalah ialah maslahat yang secara eksplisit tidak ada satu dalil pun yang mengakuinya ataupun menolaknya. Maslahat ini merupakan maslahat yang sejalan dengan tujuan syara’ yang dapat dijadikan dasar pijakan dalam mewujudkan kebaikan yang dihajatkan oleh manusia serta terhindar dari kemudhorotan. Karena tidak ditemukan variabel yang menola ataupun mengakuinya maka para ulama berselisih pendapat mengenai kebolehannya dijadikan illat hukum. Kalangan Malikiyyah menyebutnya maslahah mursalah, Al-Ghozali menyebutnya istishlah, para pakar ushul fiqih menyebutnya al-munasib al-mursal al-mula’im, sebagian ulama menyebutnya al-istidlal al-mursal, sementara Imam Haromain dan Ibnu Al-Sam’ani memutlakkannya dengan istidlal saja.
Golongan yang mengakui kehujjahan maslahah mursalah dalam pembentukan hukum (Islam) telah mensyaratkan sejumlah syarat tertentu yang dipenuhi, sehingga maslahah tidak bercampur dengan hawa nafsu, tujuan, dan keinginan yang merusakkan manusia dan agama. Sehingga seseorang tidak menjadikan keinginannya sebagai ilhamnya dan menjadikan syahwatnya sebagai syari`atnya. Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:
Pertama, Maslahah itu harus hakikat, bukan dugaan, Ahlul hilli wal aqdi dan mereka yang mempunyai disiplin ilmu tertentu memandang bahwa pembentukan hukum itu harus didasarkan pada maslahah hakikiyah yang dapat menarik manfaat untuk manusia dan dapat menolak bahaya dari mereka. Maka maslahah-maslahah yang bersifat dugaan, sebagaimana yang dipandang sebagian orang dalam sebagian syari`at, tidaklah diperlukan, seperti dalih mashlahah yang dikatakan dalam soal larangan bagi suami untuk menalak isterinya, dan memberikan hak talak tersebut kepada hakim saja dalam semua keadaan. Sesungguhnya pembentukan hukum semacam ini menurut pandangan kami tidak mengandung terdapat maslahah. Bahkan hal itu dapat mengakibatkan rusaknya rumah tangga dan masyarakat, hubungan suami dengan isterinya ditegakkan di atas suatu dasar paksaan undang-undang, tetapi bukan atas dasar keikhlasan, kasih sayang, dan cinta-mencintai.
Kedua, Maslahah harus bersifat umum dan menyeluruh, tidak khusus untuk orang tertentu dan tidak khusus untuk beberapa orang dalam jumlah sedikit. Imam-Ghazali memberi contoh tentang maslahah yang bersifat menyeluruh ini dengan suatu contoh: orang kafir telah membentengi diri dengan sejumlah orang dari kaum muslimin. Apabila kaum muslimin dilarang membunuh mereka demi memelihara kehidupan orang Islam yang membentengi mereka, maka orang kafir akan menang, dan mereka akan memusnahkan kaum muslimin seluruhnya. Dan apabila kaum muslimin memerangi orang islam yang membentengi orang kafir maka tertolaklah bahaya ini dari seluruh orang Islam yang membentengi orang kafir tersebut. Demi memlihara kemaslahatan kaum muslimin seluruhnya dengan cara melawan atau memusnahkan musuh-musuh mereka.
Yang dimaksud dengan mashlahah mursalah ialah maslahat yang secara eksplisit tidak ada satu dalil pun yang mengakuinya ataupun menolaknya. Maslahat ini merupakan maslahat yang sejalan dengan tujuan syara’ yang dapat dijadikan dasar pijakan dalam mewujudkan kebaikan yang dihajatkan oleh manusia serta terhindar dari kemudhorotan. Karena tidak ditemukan variabel yang menola ataupun mengakuinya maka para ulama berselisih pendapat mengenai kebolehannya dijadikan illat hukum. Kalangan Malikiyyah menyebutnya maslahah mursalah, Al-Ghozali menyebutnya istishlah, para pakar ushul fiqih menyebutnya al-munasib al-mursal al-mula’im, sebagian ulama menyebutnya al-istidlal al-mursal, sementara Imam Haromain dan Ibnu Al-Sam’ani memutlakkannya dengan istidlal saja.
Golongan yang mengakui kehujjahan maslahah mursalah dalam pembentukan hukum (Islam) telah mensyaratkan sejumlah syarat tertentu yang dipenuhi, sehingga maslahah tidak bercampur dengan hawa nafsu, tujuan, dan keinginan yang merusakkan manusia dan agama. Sehingga seseorang tidak menjadikan keinginannya sebagai ilhamnya dan menjadikan syahwatnya sebagai syari`atnya. Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:
Pertama, Maslahah itu harus hakikat, bukan dugaan, Ahlul hilli wal aqdi dan mereka yang mempunyai disiplin ilmu tertentu memandang bahwa pembentukan hukum itu harus didasarkan pada maslahah hakikiyah yang dapat menarik manfaat untuk manusia dan dapat menolak bahaya dari mereka. Maka maslahah-maslahah yang bersifat dugaan, sebagaimana yang dipandang sebagian orang dalam sebagian syari`at, tidaklah diperlukan, seperti dalih mashlahah yang dikatakan dalam soal larangan bagi suami untuk menalak isterinya, dan memberikan hak talak tersebut kepada hakim saja dalam semua keadaan. Sesungguhnya pembentukan hukum semacam ini menurut pandangan kami tidak mengandung terdapat maslahah. Bahkan hal itu dapat mengakibatkan rusaknya rumah tangga dan masyarakat, hubungan suami dengan isterinya ditegakkan di atas suatu dasar paksaan undang-undang, tetapi bukan atas dasar keikhlasan, kasih sayang, dan cinta-mencintai.
Kedua, Maslahah harus bersifat umum dan menyeluruh, tidak khusus untuk orang tertentu dan tidak khusus untuk beberapa orang dalam jumlah sedikit. Imam-Ghazali memberi contoh tentang maslahah yang bersifat menyeluruh ini dengan suatu contoh: orang kafir telah membentengi diri dengan sejumlah orang dari kaum muslimin. Apabila kaum muslimin dilarang membunuh mereka demi memelihara kehidupan orang Islam yang membentengi mereka, maka orang kafir akan menang, dan mereka akan memusnahkan kaum muslimin seluruhnya. Dan apabila kaum muslimin memerangi orang islam yang membentengi orang kafir maka tertolaklah bahaya ini dari seluruh orang Islam yang membentengi orang kafir tersebut. Demi memlihara kemaslahatan kaum muslimin seluruhnya dengan cara melawan atau memusnahkan musuh-musuh mereka.
Ketiga, Maslahah itu harus sejalan dengan
tujuan hukum-hukum yang dituju
oleh syari`. Maslahah tersebut
harus dari jenis
maslahah yang telah didatangkan
oleh Syari`. Seandainya tidak ada
dalil tertentu yang mengakuinya, maka maslahah
tersebut tidak sejalan dengan apa yang telah dituju oleh Islam. Bahkan tidak
dapat disebut maslahah.
4.
Ikhtilaf Para Ulama tentang Maslahah Al
Mursalah
Masalah al
Mursalah tidak diterima oleh sebagian umat Islam,
khususnya mayoritas penganut mazhab asy-Syafi’iah sebagai dasar penetapan hukum
Islam. Dalam hal ini ada beberapa argumen yang mereka ajukan di antaranya
yaitu;
Pertama, masalahat itu
ada yang dibenarkan oleh syara’, ada yang ditolak oleh syara’ dan
ada pula yang diperselisihkan. Maslahat kategori pertama dan kategori kedua
(yang dibenarkan dan yang ditolak oleh syara’) tidak ada pertentangan di
kalangan umat Islam. Maslahat kategori pertama harus diterima sebagai dasar
penetapan hukum Islam, dan maslahat kategori kedua harus ditolak sebagai dasar
penetapan hukum Islam. Sedangkan maslahat kategori ketiga diperselisihkan,
sebagian menerima sebagai dasar penetapan hukum Islam, dan sebagian yang lain
menolaknya. Sesuai dengan definisi di atas, maslahat kategori ketiga inilah
yang menjadi kajian dari maslahah-mursalah atau istislah. Dengan
demikian menurut kelompok umat Islam yang tidak menerima maslahah-mursalah sebagai
dasar penetapan hukum Islam berpendapat, bahwa memandang maslahah-mursalah (kategori
ketiga) sebagai hujjah berarti mendasarkan penetapan hukum Islam kepada
sesuatu yang meragukan.
Kedua, memandang maslahah-mursalah sebagai hujjah
berarti menodai kesucian hukum Islam karena penetapan hukum Islam tidak berdasarkan
kepada nass-nass tertentu, tetapi hanya mengikuti keinginan hawa nafsu
belaka dengan dalih maslahat. Dengan dalih maslahat
dikhawatirkan akan banyak penetapan hukum Islam berdasarkan kepada kepentingan
hawa nafsu.
Ketiga, Bagi golongan
ini, hukum Islam telah lengkap dan sempurna. Dengan menjadikan maslahat sebagai
dasar dalam menetap hukum Islam, berarti umat Islam tidak mengakui prinsip
kelengkapan dan kesempurnaan hukum Islam. Artinya hukum Islam belum lengkap dan
sempurna, masih ada yang kurang.
Keempat, memandang
maslahat sebagai hujjah akan membawa dampak terjadinya perbedaan hukum
Islam terhadap masalah yang sama (disparitas) disebabkan perbedaan kondisi dan
situasi. Dengan demikian akan menafikan prinsip universalitas, keluasan dan
fleksibelitas hukum Islam
Alasan-alasan yang dikemukakan oleh sekelompok umat
Islam yang tidak menerima maslahat (kategori ketiga) sebagai dasar menetapkan
hukum Islam di atas, dapat disanggah dengan beberapa alasan.
Pertama, dengan memandang maslahat sebagai hujjah tidak
berarti mendasarkan penetapan hukum Islam kepada sesuatu yang meragukan, sebab
maslahat tersebut ditentukan lewat sekian banyak dalil dan pertimbangan,
sehingga menghasilkan zann yang kuat (sesuatu yang lemah menjadi kuat).
Dalam ilmu fiqih dikenal istilah yakfi al-‘amal biz-zann, beramal berdasarkan
kepada zann dianggap cukup karena semua fiqih adalah zann. Dengan
demikian tidak dapat dikatakan bahwa menjadikan maslahat kategori ketiga
sebagai hujjah berarti memilih dua kemungkinan tanpa dalil, karena jika
dibandingkan maslahat yang dibenarkan oleh syara’ dengan maslahat yang
ditolak oleh syara’, maka maslahat yang dibenarkan oleh syara’ jauh
lebih banyak jumlahnya dari pada maslahat yang ditolak oleh syara’.
Dengan demikian jika ada suatu kemaslahatan, tetapi tidak ada dalil yang
membenarkannya atau menolaknya, maka maslahat tersebut harus digolongkan ke
dalam maslahat yang lebih banyak.
Kedua, tidak benar kalau penetapan hukum Islam melalui
metode istislah atau maslahah-mursalah berarti menetapkan hukum
Islam berdasarkan kepada hawa nafsu, karena untuk dapat dijadikan sebagai hujjah,
maslahah-mursalah harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu. Jadi tidak asal
maslahat. Persyaratan inilah yang akan mengendalikan, sehingga tidak terjadi
penyalahgunaan dalam menetapkan hukum (Islam) berdasarkan kepada maslahat.
Ketiga, Islam memang
telah lengkap dan sempurna, tetapi yang dimaksud dengan lengkap dan sempurna
itu adalah pokok-pokok ajaran dan prinsip-prinsip hukumnya. Jadi tidak berarti
semua masalah ada hukumnya. Ini terbukti banyak sekali masalah-masalah baru
yang belum disinggung hukumnya oleh al-Qur’an dan as-Sunnah tetapi baru
diketahui setelah digali melalui ijtihad.
Keempat, tidak benar
kalau memandang maslahah-mursalah sebagai hujjah akan menafikan
prinsip universalitas, keluasan dan keluwesan (flexible) hukum Islam,
tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Dengan menggunkan metode masalah-mursalah
dalam menetapkan hukum, prinsip universalitas, keluasan dan keluwesan (flexible)
hukum Islam dapat dibuktikan.
Madzhab Maliki yang merupakan
pembawa bendera Maslahat Mursalah mengemukakan, setidaknya terdapat tiga alasan
mengapa mashlahah mursalah tersebut dijadikan sebagai hujjah
dalam penentuan hukum, yaitu sebagai berikut [22]:
Pertama, Praktek para sahabat yang telah menggunakan maslahat mursalah diantarannya: - Sahabat mengumpulkan Al-Qur’an kedalam beberapa mushaf dengan alasan menjaga Al-Qur’an dari kepunahan atau kehilangan kemutawatirannya. - Khulafa ar-rosyidun menetapkan keharusan menanggung ganti rugi kepada para tukang. Padahal menurut hukum asal kekuasaan mereka didasarkan atas kepercayaan (amanah). Jika tidak dibebani ganti rugi ia akan ceroboh dan tidak memenuhi kewajibannya. - Umar Bin Khattab memerintahkan para penguasa (pegawai negeri) agar memisahkan antara harta kekayaan pribadi dengan harta yang diperoleh dari kekuasaannya - Umar Bin Khattab sengaja menumpahkan susu yang dicampur air guna member pelajaran kepada mereka yang mencampur susu dengan air . Para sahabat menetapkan hukuman mati kepada semua anggota kelompok (jama’ah) karena membunuh satu orang secara bersama-sama.
Kedua, Adanya maslahat sesuai dengan maqosid as-Syar’i (tujuan-tujuan syar’i) artinya dengan mengambil maslahat berarti sama dengan merealisasikan maqosid as-syar’i .
Pertama, Praktek para sahabat yang telah menggunakan maslahat mursalah diantarannya: - Sahabat mengumpulkan Al-Qur’an kedalam beberapa mushaf dengan alasan menjaga Al-Qur’an dari kepunahan atau kehilangan kemutawatirannya. - Khulafa ar-rosyidun menetapkan keharusan menanggung ganti rugi kepada para tukang. Padahal menurut hukum asal kekuasaan mereka didasarkan atas kepercayaan (amanah). Jika tidak dibebani ganti rugi ia akan ceroboh dan tidak memenuhi kewajibannya. - Umar Bin Khattab memerintahkan para penguasa (pegawai negeri) agar memisahkan antara harta kekayaan pribadi dengan harta yang diperoleh dari kekuasaannya - Umar Bin Khattab sengaja menumpahkan susu yang dicampur air guna member pelajaran kepada mereka yang mencampur susu dengan air . Para sahabat menetapkan hukuman mati kepada semua anggota kelompok (jama’ah) karena membunuh satu orang secara bersama-sama.
Kedua, Adanya maslahat sesuai dengan maqosid as-Syar’i (tujuan-tujuan syar’i) artinya dengan mengambil maslahat berarti sama dengan merealisasikan maqosid as-syar’i .
Ketiga, Seandainya maslahat tidak diambil
pada setiap kasus yang jelas mengandung maslahah selama berada dalam
konteks
maslahat syar’iyyah, maka orang-orang mukallaf akan mengalami kesulitan
dan kesempitan.
Terdapat juga alasan lain yang mempunyai esensi yang sama dengan alasan-alasan di atas yaitu [23] :
Pertama, kemaslahatan umat manusia itu selalu baru dan tidak ada habisnya, maka jika hukum tidak ditetapkan sesuai dengan kemaslahatan manusia yang baru dan sesuai dengan perkembangan mereka, maka banyak kemaslahatan manusia diberbagai zaman dan tempat menjadi tidak ada. Jadi tujuan penetapan hukum ini antara lain menerapkan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan zamannya.
Kedua, Orang yang mau meneliti dan menetapkan hukum yang dilakukan para sahabat nabi, tabi’in, imam-imam mujtahid akan jelas, bahwa banyak sekali hukum yang mereka tetapkan demi kemaslahatan umum, bukan karena adanya saksi yang dianggap oleh syar’i. Seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar dalam mengumpulkan berkas-berkas ercecer menjadi suatu tulisan al-Qur’an, dan memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat, lalu mengangkat umar bin khattab sebagai gantinya. Umar menetapkan jatuhnya talaq tiga dengan sekali ucapan, menetapkan kewajiban pajak, menyusun administrasi, membuat penjara dan menghentikan hukuman potong tangan terhadap pencuri dimasa krisis pangan. Semua bentuk kemaslahatn tersebut menjadi tujuan diundangkannya hukum-hukum sebagai kemaslahatan umum, karna tidak ada dalil syara’ yang menolaknya.
Terdapat juga alasan lain yang mempunyai esensi yang sama dengan alasan-alasan di atas yaitu [23] :
Pertama, kemaslahatan umat manusia itu selalu baru dan tidak ada habisnya, maka jika hukum tidak ditetapkan sesuai dengan kemaslahatan manusia yang baru dan sesuai dengan perkembangan mereka, maka banyak kemaslahatan manusia diberbagai zaman dan tempat menjadi tidak ada. Jadi tujuan penetapan hukum ini antara lain menerapkan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan zamannya.
Kedua, Orang yang mau meneliti dan menetapkan hukum yang dilakukan para sahabat nabi, tabi’in, imam-imam mujtahid akan jelas, bahwa banyak sekali hukum yang mereka tetapkan demi kemaslahatan umum, bukan karena adanya saksi yang dianggap oleh syar’i. Seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar dalam mengumpulkan berkas-berkas ercecer menjadi suatu tulisan al-Qur’an, dan memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat, lalu mengangkat umar bin khattab sebagai gantinya. Umar menetapkan jatuhnya talaq tiga dengan sekali ucapan, menetapkan kewajiban pajak, menyusun administrasi, membuat penjara dan menghentikan hukuman potong tangan terhadap pencuri dimasa krisis pangan. Semua bentuk kemaslahatn tersebut menjadi tujuan diundangkannya hukum-hukum sebagai kemaslahatan umum, karna tidak ada dalil syara’ yang menolaknya.
E.
Penutup
Istihsan adalah mengambil maslahah yang merupakan bagian dalam dalil yang
bersifat kully (menyeluruh) dengan mengutamakan al-istidlal al-mursal
daripada qiyas. Dari Ta’rif di atas, jelas bahwa al-istihsan lebih mementingkan
maslahah juz’iyyah atau maslahah tertentu dibandingkan dengan dalil kully atau
dalil yang umum atau dalam kata lain sering dikatakan bahwa al-istihsan adalah
beralih dari satu qiyas ke qiyas yang lain yang dianggap lebih kuat dilihat
dari tujuan syari’at diturunkan. Tegasnya, al-istihsan selalu melihat dampak
sesuatu ketentuan hukum, jangan sampai membawa dampak merugikan tapi harus
mendatangkan maslahah atau menghindari madarat, namun bukan berarti istihsan
adalah menetapkan hukum atas dasar ra’yu semata, melainkan berpindah dari satu
dalil ke dalil yang lebih kuat yang kandungannya berbeda. Dalil kedua ini dapat
berwujud ijma’, ‘urf atau al-maslahah al-mursalah
kembali
mencermati pandangan dan argumentasi ulama yang menolak istihsān, kita
dapat melihat bahwa yang mendorong mereka menolaknya adalah karena
kehati-hatian dan kekhawatiran mereka jika seorang mujtahid terjebak dalam
penolakan terhadap nash dan lebih memilih hasil olahan logikanya sendiri. Dan
kekhawatiran ini telah terjawab dengan penjelasan sebelumnya, yaitu bahwa istihsān
sendiri mempunyai batasan yang harus diikuti. Dengan kata lain, para pendukung
pendapat kedua ini sebenarnya hanya menolak istihsān yang hanya
dilandasi oleh logika semata, tanpa dikuatkan oleh dalil yang lebih kuat
Berbagai pendefinisian yang
disebutkan di kalangan para ahli dan beberapa pendapat yang terjadi di kalangan
para ulama’ terhadap istishab, kontradiksi terhadap polemik kehujjaannya atas
paradigma dalil hukumnya maka istishab itu tetap memberlakukan ketetapan hukum
yang telah ditetapkan sesuatu yang telah ada sejak awal, sampai ditemukan
adanya ketetapan hukum lain yang merubahnya, sebab istishab merupakan
jalan keluar terakhir dalam berfatwa, sebab seseorang mufti jika ditanya
tentang sesuatu khusus yang sedang terjadi maka ia diharuskan untuk memberikan
putusan dengan menggunakan al-Qur’an, lalu al-Hadist, ijma’ dan qiyas.
Dalil hukum istishab dalam kedudukan yang urgen adalah menuju pengcapaian
yang baik. Sehingga nilai-nilai istishab itu sendiri
dimanifestasikan sesuai dengan kebutuhan umat manusia dalam menegakkan
syariat dalam kode pengejawantahan ilmu agama dan muslim sempurna.
Menerima maslahat sebagai hujjah haruslah melalui persyaratan tertentu, minimalnya tidak bertentangan dengan al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’, harus mengandung kemaslahatan, dan kemaslahatan itu sejalan dengan tujuan penetapan hukum Islam yaitu; dalam rangka memilihara agama, akal, jiwa, harta dan keturunan atau kehormatan. Sedangkan ruang lingkup operasionalnya hanya di bidang muamalah dan sejenisnya, tidak berlaku di bidang ibadah.Para ulama juga telah membagi maslahah dari beberapa segi diantaranya: dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan, dari segi kandungan maslahah, dari segi berubah atau tidaknya maslahah, dan dari segi keberadaan maslahah.
Menerima maslahat sebagai hujjah haruslah melalui persyaratan tertentu, minimalnya tidak bertentangan dengan al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’, harus mengandung kemaslahatan, dan kemaslahatan itu sejalan dengan tujuan penetapan hukum Islam yaitu; dalam rangka memilihara agama, akal, jiwa, harta dan keturunan atau kehormatan. Sedangkan ruang lingkup operasionalnya hanya di bidang muamalah dan sejenisnya, tidak berlaku di bidang ibadah.Para ulama juga telah membagi maslahah dari beberapa segi diantaranya: dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan, dari segi kandungan maslahah, dari segi berubah atau tidaknya maslahah, dan dari segi keberadaan maslahah.
Jadi,
sebenarnya akar perbedaan pendapat mengenai maslahah muraslah sebagai hujjah
syar’iyah terletak pada sisi pandangan mereka terhadap maslahah mursalah.
Golongan yang dimotori Imam Malik serta Imam Ahmad Bin Hambal berpendapat bahwa
maslahat yang mereka pakai berpijak pada syarat-syarat yang dibenarkan oleh
syara’ bukan berdasarkan hawa nafsu atau menyimpang dari kebenaran sebagaimana
pandangan kelompok yang menentang kehujjahan maslahah mursalah. Sedangkan
golongan yang diwakili madzhab Hanafi, Syafi’i dan Madzhab Zahiri menekankan
kehati-hatian dengan berbagai persyaratan maslahah yang sesuai dengan tujuan
syari’at. Banyak persoalan baru bisa dikategorikan Maslahah Mursalah. Artinya
persoalan baru itu memang mengandung maslahat dan dibutuhkan manusia dalam
membangun kehidupan mereka, tetapi tidak ditemukan dalil yang mengakui ataupun
menolaknya. Seiring dengan perjalanan waktu, hal ini akan terus berlangsung
sepanjang masa dengan berbagi perbedaan latar belakang sosial budaya. Dengan
demikian, untuk mengatasinya persoalan ini tidak lain tentulah pendekatan yang
digunakan hanyalah dengan pendekatan maslahah mursalah.
Daftar Pustaka
Abdul Wahab Khalaf, “Ilmu Ushul al-fikih ,Maktabah Al-Dakwah
al-Islamiyah, cetakan VIII,thn 1991
Abdul Wahab Khallaf, “Mashadir al-Tasyri’ al-Islami Fima La
Nassafih”. (Dar al-Qalam, cet. III, th. 1972),
Abu Ishak Al-Syatibi, “al-Muwaffaqat Fi Ushul al-Syariah” ,Beirut
: Dar al-Makrifah, jilid IV, th. 1975.
Al-Banani, “Hasyiyah al-Banani ala Syarh al-Mahalli ala matn
Jam’i al-Jawami”. (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, jilid II, th.1983
Al-Syarahsi.
“Ushul al-Syarahsi”. (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, jilid II.
Th.1993
Amir Syarifuddin, Ushul fiqh,
(Jakarta: Logos, 2001
Hasbi
as-Shiddieqy, Pokok-pokok pegangan Imam-Imam Mazhab Dalam Membina Hukum Islam”. (Jakarta: Bulan Bintang, jilid
I, cet 1, 1997
Jalal
al-Din Abd al-Rahman al-Suyuthi, “al-Asybah wa al-Nazhair”,(Singapura:
Sulaiman Mar’i, T.Th
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, Pustak Firdaus :Jakarta,
1999
Muhammad
al-Said Ali Abdul Rabuh, “Buhust fi al-adillah al-Mukhtalaf fiha inda
al-Ushuliyin”, Mesir : Matba’ al-Sa-adah, th. 1980,
Suratmaputra, Ahmad Munif, Filsafat Hukum Islam Al-Ghazali:
Mashlahah-Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002
Totok
Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, Amzah,
Jakarta, 2005.
Wahbah al-Zuhaili, “Ushul al-Fiqh al-Islmi”, (Beirut: Dar
al-Fikr, jilid II Th. 1986
[1]
Al-Syarahsi. “Ushul
al-Syarahsi”. (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, jilid II. Th.1993), hal.
200
[2] Abdul Wahab
Khalaf, “Ilmu Ushul al-fikih (Maktabah Al-Dakwah al-Islamiyah, cetakan
VIII,thn 1991) hal.79
[3]
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Pustak Firdaus :Jakarta, 1999) hlm
402
[4]
Ibid. hlm 401
[5]
Abu Ishak Al-Syatibi, “al-Muwaffaqat Fi Ushul al-Syariah” (Beirut : Dar
al-Makrifah, jilid IV, th. 1975) hal. 206-208
[6]
Muhammad al-Said Ali Abdul Rabuh, “Buhust fi al-adillah al-Mukhtalaf fiha inda
al-Ushuliyin”, (Mesir : Matba’ al-Sa-adah, th. 1980, hal.72
[7]
Ibid, hal. 74
[8]
Hasbi as-Shiddieqy, Pokok-pokok pegangan Imam-Imam Mazhab Dalam Membina Hukum
Islam”. (Jakarta: Bulan Bintang, jilid I, cet 1, 1997) hal. 161
[9]
Abdul Wahab Khallaf, “Mashadir al-Tasyri’ al-Islami Fima La Nassafih”. (Dar
al-Qalam, cet. III, th. 1972), hal.77
[10]
Amir Syarifuddin, Ushul fiqh,
(Jakarta: Logos, 2001), hal. 313-314
[11]
Totok Jumantoro dan Samsul Munir
Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, Amzah, Jakarta, 2005. hlm.142
[12] Ibid.
hal. 142
[13]
Al-Banani, “Hasyiyah al-Banani ala Syarh al-Mahalli ala matn Jam’i al-Jawami”.
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, jilid II, th.1983), hal.284
[14]
Wahbah al-Zuhaili, “Ushul al-Fiqh al-Islmi”, (Beirut: Dar
al-Fikr, jilid II Th. 1986), Hal.862-863
[15]
Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuthi, “al-Asybah wa al-Nazhair”,(Singapura:
Sulaiman Mar’i, T.Th), hal. 48
[16]
Muhammad Sa’id ‘Ali ‘Abdu Rabbuh, Op.Cit, hal.78-79
[17]
Ibid. hal 79
[18]
Wahbah az-Zuhaily, Op.Cit, hal. 36-37.
[19]
Suratmaputra, Ahmad Munif, Filsafat Hukum Islam Al-Ghazali:
Mashlahah-Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002, hal. 104
[20]
Wahbah az-Zuhaily, Op.cit, hal.
[21]
Muhammad Sa’id ‘Ali ‘Abdu Rabbuh, Op.Cit, hal.95
[22]
Muhammad Abu Zahrah, Op.Cit, hal. 180-182
[23]
az-Zuhaily, Op.Cit, hal. 42-43
No comments:
Post a Comment